"Ngapain sih lo masih di sini dari tadi?" Sudah cukup, Lavana tidak tahan lagi. Setelah berdiam-diaman dan hanya saling lirik-lirikan seperti orang tolol di ruang UKS ini dengan Zero, cowok gila itu yang sedang mengamatinya, Lavana berteriak sambil memegangi hidungnya yang habis mimisan.
Zero terhenyak. "Nungguin lo lah. Dasar drama."
"Apa? Drama? Gue jelas-jelas mimisan nih gara-gara lo yang sengaja ngelempar bola ke gue!" Ya, karena perbuatan Zero yang melempar bola padanya dengan embel-embel 'gak sengaja' padahal Lavana yakin Zero sengaja, semua orang jadi ribut mengrumuni Lavana, menanyakan apa cewek baru itu baik-baik saja. Setelah itu dia diborong ke UKS bersama teman-temannya juga anak-anak basket beserta Zero.
Pada akhirnya semua siswa itu bubar untuk memasuki pelajaran, menyisakan dirinya dan Zero yang entah apa yang dia lakukan di UKS ini. Zero yang diomeli oleh Lavana itu, malah diam, dan tanpa Lavana sadari jarak mereka kian mendekat, membuat mulut Lavana terdiam kala cowok berkulit bersih kecoklatan dengan kalung rantai—yang ketara dari dalam seragamnya itu—menatap dirinya intens.
Sial, kenapa Lavana jadi tidak bisa gerak begini saat Zero mengamati seluruh wajahnya?
"Lo cantik."
Dan sekarang Lavana yakin wajahnya bakal semerah tomat.
"Sayangnya jerawatan." Zero cemberut mengejek sambil menekan jerawat di dahinya dengan jadi telunjuk menyebabkan Lavana membuka mulutnya lebar. Menatap tajam Zero yang sudah di pintu UKS sambil mengedipkan satu matanya mengejek.
"ZERO ANJENG! SAKIT BEGO!" Sudah sakit jerawatnya. Dipatahkan oleh ekspetasi pula. Lagian bisa-bisanya dia berharap cowok yang sengaja membuatnya mimisan itu memujinya. Cih! Dasar Zero kurang ajar! Sekarang jerawatnya yang tadinya tidak ia pencet itu jadi meletus.
"Siapa yang mengumpat itu!" Kini suara guru piket keliling membakar telinganya. Lavana cepat-cepat menyembunyikan diri di dalam selimut UKS layaknya swiper yang ketahuan mencuri.
***
Jadwal piket hari Selasa membuat Lavana mau tidak mau harus datang pagi-pagi kali ini. Sedangkan hal yang sudah membuat Lavana tercengang-cengan pagi ini adalah seorang 'Fazero Choradeo' yang katanya suka datang satu jam sebelum pembelajaran berlangsung untuk bertugas sebagai osis. Lavana sekarang mengerti maksud Pazia dan Haifa yang menertawakannya karena mengira sepupunya itu anak osis.
Lebih mengerti juga kenapa cowok yang dibilang osis oleh orang tuanya itu selalu datang pagi-pagi. Tentu saja karena pemandangan gila yang Lavana saksikan di depan matanya. Zero dengan seorang cewek berseragam seksi yang ada dekapannya itu sedang berduaan di belakang sekolah dengan jarak dekat. Hampir saja keduanya bercumbu kalau saja flash ponsel yang Lavana bawa itu tidak sengaja menyala dengan suara 'cekrik' nya.
Lavana melotot saat kedua manusia itu mengamatinya. Cepat-cepat berlari dari sana saat Zero mulai mengejarnya.
"Bego! Ini kenapa flash-nya nyala sih!" Lavana merutuki diri sendiri. Ia lupa, kalau ini ponsel sementaranya selama ponsel aslinya yang berada di koper masih dalam proses pencarian. Ia menoleh ke belakang, menyaksikan Zero dengan muka yang tidak bersahabat berjalan cepat. Lavana kini berlari kemanapun yang ia bisa.
Untung saja, sekolah masih sepi, jadi dia tidak sampai jadi tontonan. Kali ini, ia bersembunyi di sebelah tong sampah besar berharap Zero tidak menemukannya karena ia tahu, sedari kecil, Zero itu paling tidak suka bau sampah.
"Klise banget ya? You think I can't find you?" Mendengar suara itu, Lavana berdiri dan tahu kalau Zero menipunya supaya ia keluar dari persembunyian. Layaknya game subway, Lavana cepat-cepat berlari dari sana dan Zero kembali mengejarnya. Bedanya, Lavana kadang bersembunyi.
Lari, sembunyi, kena, terus lari lagi, begitu saja sedari tadi sampai ia tidak menyadari beberapa siswa sudah mulai memasuki area sekolah. Cewek itu ngos-ngosan. Tidak berpikir lagi untuk memasuki sebuah kelas yang tak ada penghuninya dan bersembunyi di salah satu bangku sebelum sebuah tangan menariknya dari belakang dan memojokkannya ke tembok.
