7.2 - Dendam Seorang Mantan

126 2 2
                                    

Jangan menyerah,
sampai sihir alam semesta bekerja.
.
.
.
.
.

Kamis, 10 Agustus 2023.

K A M I S  datang lagi, masih pagi, Bumi setia berotasi. Benda langit terbesar di Bima Sakti bergerak perlahan dari timur, kita menyebutnya Matahari. Setelah kemarin tersihir, efek yang ditimbulkan belum berakhir, rasa penasaran masih membanjir. Siswa-siswi kembali ke tempat yang sama, mengitari pohon flamboyan yang belum berbunga.

Semua sudah tidak sabar, di mata ada binar, di dada ada debar. Nereya berdiri di belakang kanvas, sengaja ditutup agar nanti kejutan membekas.

"How much longer?" Davinka tidak bisa menoleransi waktu lebih lagi.

Safia juga sangat penasaran, tetapi dia bukan tipikal yang mendesak.

"Lo mau bikin kita nunggu sampai kapan?!" Jovi, apa-apa ditanggapi dengan emosi. Ditambah volume suara hampir selalu keras.

Seseorang bersuit. Jari yang lentik memainkan ujung rambut. "How boring!" Pemilik suara lembut menggoda: Lena.

Kiyomi sibuk mengunyah potongan terakhir lalu membuang bungkusan kosong ke tanah. Aksi tersebut mendapat protes dari Lena yang berdiri tidak jauh.

"Angkat!"

"Males, Honey!" Kiyomi mengejek.

Supaya tidak terjadi debat panjang, Safia tunduk memungut bungkusan snack itu.

"Permisi! Tolong beri jalan!" Benar-benar padat. Janesa menyerobot masuk ke dalam kerumunan. Hanya diberi jalan sempit, sehingga dia harus menyamping dan bergerak pelan-pelan agar tidak menyenggol siapa pun. Hari ini tampilan manis, sebagian rambut dikepang, lalu diikat dengan pita panjang, sisanya dibiarkan tergerai.

Nereya meraih tangan yang halus itu, membawa ke tengah-tengah lingkaran manusia. Pertunjukan tidak akan dimulai tanpa Janesa.

"Kenapa lukisannya belum dipamerin? Kasihan 'kan nunggunya lama." Suara-suara protes, wajah-wajah kesal, bisa dimaklumi Janesa.

Mau segaduh apa pun, Nereya tidak peduli. "Karena yang dilukis belum datang."

Waktu terus diulur, Jovi semakin kesal. "Lo nggak bilang kita harus nunggu di sini sampai tahun depan! Tahu gitu gue bawa makanan yang banyak!!"

Sadar sedang diperhatikan Kairo, Jovi melotot berang. "Apa lihat-lihat?!"

Gertakan itu tidak menciutkan nyali. Kairo tersenyum santai. Lesung pipi terbentuk sempurna, berkolam dan dalam. "Cuma mau mastiin beneran manusia bukan? Aura negatifnya kuat banget. Jangan-jangan arwah penasaran."

"Mau gue pukul?!" Bukan omong kosong, Jovi telah mengangkat tinju.

Kiyomi maju menghadapi. Sorot mata seperti singa betina yang sedang mengincar mangsa. Ada percikan api yang tidak kelihatan. "Lo nggak lihat pacarnya di sini?!"

"Terus? Lo pikir gue takut?" Jovi menaruh tangan di kepala Kiyomi. Perbedaan tinggi badan sangat kentara. "Pendek gini gue injek langsung jadi tempe penyet!"

Barusan itu kalimat terlarang yang tidak boleh sampai ke telinga Kiyomi. Dia menendang lutut hingga Jovi terduduk, tulang terasa ngilu. "Sekarang siapa yang jadi tempe penyet? Mental rempeyek macam lo, gue injek langsung ancur!"

Menunggu karma datang, sangatlah lama. Kiyomi membalas sakit hatinya sendiri. Semua tertawa. Dijatuhkan oleh orang yang telah dia hina hanya dengan satu tendangan, sungguh pengalaman yang memalukan bagi Jovi.

"Cewek gue keren!" Kairo memberikan aplaus paling heboh, sambil mengajak yang lain. "Bantu tepuk tangan woyy!!"

Suara Lena ringan, seperti bunyi lonceng. "Tempe penyet dan rempeyek. Terus satunya lagi apa, ya?"

CamaraderieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang