Prolog

1.7K 144 43
                                    

Lengking jeritan lagi-lagi menjelma jadi pengawal hari Kenneth. Kelopak mata membuka kasar, satu desahan napas jengkel terlepas dari celah birai keringnya. Tubuh lelah habis bekerja lembur hingga dini hari dipaksanya untuk duduk; sudah paham kalau semakin lama mengulur waktu, maka tangisan dari sosok di sebelahnya juga bakal makin keras menggema.

“Kakak! Kakak, hiks, Kakak!” Rengek seorang balita laki-laki bersurai ikal itu. Dia duduk di atas tilam tipis yang sudah basah—anak itu mengompol. Tak pelak waktu Kenneth melihatnya, dia bertambah emosi. Jam di dinding bahkan baru menunjuk angka lima; itu artinya dia hanya sempat tidur dua jam setelah pulang kerja dini hari tadi. “Ck, harus berapa kali lagi aku bilang, jangan minum dan banyak gerak sebelum tidur!” Bentak Kenneth sehingga balita itu makin menangis. Sungguh ini sudah jadi makanan sehari-hari untuknya, tapi tetap saja tak pernah terbiasa. Mendengar tangis balita di waktu pagi dia yakin sudah cukup membuat orang berpikir ulang untuk punya anak.

“Sini cepat! Berhenti menangis!” Si balita sesenggukan, merasa panik dan ketakutan karena sudah kotori kasurnya. “Kubilang sini!” Tanpa diberi kesempatan untuk merespon, lengan kecil sang balita lebih dulu digeret kasar sampai berdiri di sebelah si pemuda yang kini ditelan amarah. “Hua, sakit! Tangan Elan sakit, Kak!” Pekikan itu tak digubris selain omelan diterima menyuruhnya diam dan jangan manja. Balita itu tak punya pilihan selain berdiri menahan tangis sambil menurut ketika dilepas bajunya. “Tunggu Kakak di kamar mandi dan jangan sentuh apa pun, awas sampai kulihat ada sabun tumpah lagi!” Bibir kecil anak itu diketap, dia mengangguk karena takut akan dimarahi lebih parah.

Membiarkan balita tiga tahun pergi ke kamar mandi tanpa diawasi oleh orang dewasa saja sudah cukup bahaya; bagaimana kalau tangan penasaran mereka mencapai produk kimia seperti sabun dan sampo, lalu sampai tertelan? Bagaimana kalau rasa penasaran mereka membuat langkah kakinya sembarangan dan terpeleset lantai licin? Atau lebih parah, bagaimana jika mereka bisa mencapai bak yang penuh air dan jatuh tenggelam? Kemungkinan itu bisa saja terjadi, tapi kalau kalian mengkhawatirkan terlalu banyak, Kenneth bukan orang yang akan mendengarkan.

Masih duduk di tempatnya semula, manik kecokelatan Kenneth tertuju ke pintu kamar yang barusan dilewati oleh si balita. Elan nama anak itu, atau Kieran lebih tepatnya, balita tiga tahun yang setiap hari cuma tahu membuat dia repot saja. Mereka tinggal hanya berdua di rumah sewa ini, dan biar Kenneth beri tahu kalian satu hal; setiap detiknya, dia semakin membenci balita itu. Kebencian yang terus tumbuh serta dipupuk dengan segenap hati dan jiwanya.

‘Kenapa,’ kalian bertanya? Karena kehadiran Kieran adalah kesalahan. Kesalahan besar yang menariknya jatuh makin dalam ke jurang gelap ketika hidupnya dari awal sudah berantakan. Kenneth paham takdir sengsaranya telah digariskan kala dia terlahir dengan status omega, tapi senang rasanya begitu tahu semua hal masih bisa bertambah buruk di luar kendalinya. “Argh, sial ... aku benar-benar harus mencari orang yang mau mengadopsi anak itu.” Desah Kenneth, menyibak selimut dan lekas memberesi kasur milik Kieran untuk dicuci. Dia tidak henti menggerutu soal bau pesing yang diakibatkan oleh kelakuan si kecil, sebab mereka cuma punya satu kamar yang ditempati berdua—gila saja dia harus menghirup udara tercemar begitu.

Kasur dan celana kotor sang balita dibawanya ke kamar mandi, sedang di sana ada Kieran yang berbaik hati menahan pintu supaya tidak tertutup waktu dilewati kakaknya. Kenneth mendecih kesekian kali, tangan pegangi pinggang dan bahu yang sakit—dia bekerja menjadi pelayan di sebuah restoran, pegal sekali harus membawa banyak piring dan gelas setiap hari, belum tugas lainnya.

“Lihat kasurmu, lain kali tidur di luar saja kalau ngompol terus! Kerjaku bukan hanya mengurusmu, tahu??” Kieran berjengit kaget, air matanya langsung mengintip lagi, tapi dia lekas diperingatkan, “Menangislah, jadi anak cengeng sekali!” Sungguh kenapa kakak selalu marah padanya meski dia sudah berusaha jadi anak baik? Kieran tidak tahu dia harus apa.

For Better or For Worse | ft. Nahyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang