6.1 - Menolak Menyerah

133 1 1
                                    

Menunggu sambil menghibur diri, barangkali nanti kamu khilaf.
Suatu hari, di jam yang tidak kutahu, entah di menit ke berapa detik ke berapa, hatimu terpeleset, lalu jatuh cinta padaku secara tidak sengaja.
.
.
.
.
.

Selasa, 8 Agustus 2023.

S A N G A T jarang melihat Janesa berjalan sendirian di Sanera—singkatan dari SMA Lentera. Orang-orang telah menganggap dia dan Nereya sepaket, seperti mentega dengan roti, kepala dengan topi, cangkir dengan kopi. Anggota klub mesti diingatkan sekali lagi, bukan via whatsapp tetapi secara langsung. Dalam perjalanan menuju kelas Lena di gedung B, tertangkap gerak-gerik mencurigakan.

"Sedang apa dia?"

Itu Jovi. Gadis dengan rambut keriting cokelat gelap, seperti diterpa bias matahari sore. Bola mata berwarna sama, seolah separuh matahari tenggelam di sana. Kulit sawo matang. Darah Sunda dan Papua mengalir di dalam tubuhnya. Tidak heran dia cantik, karena mewarisi pesona dari dua suku yang berbeda.

Gadis itu sedang berada dalam misi rahasia yang mendebarkan. Beberapa kali dia mendesah. Jelas-jelas sedang mengintip dari balik tiang penyanggah, hanya belum tahu siapa yang dijadikan objek.

"Kepo gue," ujar Janesa.

Ini menarik. Janesa menyeberangi lapangan menuju gedung yang berbeda. Kebetulan dia punya urusan di situ, sebentar relakan waktu demi tuntaskan penasaran yang menggelitik pikiran. Kemudian ikut melangkah ke perpustakaan, menyusul Jovi.

Gadis keriting itu pura-pura sibuk mencari buku. Judul demi judul dibaca secara acak, dia berjinjit untuk menjangkau buku di rak atas. Keseriusan yang dibuat-buat tampak di wajah. Empat langkah di sebelah, seorang laki-laki sedang asyik sendiri.

Janesa berjuang menahan tawa. Nggak cocok.

Sekarang Janesa tahu, objek yang membuat preman seperti Jovi meleleh. Laki-laki beralis tebal, rambut hitam legam sangat kontras dengan kulit yang cerah. Untuk ukuran anak laki-laki tidak terlalu tinggi, tetapi wajahnya lumayan.

Rupanya laki-laki itu telah menemukan buku yang diperlukan, kemudian bergegas mencari tempat yang nyaman. Dia berhenti pada salah satu halaman. Membaca dengan teliti, poin-poin penting kemudian ditulis. Baca, tulis, baca, tulis. Begitu terus. Terlalu fokus, sampai tidak sadar ada sepasang mata yang menatap penuh harap dari meja di sebelah kiri.

Tempat duduk yang dipilih Jovi tidaklah jauh. Objek tetap dalam jangkauan. Buku hanya alasan. Sulit mengendalikan mata, dalam semenit belasan kali melirik sasaran.

Lihat dia! Terang-terangan begitu. Janesa menggeleng kepala.

"Dia orangnya?" Suara Janesa tidak hanya memecah keheningan panjang, tetapi juga memutus tali pandang.

Jovi menoleh serentak, bertemu mata dengan pemilik suara. Wajah kaget dan tidak senang. Seseorang telah mengetahui rahasia terbesarnya.

Janesa duduk di sebelah, menunjukkan minat penuh. "Ganteng. Gue deketin kali, ya." Dia tidak serius, hanya ingin tahu respons Jovi.

Mata Jovi membulat. Kecemburuan merambat cepat. Tidak ada yang boleh memuji orang itu ganteng selain dia. Bibit-bibit obsesi mulai tumbuh. "Pergi dari sini sebelum gue pukul!" Pelan tetapi terdengar jelas.

Gerakan mata sangat terbaca. Diperlihatkan Jovi secara transparan apa yang ada di hati. Janesa mengulum bibir, ke sekian kali menahan tawa.

"Tenang. Dia bukan tipe gue." Untuk kriteria fisik, Janesa suka yang lebih tinggi, soal wajah masih bisa dimaklumi, asal jangan terlalu jelek.

Terlukis isyarat dari mata Jovi bahwa Janesa harus diwaspadai. Jangan percaya hanya karena dia bilang bukan tipenya.

"Tapi, tipe bisa aja berubah sewaktu-waktu." Cara agar lawan bicara cepat terprovokasi, ucapkan dengan tenang dan yakin. Jangan tersenyum apalagi tertawa. Janesa melakukannya.

CamaraderieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang