02. f l u t t e r b y

181 29 9
                                    

02. flutterby | Anak yang lain.

...

SUASANA kamar inap mewah itu terasa begitu dingin. Semua orang yang duduk di dalam hanya dapat bungkam sembari memperhatikan seorang wanita paruh baya yang tubuhnya lengkap dengan berbagai alat medis, nampak memperihatinkan.

"Apa kata dokter?"

"Katanya sudah tidak ada harapan."

Penjelasan itu membuat sebagian orang menahan napas mereka, udara terasa semakin menusuk, tidak ada yang berani mengalihkan pandangan mereka ataupun merubah inti percakapan.

"Kamu dicari Mama tadi."

"Ya."

Perjalanan bisnis yang cukup memakan waktu membuat Pria itu baru saja menapaki tanah air. Belum ada satu hari, dia terpaksa menerima kabar mengenai kondisi buruk dari wanita yang sudah melahirkannya ke dunia.

"Mahen," panggilnya dengan suara lirih yang begitu lemah. "Sudah pulang?"

"Ya, Ma." Mahen menggenggam jemari wanita yang terbaring di depannya, meskipun wajahnya terlihat tidak bereskpesi lebih, tentu saja hatinya beriak gemuruh sejak tadi. "Sudah makan?"

"Sudah." Aghnia—wanita paruh baya berusia 78 tahun itu tersenyum kecil, membuat keriput di sekitar wajahnya timbul. "Cucu Mama mana?"

"Semua ada di sini, Ma."

"Bagus." Napas Aghnia terdengar pendek. "Mama mau ngomong sesuatu."

Mahendra—anak sulung dari tiga bersaudara menoleh sedikit ke belakang, meminta yang lainnya untuk mendekatkan diri setelah mendengar permintaan Aghnia.

"Sepertinya, umur Mama sudah gak lama lagi ya."

"Ma!" Bentakan keras datang dari arah belakang, seorang wanita yang tengah menahan tangis di dalam dekapan suaminya. "Lili gak suka Mama ngomong gitu."

Bukannya berhenti, Aghnia justru memaksakan tawa yang terdengar parau.

"Raymond ada?" Mata Aghnia melirik ke kiri dan kanan mencari anak bungsunya.

"Ada, Ma, Mama mau ngomong apa?" Raymond mendekat, berdiri di samping Mahendra dengan tatapan lekat. "Jangan buat kami semua makin khawatir."

Beberapa isak tangis terdengar, nampaknya para cucu yang sejak tadi hanya menjadi pendengar kini mulai terbawa suasana emosional.

"Mahen.... kamu ingat anakmu, nak?"

"Anak Mahen di sini semua, Ma." Mahendra mengerjapkan mata pelan. "Mama mau ketemu Cakra dan Gian?"

"Bukan," sanggah Aghni, "Bukan yang itu."

Ruangan yang semula terasa dingin kini berubah menjadi semakin tajam.

"Kamu ingat, kan, nak."

"Ma." Kini Ayumi—istri dari Mahen yang membuka suara. "Naomi sudah meninggal tiga tahun yang lalu," katanya sembari menyebutkan satu-satunya cucu perempuan di keluarga Wasesa yang telah berpulang.

Aghni menganggukkan kepala, lalu sedetik kemudian menggeleng kecil. "Bukan yang itu."

"Mama sebenarnya mau bicara apa?" Mahen mengelus kecil dahi Aghni yang mengerut. "Ma?"

"Kamu masih punya anak perempuan lain, Mahen."

Seketika semua berubah senyap. Kesunyian itu menandakan bahwa semua orang yang ada di dalam ruangan tengah berpikir dan bergelut keras dengan otak mereka masing-masing.

FlutterbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang