Tidak ada yang bisa menebak hati manusia, termasuk manusia itu sendiri. Hari ini berdebar-debar karena seseorang, besok mungkin saja debarannya hilang karena suatu alasan.
.
.
.
.
.Selasa, 1 Agustus 2023.
A R E A belakang kelas tidak luput dari perawatan. Pepohonan setinggi 13 kaki dan tanaman perdu tumbuh dengan baik. Sejuk dan tenang untuk dijadikan tempat bersantai.
Nereya bersandar di tembok belakang kelas. Satu kaki ditekuk, tangan bersedekap. Memberi waktu untuk dua kekasih, sekitar 17 menit menjelang apel pagi di hari Selasa. Tidak akan beranjak dari situ, sampai perbincangan selesai.
Beberapa kali Vino menoleh ke samping, jengkel karena kehadiran orang lain. Dia tidak suka ada yang mengawasi ketika sementara berbicara serius, mata dengan mata, hati dengan hati. "Dia nggak disuruh pergi dulu?"
"She's stay here." Keputusan Janesa final. Dia yang minta ditemani Nereya.
Nereya lagi. Nereya lagi. Seseorang yang dicap Vino sebagai pengganggu. "Dia selalu ada dia di antara kita. Dia nggak pernah ngasih kita waktu untuk berdua aja." Bahkan di saat harus membahas mengenai hubungan mereka, Nereya yang notabene pihak lain juga hadir.
Meminta Janesa menyingkirkan Nereya, jelas bukan usul yang bagus. Ditolak mentah-mentah tanpa pertimbangan. "Lalu, apa masalahnya? Gue dan Nereya ke mana-mana selalu bareng."
"Kenapa nggak sekalian lo pacarin dia aja?" Vino merutuki diri sendiri, bisa-bisanya dia cemburu pada Nereya. Mau semaskulin apa penampilannya, tetaplah perempuan.
"Jangan asal ngomong!" hardik Janesa.
Kecemburuan Vino tentu beralasan. Ketampanan Nereya Magenta tidak bisa dinilai lumayan saja. Laki-laki pun menganggapnya sebagai saingan.
"Gue ini siapa bagi lo?" tanya Vino.
Gue ini siapa bagi lo? Ketika pasangan melontarkan pertanyaan tersebut, berarti ada kecewa yang lama dipendam, ada pengertian yang diinjak-injak, ada rasa yang dipermainkan, ada hati yang sudah lelah.
"Ya, pacar," jawab Janesa.
"Tapi, lo nggak pernah ngehargain gue sebagai pacar! Kemaren gue nungguin lo hampir 2 jam, terus lo pergi gitu aja dengan dia!" Amarah meluap.
Hubungan yang tidak didasari saling, seperti perahu berat sebelah. Hanya satu yang berjuang, mempertahankan dan menjaga. Tinggal menunggu waktu untuk tenggelam dan karam. Bahkan untuk memeluk dibutuhkan kedua tangan, untuk berjalan dibutuhkan kedua kaki. Sendiri bagi yang diharuskan bersama, itu sulit.
"Kan, udah dijelasin, Rey dan gue buat janji lebih dulu." Sesuai yang dikatakan Janesa kemarin.
"Iya! Iya! Tapi, setelah itu, lo sama sekali nggak nelpon buat minta maaf! Lo nggak mikirin perasaan gue!" Vino berikan waktu sampai Senin kemarin, Janesa tidak ada inisiatif mendekatinya untuk minta maaf.
"Minta maaf? Salah gue apa?" Janesa. Janesa. Beginilah bila di dalam hubungan, memberi dan menerima porsinya tidak seimbang. Salah satu akan semena-mena.
"Dan juga nggak ngerasa bersalah sama sekali." Suara laki-laki itu merendah. Kecewa yang tertanam amatlah dalam.
Menghela napas. Janesa di ambang batas. "Sekarang lo nyebelin banget, tahu nggak."
Semua muak. Janesa muak. Namun, Vino lebih-lebih muak. Sebagai pacar dia tidak menuntut banyak, asalkan dihargai. Baru tersadar, sejak awal ini bukan cerita tentang dia dan Janesa. Dia hanya pemanis kecil yang kebetulan menyempil di dalam persahabatan mereka. Disangka yang utama ternyata cuma figuran. Tahu arti figuran? Peran yang tidak berarti. Karena itu, tidak masalah bila dihapus dari cerita. Lagipula, nanti kehadirannya tidak diingat lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie
Roman pour AdolescentsMurid berprestasi? Itu bukan kami! Sekolah nggak usah dibikin ribet. Yang penting naik kelas. Eh, tapi.... kenapa tiba-tiba alurnya berubah? "Kita lihat setelah satu bulan nanti, apakah Bapak masih bisa meremehkan saya selantang ini!"