03. f l u t t e r b y

186 25 20
                                    

03. flutterby | She just a little girl.

trigger warning! harsh words, mentions of death

...

MAHENDRA menopang dagu dengan tatapan penuh pertimbangan. Di depannya sudah berdiri dua asisten pribadi yang selalu siap bergerak kapan saja saat ia memberi perintah.

"Kemungkinan besar dia tinggal di Rusun Hijarin, Pak."

"Daerah kumuh itu?" Mahen mengernyitkan dahi, seingatnya ia selalu rutin mengirimkan uang kepada wanita jalang itu untuk kebutuhan anak perempuannya. "Sejak kapan mereka di sana?"

"Sepertinya sudah cukup lama, Pak."

Jari jemari Mahen mengetuk-ngetuk di atas meja kantornya.

"Apa uangnya tidak cukup?" gumam Mahen seorang diri.

"Bagiamana, Pak?"

Mahen mengibaskan tangan, "Bukan apa-apa, kirim orang untuk memastikan keberadaan mereka, laporkan pada saya lokasi finalnya."

"Baik Pak." Wandi-Sekertaris pribadinya, menganggukkan kepala. "Setelah menemukan alamatnya apakah kami langsung membawanya ke rumah utama, Pak?"

"Tidak perlu." Mahen menghela napas panjang. "Saya yang akan menjemputnya langsung."

Wandi menatap sekilas Putra yang ada di sebelahnya, memberikan kode untuk segera pergi dari ruang kerja Tuan Besar mereka.

"Wandi!"

"Ya, Pak?"

Mahendra nampak berpikir sekilas sebelum menyuarakan isi pikirannya. "Anak itu..."

"... Bagaimana wajahnya?"

"Ya?" Wandi dan Putra menjawab kompak dengan raut kebingungan.

"Sudahlah." Mahendra menghela napas, menyandarkan punggungnya pada kursi dan melipat tangan di atas perut. "Saya hanya bicara melantur."

Wandi dan Putra kembali bertatapan, saling memberikan bingung yang kentara di wajah keduanya.

Sosok atasan yang terlihat selalu tegas itu kini tampak lebih lesu dari biasanya. Wandi sendiri sangat mengetahui bagaimana seorang Mahendra Wasesa yang selalu dielu-elukan wibawanya, kini terlihat seperti kucing yang habis tersiram air.

"Ada lagi yang ingin di sampaikan, Pak?" Wandi berdeham kecil, sadar bahwa pikiran berkecamuk bos besarnya itu tersampaikan padanya meski hanya lewat tatapan mata.

"Tidak ada." Mahendra memalingkan wajah, menitikkan fokus pada layar canggih di depannya. "Cukup kabari saya saja apabila ada informasi lebih."

"Baik, Pak."

Siapapun dapat melihat bahwa internal keluarga Wasesa sedang tidak baik-baik saja.

Wandi sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun di keluarga ini, dan hanya dua kali ia melihat keadaan keluarga ini kacau.

Pertama, saat kelahiran nona muda yang terpaksa tak diakui sebagai keturunan Wasesa yang terpandang, dan kedua adalah saat nona muda itu diperintah langsung untuk kembali ke kediaman keluarga besar.

Segalanya berputar pada nona muda yang Wandi tak ketahui bagaimana rupanya. Yang jelas, suasana hangat keluarga Mahendra yang terjaga sejak dulu kini perlahan retak.

Namun, memangnya apa salah dari nona mudanya itu? Bahkan sejak kecil ia tidak mendapatkan hak yang sama seperti tuan muda yang lain.

Anak sekecil itu....

FlutterbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang