Sebuah pernikahan bukanlah hal kecil yang bisa di lakukan dengan sesuka hati, sebagian orang beranggapan bahwa pernikahan hanya di lakukan satu kali seumur hidup dan untuk itu mestinya harus di persiapkan secara matang-matang. Sama halnya yang saat ini sedang di lakukan oleh Rafael dan Raina, kedua anak manusia itu sibuk wara wiri hanya untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk acara pernikahan yang akan dilakukan kurang lebih satu minggu lagi
Waktu terus berputar hingga rasanya tinggal menghitung hari untuk sah menjadi Nyonya Rafael Robert, dan selama itu pula Raina merasakan adanya sebuah kejanggalan di dalam hatinya. Mungkin wajar kalau seorang calon pengantin merasa gugup di detik-detik pernikahannya, namun yang di rasakan oleh Raina ini berbeda, alih-alih merasa gugup, ia lebih merasa bersalah pada Rafael dan keluarganya karena hingga detik ini hatinya sama sekali belum tersentuh untuk membalas perasaan sang pangeran, justru bayang-bayang orang lain lah yang akhir-akhir ini memenuhi p
fikirannyaTerlalu larut dalam fikiran, Raina sampai tidak sadar kalau Rafael sedang melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajahnya, barulah ketika Rafael mengguncang bahunya ia mendapatkan kembali kesadarannya
"Kamu melamun? Ada masalah?"
Raina berdeham sebelum akhirnya menggeleng pelan, kendali demikian wajahnya tidak bisa menyembunyikan jika dirinya sedang banyak fikiran "Aku baik-baik aja"
Rafael menghela nafas, sudah sejauh ini namun Raina belum juga terbuka padanya mengenai masalah apapun yang sedang wanita itu hadapi. Rafael tidak memaksa jika wanita itu memang belum sepenuhnya percaya padanya
"Jangan pendam masalah sendiri Rai, aku selalu di sini buat dengerin semua keluh kesah kamu"
Raina menoleh ke arah Rafael "Aku udah bilang nggak ada apa-apa"
"Your eyes can't lie"
Raina terdiam, ia lupa kalau Rafael pintar membaca ekspresinya
"Sayang... "
"I don't think I can continue with this marriage"
Rafael menegang, ekspresinya sulit di gambarkan, yang jelas ia sangat terkejut dengan apa yang baru saja Raina katakan "Jangan bercanda, semuanya udah di persiapkan" Ucap Rafael ingin mengambil jemari Raina untuk di genggam, namun Raina menolak. Saat ini mereka sedang ada di mall setelah lelah mengurus persiapan pernikahan, dan Raina seenaknya bilang tidak mau melanjutkan pernikahan ini
"Raina, kamu tahu aku nggak suka sama candaan semacam ini?" Kali ini rahang Rafael mengeras, berusaha untuk menahan semua gejolak emosi yang ada di dalam hatinya
Raina membalas tatapan itu dengan mata berkaca-kaca "Maaf kalau kesannya aku mempermainkan kamu, tapi memang sejak awal aku cuma menganggap kamu sebagai sahabat, Rafa"
Frustasi, Rafael mengacak rambutnya sendiri "Tapi kenapa kamu nerima lamaran aku saat itu?! Kenapa Raina?!" Emosinya sudah tidak bisa di bendung lagi, Raina akhirnya menangis setelah Rafael membentaknya, sungguh Raina merasa benar-benar jahat pada laki-laki tulus di hadapannya ini
"Maaf, aku-"
"Kita bicarakan lagi di rumah, di depan orang tua kita" Ucapnya dingin kemudian pergi, tidak lupa ia menarik tangan Raina untuk mengikutinya. Meskipun sedang di selimut amarah, Rafael tidak akan pernah bisa meninggalkan seorang wanita sendirian, apalagi ini adalah Raina, wanita yang selalu ia idam-idamkan
Selama di perjalanan, hanya ada keheningan karena baik Rafael maupun Raina tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Rafael juga sudah menghubungi orangtua mereka untuk berkumpul di apartemen Raina
"Keterlaluan kamu Raina!"
Raina menunduk dengan air mata berjatuhan setelah Dirga, sang ayah membentaknya di hadapan Rafael dan kedua orangtuanya "Kamu fikir pernikahan itu cuma buat main-main?! Setelah semua persiapan kamu seenaknya mau batalin?! Di mana otak kamu Raina?!"