"Lo gak usah aneh-aneh ya! Hapus fotonya sekarang!" tekan Zero bersamaan suaranya yang tajam.
"Kalo gue gak mau?"
"Hapus sekarang!" cecarnya meraih ponsel yang dipegang erat Lavana.
"Apaan sih! Hape-hape gue! Terserah gue mau hapus apa engga!"
"Hapus, cewek kentut!"
"Apa lo bilang?! Cewek kentut?! Lo cowok gila bin gak waras yang suka bohong!" Lavana tak kalah berteriak. Zero kemudian diam, menyipitkan mata dengan sepatu converse-nya yang perlahan mendekat.
Kali ini, Lavana benar-benar bisa melihat wajah tampan itu dari jarak dekat. "Suka bohong?" tanyanya tersenyum.
Dipikir Lavana bakal kena makan apa? Lavana juga ikut tersenyum yang menghilangkan senyum di wajah Zero. "Ya. Gimana ya ... kalo misal orang tua lo tahu, anaknya yang mereka puji-puji itu ...."
"Ternyata berandalan sekolah," lanjutnya tersenyum miring.
Zero terdiam mendengar itu. Tatapannya kembali tajam sedikit menciutkan nyali Lavana. Ingat sedikit! Sedang tanpa Lavana sadari, ponselnya sudah berpindah tangan pada Zero. Apa?! Cepat-cepat, Lavana mengambil ponsel itu kembali.
"You're still same. Gak mau kalah dari gue." Mendengar itu, Lavana terdiam. Entah apa yang ia pikirkan.
"Lavana? Kak Fazero?!" Suara jeritan yang melengking pada bagian nama 'Fazero' berhasil mengalihkan perhatian keduanya. Jelas, Lavana melotot saat tahu siapa dua orang yang sedang berada di ujung pintu sana.
"Kalian ngapain berduaan di sini?" Pazia kelihatan heboh, mengamati sekeliling, dan tentunya dengan tatapan curiga pada Lavana yang memberi isyarat 'lo gak nikung gue, 'kan?'.
Haifa ikut menimpali. "Lo sama kak Fazero ... kalian ... jangan-jangan—"
"Zero itu sepupu gue kok!" elak Lavana bersama cengegesan khasnya yang menyebabkan kedua manusia di hadapannya menganga lebar. Sedang Zero hanya mengamati mereka dengan senyum aneh yang entah senyum apa itu. Yang jelas, perasaan Lavana tidak enak melihatnya.
"Gimana?!" Pazia berteriak menatap Lavana kemudian ekspresinya berubah drastis menjadi kepiting rebus saat beralih pada Zero. "I-itu beneran, Kak?"
Zero, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam celana, si sok cool itu, membungkukkan badannya menyetarai Pazia. "That's right. Lo yang namanya Pazia, 'kan?"
Pazia langsung melotot antusias dengan jantung yang sudah seperti digedor-gedor. Hatinya berbunga-bunga sekarang. "Kok ... tahu?"
"I came to this class to find you and she told me everything about you. Ternyata, kamu lebih cantik dari yang gue kira." Zero mengacak-ngacak rambut Pazia yang sedang nge-freeze di tempat. "And you're so cute."
"Re-really?"
"Jangan percaya! Semua cewek dia rayu kayak gitu tuh!" ujar Lavana merusak suasana.
"Apaan sih, Lav!" Pazia memarahinya. Sedang Zero hanya tersenyum mengejek.
"Beneran. Lo pingin tahu gak tingkah dia tadi pagi?" Lavana menggandeng lengan Pazia, menjauhkannya dari si playboy cap kaki cendol itu. "Dia berduaan sama cewek di belakang sekolah sampek hamper mau ciuman. Nih, gue ada buktinya kalo lo mau."
Lavana menatap sinis Zero sambil menekan-nekan ponselnya, memberi isyarat untuk jauh-jauh dari temannya. Namun, keningnya berkerut saat tak menemukan satu foto pun hasil jepretan tadi pagi. "Eh? Kok gak ada?"
Kemudian tatapannya kembali pada Zero yang memberi ekspresi mengejek. Yah, ia yakin, Zero tadi pasti menghapusnya saat ponselnya berpindah tangan padanya! Argh! Kenapa Lavana bisa kecolongan?
"Gue punya sesuatu buat lo!" Pazia menerima sebuah kartu dari Zero tanpa memedulikan Lavana lagi. "Jangan lupa dateng, yang cantik!"
Zero menatap Lavana kembali, mengacungkan jari tengah secara sembunyi yang dipelototi oleh Lavana sebelum akhirnya cowok itu pergi dari hadapannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
RomanceJika ada orang paling menyebalkan dalam hidup Lavana, maka jawabannya adalah Zero. Seperti namanya, menurut Lavana, sepupunya itu punya otak dan akhlak nol. Si Playboy yang diagung-agungkan seluruh sekolah itu tak pernah akur dengannya saat pertama...