CHAPTER 12

3 0 0
                                    

"Apakah ada realita yang membuat kita bahagia?."

Aku menatap sekeliling. Riuh dan juga ramai suasana kantin di siang hari ini. Tetap ramai sampai kapan pun. Bahkan ketika suasana hening yang ada di kantin. Tetap akan ada manusia yang setidaknya datang di keheningan kantin tersebut.

Aneh yah. Tiba-tiba aku membicarakan kantin.

Padahal aku sampai sekarangpun masih tidak menyukai sesuatu yang ramai maupun berisik. Tapi, mungkin ada hal-hal yang akan aku toleransi.

Melihat siswa-siswi yang begitu semangat belanja jajanan yang berada di sekolah. Melihat pertemanan murid cewek bergandengan tangan satu sama lain. Murid cowok yang saling rangkul merangkul satu sama lain. Ada pula pasangan muda mudi yang saling berjalan beriringan dengan malu-malu.

Aku tersenyum. Melihat. Sesuatu hal lagi yang aku bisa simpan di kepalaku.

Mataku berahli menatap Nabila. Yang sedari tadi menggerutu mengeluarkan keluhan. Pesanan kami belum juga datang. Wajar. Mengingat ramainya kantin di istirahat ke dua ini. Membuat penjualnya kewalahan.

Aku terkekeh pelan melihat Nabila. Nabila ini perempuan manis ketika tersenyum. Seorang perempuan dengan jiwa ekstrovertnya yang akan membuat seseorang akan merasa terbuka bila bersamanya.

Dia memiliki social battery yang amat sangat banyak. Perempuan yang terlalu ramah dan friendly ini sering di salah pahami oleh teman lawan jenisnya. Ternyata tidak semua orang bisa membedakan beberapa sikap yang orang lain miliki.

Nabila yang eksrovert ini ternyata dia galak. Kalau sesuatu yang berharga baginya akan di ganggu. Nabila yang ekstrovert. Manis. Cantik. Di mataku. Tapi, sayangnya. Sering merasa tidak percaya diri.

Ah, maaf yah kalau terlalu panjang menceritakan sahabat perempuanku yang satu ini.

Aku yang terlalu lama menatap Nabila tak menyadari kalau Tana sudah sampai di kantin dan duduk tepat di samping Nabila. Dengan membawa pesanan kami. Lagi-lagi aku tersenyum dengan perlakuan hangat dan sepele yang aku dapatkan dari sahabat aku sendiri.

Kata orang bahkan teman kelasku sendiri mengatakan 'kau gak punya perasaan terhadap Tana?' aku jawab 'Gak'. Mereka gak percaya bila aku mengatakan itu, dan membalas perkataan ku 'Cewek dan cowok itu gak bisa temenan. Pasti salah satunya ada yang menyukai'.

Aku selalu berpikir. Kenapa tiap kali cewek dan cowok menjalin hubungan pertemanan yang baik. Selalu saja ada orang yang mengatakan itu. Bahkan tidak percaya bila ada hubungan perteman cewek dan cowok berlangsung lama tanpa melibatkan perasaan.

Memang. Jatuh cinta sama teman kita sendiri adalah kelebihan yang kita punya. Bahkan ketika menjalin hubungan yang lebih membuat kita merasa baik-baik saja. Karena dia begitu paham dengan apa yang kita sukai dan tidak sukai. Kita tidak perlu berusaha menjelaskan begitu banyak hal tentang kita, tentang apa yang ada di dalam diri kita bila menjalin hubungan itu. Karena dia sudah begitu paham. Bahkan lebih memahami diri kita di banding kita memahami diri sendiri.

Lucu yah. Bila menjalin hubungan yang mesra dengan teman atau bahkan sahabat sendiri.

Tapi....bisa saja jatuh cinta dengan teman kita sendiri menjadi kekurangan yang begitu dalam. Apa lagi kita mengetahui perasaan tersebut setelah menjalin pertemanan yang begitu lama. Perasaan kita ini datang di waktu salah. Mengakibatkan kita bimbang dan bingung. tak jarang merasa salah tingkah dengan sahabat sendiri. Begitu banyak hal yang menyakitkan bila menyukai sahabat sendiri. Apa lagi, hal yang sakit tersebut adalah kita mengetahui sosok manusia yang mana yang dia sukai.

Mengakibatkan perasaan jatuh cinta ini bertepuk sebelah tangan.

Gimana? Jatuh cinta sama sahabat sendiri tetap lucu atau berubah menjadi menyakitkan?.


Aku tersenyum melihat Tana dan Nabila begitu lahap memakan makannya. Tak banyak waktu yang kami bisa habiskan bertiga. Tak sampai setahun waktu kami bersama. Perpisahan begitu menyakitkan. Terutama. Bila perpisahan tersebut berkaitan dengan mengejar cita-cita.

"Eh kegiatan kemah bakti kelas 10 dan 11 udah ada jadwalnya. Mau ikut liat gak?" tanya Nabila di sela-sela makan siang kami. Tana menjawab dengan singkat dan kembali mengunyah baksonya, " Kapan?."

Nabila tampak berpikir dan menatapku, "Hmmm....Minggu ini mungkin. Palingan hari Sabtu dan Minggu."

Aku heran. Tana yang bertanya tapi yang dia tatap aku. Anak ini begitu sangat membingungkan. Tana hanya mengangguk dan aku memajukan diriku dan mengatakan, "Liat apaan? Palingan agendanya gak ada yang berubah kayak kita tahun lalu."

"Yah kan tahun ini ada yang beda sama kau Indah," ucap Nabila.

Aku menaikkan alis kiriku. Berpikir apanya yang berbeda. "Apanya yang beda?" tanyaku penasaran.

Nabila tertawa kecil, "Bedanya sekarang di kelas 11 cowokmu ada di sana," ucapnya jahil dan tertawa pelan tanpa mengelurkan suara.

Aku yang mendengar itu tersenyum simpul dan mengatakan, "Iya ya ada cowokku tuh situ."

Nabila dan Tana yang mendengar itu sekarang terdiam. Melihatku tak percaya dengan apa yang mereka dengar. Tana tersenyum kecil berbeda dengan Nabila yang tersenyum jahil.

"UuuuUUuu cowokku katanya Na. cowokku uuuu," ledek Nabila dengan mengangkat kedua tangannya dan menyenggol lengan Tana.

Tana melihat Nabila dan bergantian Melihatku, "OOooOoo udah mengakui aja tapi jadiannya aja belum OooOOooo," kali ini Tana yang meledekku dengan nada yang aneh.

Aku merasa kesal tapi didalam hatiku aku merasa salah tingkah sendiri. Aku menatap Tana tajam. Tertampar dengan perkataannya. Aku di hantam realita Friend.

Aku mengibaskan rambut sebahuku dengan tangan kananku begitu percaya diri dan mengatakan, "Iya dong, emang cowoknya siapa lagi kalau bukan cowokku?."

"WOOOOOOOOOOO," seru mereka heboh. Nabila bertepuk tangan pelan dan Tana menggeleng tak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Hahaha waah anak ini. Makin pede sekali berbicara. Tana, kali ini kita berdua kalah melawan sosok bucin satu ini," kata Nabila menunjukku dan Tana mengangguk serta bertepuk tangan.

Aku yang percaya diri ini menghempas pelan tangan Nabila yang menunjukku.

Perempuan yang sedang jatuh cinta ini di lawan.

"Awas yah lain kali kau yang kalah," kata Tana menatapku sengit.

Aku menatapnya tajam dan mengatakan, "Siapa takut. Maju lo maju."

Nabila yang mengunyah tersenyum mendengar nada bicaraku. "Idih anak jakarta ko?pakai lo lo?" ucap Tana sinis dan segera menghabiskan baksonya.

Aku tersenyum lebar atas kemenangan yang bukan apa-apa ini. Topik cadaan kali ini akan kami lakukan selama mungkin. Aku kembali memakan makananku.

Melihat dua orang manusia yang ada di hadapanku ini. Yang otaknya akan bekerja ketika ujian tengah berlangsung. Begitu macam trik pintar yang mereka punya untuk melakukan hal-hal yang di lakukan anak SMA lainnya.

Selama aku makan. Aku memikirkan perkataan Tana yang ia lontarkan ke aku. 'Udah mengakui aja tapi jadiannya belum'. Makanan yang aku telan entah kenapa terasa pahit. Apakah di hantam realita seperti ini begitu membekas dan menyakitkan.

Yah. Aku mengakui bahwa ada kalanya kalau realita itu lebih menyakitkan di bandingkan apapun. Aku berpikir. Apakah kita di larang untuk memiliki sebuah harapan? Atau kebahagiaan yang sederhana?.

Kenapa realita itu selalu di sangkut pautkan dengan kata menyakitkan. Seolah-olah membuat kita harus berpikir, sebelum di hantam realita lebih baik untuk sadar diri terlebih dahulu.

Aku menghela napas dan berfokus untuk menghabiskan makananku.

Apakah ada realita yang membuat kita bahagia?.


***

Aku Menunggu Kamu. Karena Tau Kamu KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang