BAB 2 : Transmigrasi (Part 2)

10 7 0
                                    

Hampir sepuluh menit berlalu, akhirnya sang dokter dan Elvino selesai berbicara empat mata. Dengan wajah yang agak sedikit sedih dan dibalut dengan kekhawatiran Elvino kembali masuk kedalam ruangan.

"Gimana !? Dokter bilang apa !?" Tanya Davira dan Jeslyn dengan penuh rasa ingin tahu.

"Dokter bilang, sepertinya Monica sedang mengalami amnesia ringan." Jawab Elvino dengan suara pelan.

"A-amnesia !?" Jeslyn dan Davira tersentak kaget mendengar berita itu.

"Amnesia !? ... Wah kocak, gua aja masih ingat kejadian semalam kayak gimana." Gumam Vania dalam batin, merasa aneh dengan situasi saat ini.

"Tapi masih bisa sembuh kan ??" Tanya Jeslyn cemas.

"Kemungkinan bisa, tapi persentasenya cuma 75% ..." Jawab Elvino, seraya mencoba tetap tenang.

"Itu dah lumayan, masih ada harapan." Jeslyn memberi semangat.

di saat Davira, Jeslyn, dan Elvino sibuk dengan kekhawatiran mereka masing-masing dan Vania yang masih tenggelam dalam kebingungannya sendiri, tiba-tiba, perhatian mereka teralihkan oleh suara televisi yang sudah menyala sedari tadi. Berita utama mengabarkan penemuan mayat seorang wanita di pinggiran kota.

Wajah mereka langsung berubah serius dan tegang. Di tengah suasana tegang itu, Vania tiba-tiba merasa jantungnya berdebar kencang. Tatapannya terpaku pada layar televisi, matanya melebar dan wajahnya memucat saat melihat tayangan di televisi.

"Itu ... Itukan gua !!" Seru Vania, suaranya bergetar. Davira, Jeslyn dan Elvino langsung menoleh ke arah Vania, lalu saling pandang dengan wajah bingung dan khawatir.

"Lo ... Enggak ngelanturkan Mon ??" Cetus Davira, suaranya penuh kekhawatiran. Vania tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Davira dan hanya bisa terdiam, wajahnya pucat dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Matanya masih terpaku pada layar televisi, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Suasana di ruangan itu semakin tegang, semua orang menunggu dengan cemas apa yang akan dikatakan Vania selanjutnya.

"Ta-Tapi bagaimana bisa ?? ... Jika itu memang gua, lalu kenapa gua masih ada di sini dan kenapa masih hidup !?" Gumam Vania seraya terus bertanya-tanya dalam benaknya.

"Apa ini cuma mimpi ??" Sambung Vania, sembari mencoba menepuk pelan kedua pipinya beberapa kali untuk memastikan bahwa dia benar-benar terjaga.

Seketika, Vania menundukkan kepalanya sejenak, mencoba mengumpulkan pikirannya yang kacau. Setelah beberapa saat, dia mengangkat kepalanya kembali.

"Sorry, apa kalian semua bisa keluar." Ujar Vania lirih. "Gua butuh waktu untuk sendiri." Sambungnya.

Davira, yang tadinya ingin menghibur Vania, menatapnya dengan penuh rasa iba. "Lo yakin ??" Tanya Davira.

Vania mengangguk perlahan, matanya masih tertuju pada dua tangannya yang masih diinfus.

Davira meraih tangan Vania dengan lembut, menyalurkan kekuatan melalui sentuhan hangatnya. "Kita akan ada di luar, jika lo butuh kita. Jangan sungkan untuk memanggil, ya."

Satu per satu, mereka mulai meninggalkan ruangan, meski dengan perasaan berat. Vania tetap di tempatnya, berbaring dengan pikiran yang berkecamuk. Setelah pintu tertutup, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri di tengah pusaran emosi dan pertanyaan yang membanjiri benaknya.

ᡣ𐭩ᡣ𐭩ᡣ𐭩

Vania ClaristaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang