3.1 - Di Ambang Batas

164 6 1
                                    

Ada satu cerita lucu, tentang perjuangan keras yang tidak dihargai. Sejak awal pemenangnya telah ditentukan.

Aku yang bukan apa-apa dan dia yang selalu dianggap luar biasa.
.
.
.
.
.
.

Kamis, 27 Juli 2023.

J A N E S A membawa dua tangan ke belakang kepala, lalu ditarik ke atas untuk merenggangkan tubuh. "Capek jadi bidadari. Tiap hari bolak balik langit bumi." Kambuh lagi narsisnya.

"Mabuk perjalanan nggak?" tanya Nereya.

"Nggak, dong. Gue asal minum obat, ternyata manjur. Nggak mau sebut merek, nanti dikira endorse," ujar Janesa tersenyum tipis.

"Nggak ngefek. Lo bukan seleb." Pradikta menyela, lalu pergi.

Kairo yang sedang mondar-mandir mendengar percakapan tadi, lalu seenaknya menyela tanpa diajak. "Anak tetangga yang ternyata sepupu dekat gue, kalau dilihat dari sisilah keluarga dia anak sulung dari empat bersaudara, yang juga anak dari adik perempuan nyokap gue, dengan demikian dia ponakan nyokap gue, cucunya kakek gue yang telah meninggal dua tahun lalu menyusul nenek gue yang adalah ibu kandung dari nyokap gue, tiga hari lalu dia salah minum obat, terus berubah jadi ikan buntal."

Inti pembicaraan tidak masuk ke otak Janesa. "Denger lo ngomong, gue pusing."

Kairo terkekeh. "Kalau gitu sama. Denger lo pusing, gue juga pusing. Pasti lo denger gue pusing gara-gara lo pusing, tambah pusing, 'kan?"

"Udah! Udah cukup!" Janesa memijat kepala.

Nereya menggeleng kepala. Percakapan absurd.

Kairo kembali ke tempat duduk, setelah berhasil merayu seorang teman untuk meminjamkan pena. Sekarang bertarung kembali dengan soal-soal fisika.

Hanya Nereya yang santai. Sementara yang lain mengernyit, garuk kepala, gigit-gigit pena. Tingkat kerumitan soal bikin sakit kepala.

Tidak terkecuali Kairo yang terlihat frustrasi. "Kasihanilah kami, Pak. Mana masih muda, belum nikah punya istri tiga, gundik lima, masa harus mati gara-gara fisika?" Oh, dia sedang berpikir untuk membangun harem.

Bila ada celah untuk meledek Kairo, tidak akan disia-siakan Pradikta. "Jangan mati, Sobat. Negara masih butuh lo sebagai sampah masyarakat."

"Sampah masyarakat? Nggak! Nggak boleh! Nasib bangsa ini ada di tangan generasi muda! Gue harus berubah!" Ucapan Kairo berapi-api seperti cuplikan pidato seorang komandan sebelum terjun ke medan perang.

"Yakin mau berubah?" Tahu ending-nya seperti apa, Pradikta tetap mengikuti alur yang disiapkan. Dia memang partner lawak yang asyik.

"Gue akan buktiin ke semua orang, gue sanggup berubah jadi powerbank!!" Berharap Kairo serius? Mustahil.

Dari 3 soal yang diberikan, hanya punya Nereya yang benar semua. Selain wajah, kemampuan otak juga memukau.

"Bapak tahu kamu cerdas, Rey. Kalau mau, dengan mudah kamu bisa menjadi juara pararel."

Kalimat itu lagi. Pena yang berputar-putar di jari terhenti. Wajah Pradikta masam seperti sedang mengunyah belimbing wuluh.

"Saya tidak butuh itu, Pak." Di setiap sekolah ada murid yang seperti Nereya. Cerdas tetapi tidak punya ambisi besar. Hanya ingin menjalani kehidupan sekolah dengan tenang.

"Serius. Berdasarkan pengamatan saya, kamu yang pantas menduduki juara pararel."

"Berarti gue nggak pantas?" Bisikan pelan menjelma tepian pisau, mengiris dada. Pena remuk dalam tangan Pradikta. Dia sudah cukup sabar selama ini.

CamaraderieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang