27

29 7 7
                                    

VOTE DULU WEEEH
HARGAI AUTHOR JANGAN MENJADI SILENT READER ☝️
.
.
.
"Kita adalah manusia itu. Manusia yang sedang dipermainkan takdir"

ԅ⁠(⁠ ͒⁠ ⁠۝ ͒⁠ ⁠)⁠ᕤ

Satu Minggu telah berlalu. Neithen telah menyelesaikan materi penelitiannya. Dalam seminggu itu hanya menemui Nara tiga kali saja. Pertama, ketika Varen memintanya datang. Ke-dua dan ke-tiga ketika dirinya datang ke kampus. Neithen datang ke kampus hanya dua kali dalam seminggu kemarin.

Selama ini Nara tidak mengabarinya perihal apa pun. Tidak ada lagi info mengenai Nesta yang sampai ke telinganya. Semua seakan berjalan lebih baik dari sebelumnya. Sesekali Nara terdiam ketika mereka bersama, namun tidak ada yang Nara ceritakan perihal Nesta.

Tidak adanya hal buruk yang terjadi pada Nara, membuat Neithen menyelesaikan materi penelitiannya dengan baik dan fokus. Minggu depan adalah sidang pertamanya, harapannya—semoga tidak terlalu banyak hal yang harus direvisi. Hal-hal baik lain selalu Neithen harapkan, seperti; lulus dengan nilai terbaik sehingga beasiswa itu bisa dia raih.

Rencana Neithen hari ini adalah berbicara dengan Nesta. Selama dua kali masuk kampus, Neithen tidak menemukan keberadaan lelaki itu. Karena Minggu ini bebas dari pelajaran, Neithen akan memanfaatkan waktunya untuk itu.

"Mau ke mana, Ney?" Faida bertanya.

"Ke rumah Varen," Neithen menjawab singkat saja.

"Nanti sore antar Nadine beli kebutuhan sekolah. Nggak tau katanya ada yang mau dibeli buat tugasnya." Faida menaruh sandalnya di rak, menaruh barang-barangnya di atas meja. Ia baru saja pulang dari kedai sedari pagi.

Neithen mengangguk. Bergegas keluar dengan motornya. Kali ini ia tidak menaiki angkutan umum seperti hari-hari biasanya. Ia membawa motornya karena selesai berbicara dengan Nesta ia berniat untuk mengajak Nara berkeliling kota.

Sialnya ia harus menemani Nadine sore hari. Si anak bertanggung jawab itu pasti mampu mengatur waktu sebagaimana mestinya.

Selama beberapa bulan ini Gerrard tidak lagi menjumpai Neithen. Faida memberitahunya bahwa, tunggu hingga kabar mengenai beasiswanya keluar barulah temui Neithen. Apa pun keputusannya, semua akan diputuskan setelah pendidikan S1-Nya selesai. Faida tidak ingin mengecewakan Neithen untuk yang kesekian kalinya jika ia harus menerima Gerrard memasuki rumahnya.

"Silakan maafkan Papa setelah aku pergi dari sini"

Kalimat itu selalu menjadi bumerang dalam benak Faida ketika ia berkomunikasi dengan kakaknya, Gerrard.

Motor beat jadul warna merah itu akhirnya tiba di depan rumah Varen. Neithen memarkirkan motornya dengan aman, lalu masuk ke mobil Varen yang sudah menunggu. Mobil melaju ke rumah Nesta.

"Dia udah nyerah apa gimana, ya? Gue udah nggak denger kabar kegaduhan dia lagi." Varen membuka suara, memecah keheningan.

"Bagus kalo seandainya dia berhenti gangguin Nara. Masalahnya, kalo dia buat ulah lagi, gua juga nggak bisa biarin Nara sendirian. Sedangkan akhir-akhir ini lo tau sendiri gua lagi mau fokus," Neithen menjawab panjang.

"Ya, semoga aja, sih, dia berhenti dulu. Lagian, dia juga harusnya fokus buat skripsi, kan bokapnya galak," Varen menimpali.

"Mungkin ini jadi alasan kenapa dia berhenti gangguin Nara, karena bokapnya minta dia buat fokus." Neithen setuju.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang