"So, lo tahu gak alasan kita jadiin lo temen kita?" Pazia bertanya pada Lavana, memainkan tebak-tebakkan sambil menyipitkan mata. Lavana yang sedang melihat sekeliling itu menoleh ke arah Pazia dengan dahi berkerut, menggelengkan kepala tak tahu.
"Karena lo lulus seleksi!" jawab Pazia mengemut jempol setelah makan popcorn berbumbunya.
"Hah? Gimana?"
"Pazia itu orangnya pemilih. Dia tuh selalu milih temen yang bisa diajak ngobrol pake Bahasa inggris, makanya dia gak punya temen di kelas. Siapa lagi temennya kalo bukan gue?" Haifa tersenyum pede, menarik lengan Lavana dari jangkauan Pazia untuk menggandengnya.
"Eh? Gak gitu ya! Maksudnya seleksi tuh dia cocok jadi temen kita, nyambung! Lo kali yang suka pilih-pilih temen!" Pazia terlihat kesal.
"Jangan percaya, Lav, tadi aja dia nanyain lo pake english, kalo lo bisa, berarti cocok jadi temennya, gitu."
"Ya 'kan gue cuma ngetes doang."
"Dikira pendaftaran cepe-en-es apa ngetes-ngetes?" tanya Haifa sambil terbahak.
"Gak gitu, gue netral temenan sama siapa aja. Ya, kadang gue nyari yang gue ajak ngobrol nyambung sih, bukan yang ngatain gue. You know, I think my Indonesian is worse than my English. Sedih banget kalo ada yang ngatain dikit-dikit pake English. Gue cuma nyari temen yang mau nerima gue yang kadang ini masih speak English," jelas Pazia mengklarifikasi. Pazia bukan orang yang maunya milih temenan sama yang keren doang kok. Enak saja Haifa menuduhnya yang engga-engga
"Emang kamu asli mana? Kok keduluan bahasa inggris?" tanya Lavana mulai kepo. Pazia tersenyum saat Lavana tampak percaya, dan menggandeng tangannya.
"Tuh 'kan pake 'aku kamu' lagi!" Haifa menegur sedang Lavana hanya menampilkan cengirannya bermakna 'sorry'.
"Mama gue asli Jakarta, and papa asli Kanada. Sejak mereka pisah, gue dibawa ke Jakarta sama Mama waktu umur 4 tahunan dan mulai belajar Bahasa Indonesia, that's why sometimes I use English sometimes I use Indonesian," oceh cewek yang dilihat-lihat dari wajahnya nampak blasteran. Dan Lavana kagum akan hal itu. Rekor 'kan dia bisa temenan sama cewek blasteran!
"But, I think ... bahasa indonesia kamu not as bad as you think."
Double lucky! Ini yang Lavana harapkan dari dulu, bisa bicara Bahasa inggris setengah-setangah Bahasa indonesia yang gak akan bisa dia lakukan di kotanya dulu.
"Gue lagi ngebiasain nih supaya ngomongnya full Indonesia. Tuh 'kan udah bagus 'kan?" Lavana ini tahu saja kalau Pazia suka dipuji jadi dengan bangga ia menampilkan senyum mengejek itu pada Haifa.
"Kalau Haifa ...."
"Gue asli Jakarta. Gue ikut course English sih. Suka aja ikutin trend yang bahasanya dicampur-campur," jawab Haifa dulu sebelum ditanya. Kalau dibanding Pazia yang heboh dan suka mendeklarasikan diri, Haifa ini lebih chill.
"Eh! Sama tahu!" Lavana tampak histeris.
"Kalo lo? How can you speak English when you lived in Malang?"
Lavana tampak berpikir sejenak. "When I was small I used to often watch movie and listen many songs in English dan itu ngebuat gue juga mau ngomong pake inggris."
"Lo belajar otodidak dong?" tanya Haifa yang diangguki Lavana.
"Karena di sana gue gak ada partner juga buat belajar. Mereka ngomongnya bahasa jawa, kalo pake Bahasa inggris katanya kem-inggris. Jadi, yaudah belajar sendiri," cerita Lavana. Sedih juga sih mengingat Lavana yang masih polos-polosnya dulu ngomong inggris yang Lavana dulu pikir dirinya bakal dikira pintar, eh malah dikatain 'sok enggres kon'.
Baiklah itu memang salah Lavana yang tidak tahu situasi dan kota saat itu. Setelah ngobrol-ngobrol panjang sambil menyusuri koridor, ketiga cewek itu tiba di galeri seni yang letaknya dekat dengan lapangan basket. Kata Pazia tempat yang jadi bersemayamnya anak ekskul seni ini memiliki pemandangan terindah saentoro sekolah jika dilihat dari tengah-tengah.
Lavana mengamati sekitar, bangunan sekolah ini tampak seperti bangunan biasa, tidak elite dan juga istimewa. Yang membuat Lavana heran, kenapa Fazero yang kaya itu atau blasteran sejenis Pazia bisa bersekolah di sini?
"Ah, my boy!" Belum selesai dengan pikirannya, suara cempreng cewek mendominasi telinganya. Mengalihkan perhatian Lavana, Pazia, juga Haifa pada empat orang cowok tinggi yang sedang berjalan menuju lapangan basket. Seketika itu juga, muka Pazia sudah bersemu merah, menahan senang.
"Arggh! Dia masuk! Dia masuk hari ini!" sorak Pazia girang begitupun Haifa yang Cuma mesem-mesem sendiri dari tadi cepat-cepat membawa Lavana ke tengah-tengah tribune yang terletak di sebelah galeri seni. Sekarang pemandangan cowok-cowok tampan terpapar jelas di sini. Jadi ini yang kata Pazia 'pemandangan terindah'.
"Siapa yang masuk?"
"Itu, kak Fazero. Salah satu cowok cool bin ganteng di sekolah kita, crush gue! Dia jarang banget masuk sekolah. Sekalinya masuk sekolah, auranya beda, makanya gue seneng kalo dia masuk!" sahut Pazia sambil tersenyum-senyum sendiri mengamati cowok bertubuh tinggi dengan wajah tampan meski tampilannya yang sudah kusut disertai rambut basahnya sedang membawa bola basket. Jangan lupa kemeja putihnya yang keluar dari celana.
Tunggu, apa? itu Zero?! Lavana gak salah lihat, 'kan? "Bukannya dia anak osis ya?" tanya Lavana terheran-heran saat melihat penampilan Zero yang berantakan.
Pazia juga Haifa langsung menoleh pada Lavana dan langsung tertawa. "Hahaha, kak Fazero? Osis? Gak cocoklah! Dia terlalu cool buat jadi osis!"
Pazia tertawa lagi saat dirinya sudah seperti orang bego sekarang. "Nih ya, kak Fazero itu definisi bad boy dalam kamus wattpad gue. Walau banyak ceweknya, gapapa ... yang penting ntar gue bisa jadi ceweknya, gue udah bakal bangga!"
Sekarang ketiganya menoleh pada lapangan basket yang dimana permainan sudah dimulai. Lavana yang masih heran dengan cewek-cewek yang membanggakan Zero itu, hanya bisa mendengus kesal sambil memotret tampilan cowok itu. Itung-itung bisa dilaporin ke tante Alicia.
Matanya kini mengerling ke arah kiri lapangan basket dan seketika melotot saat menemukan seseorang yang familiar. "Itu! Itu Raven?!" tanyanya sambil menunjuk seorang cowok beralis tebal dengan rahang tegas. Cowok definisi sempurna di mata Lavana. Haifa mengangguk antusias. "Itu beneran Raven, cowok ganteng di tiktok itu, 'kan?!"
Haifa mengangguk lagi dan menempelkan telapak tangannya ke pundak Lavana yang masih melong. "Kaget ya? Asal lo tahu, di sini tuh emang sekolah keliatan B aja, tapi isinya luar biasa. Yang artinya ... cowok-cowok ganteng dari selebgram, tiktokers, atlet, cowok basket, mereka di banyak yang di sini. Orang luar mah ga tahu!" bisiknya.
Lavana tak menghiraukan Haifa. Pandangannya masih tetap pada cowok yang ia kenal bernama Raven itu. Cowok yang ia sukai dari tiktok, alias Lavana ngefans banget. Kalo begini 'kan Lavana mungkin punya kesempatan kenalan.
Bugh!
"Aw!"
"Lavana!" teriak Pazia serta Haifa secara bersamaan saat darah mengucur di hidung Lavana.
***
A/N:
Hai, guys! Maaf ya kalau kalian gak nyaman sama gaya bahasanya yang memadukan Bahasa inggris dengan Bahasa Indonesia di percakapannya. Kalo kalian keberatan, komen aja, ntar aku tambahin sekalian terjemahan.
Sebenernya aku gak tahu betul budaya di Jakarta itu gimana, karena aku bukan asli Jakarta. But, aku berusaha mencoba untuk menyesuaikan berdasarkan apa yang aku tahu dari berbagai sumber. Jadi, kalo misal ada yang gak sesuai kalian bisa komen ya!
Thak u guys!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
RomanceJika ada orang paling menyebalkan dalam hidup Lavana, maka jawabannya adalah Zero. Seperti namanya, menurut Lavana, sepupunya itu punya otak dan akhlak nol. Si Playboy yang diagung-agungkan seluruh sekolah itu tak pernah akur dengannya saat pertama...