BAB 11 : Hal yang tak terduga

13 7 1
                                    

Entah sudah berapa lama Vania berada di dalam toilet rumah sakit, ia duduk di atas kloset dengan tubuh terasa lemas. Wajahnya pucat pasi, dan sesekali ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri.

Matanya terasa berat, seakan ingin menangis saat itu juga, terutama setelah mendengar penjelasan dari sang polisi dan dokter. Ternyata, kabar tentang hilangnya mayat wanita yang ditemukan di pinggir kota itu benar adanya, dan yang lebih mengejutkan lagi, mayat itu adalah tubuh aslinya sendiri.

Vania ingin berteriak histeris, namun entah kenapa, kesunyian yang mengelilinginya seolah menekan napasnya. Tiba-tiba, ia terdiam, matanya membesar saat mendengar suara pintu toilet terbuka diikuti dengan langkah kaki yang mendekat.

Suara langkah itu semakin mendekat, dan tak lama kemudian terdengar suara seorang wanita sedang berbicara di telepon. Meskipun suaranya terdengar samar, Vania masih bisa mengenali siapa pemilik suara tersebut.

Suara itu ialah milik Felicia Keyana Dapen, seseorang yang harus bertanggung jawab atas kematian keluarganya dan dirinya.

"Ya, gua udah berhasil membawa mayatnya pergi." Ungkap Felicia. "Semua sudah sesuai rencana. Sekarang kita tinggal menunggu waktu yang tepat untuk langkah selanjutnya." Sambungnya.

Jantung Vania berdegup kencang begitu mendengar percakapan tersebut. Dalam kepanikannya, ia tanpa sengaja menimbulkan suara kecil. Wanita di luar langsung terdiam, suasana menjadi tegang.

“Siapa di situ ??" Tegas Felicia. Saat Felicia mengambil langkah untuk memeriksa sumber suara, pintu toilet tiba-tiba terbuka dengan derit pelan. Seorang gadis remaja melangkah masuk, membuat Felicia terpaksa memutuskan teleponnya dengan cepat. Dengan hati-hati, ia memutuskan untuk membatalkan niatnya memeriksa dan segera melangkah keluar dari toilet, berusaha sebaik mungkin untuk tidak menimbulkan kecurigaan.

Vania berusaha tetap diam, napasnya hampir tak terdengar. Jantungnya masih berdebar kencang meskipun ia telah terselamatkan oleh kedatangan gadis yang baru masuk itu.

ᡣ𐭩ᡣ𐭩ᡣ𐭩

Vania pulang ke rumah dengan wajah begitu pucat dan perasaan kacau. Setiap langkah terasa berat, seolah beban yang tak terlihat terus mengikutinya. Ketika memasuki rumah, dia berusaha keras untuk menyembunyikan kegelisahan di wajahnya, namun bibirnya yang bergetar dan tatapannya yang kosong tak bisa berbohong. Gavin, yang sedang duduk di ruang tamu, segera menyadari kondisi Vania. Ia langsung menghampirinya dengan wajah penuh khawatir.

"Dek, lo gak apa-apa ?? Wajahmu. pucat banget." Kata Gavin dengan nada begitu cemas. Vania hanya bisa menggelengkan kepala. Mulutnya terasa sangat kering, membuatnya hampir tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

"Gak ... Gak apa-apa ... It's okay, gak usah terlalu khawatir." Jawabnya seraya tersenyum tipis dengan suara serak dan hampir nyaris tak terdengar. Tanpa menunggu tanggapan Gavin, Vania langsung berjalan menuju kamarnya.
Di dalam kamar, Vania duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengatur napas dan menenangkan diri. Setiap detik terasa seperti siksaan saat dia mengingat kembali semua kejadian tadi.nKetika Vania mulai merasa sedikit lebih tenang, tiba-tiba ponsel milik Monica --- yang sekarang telah menjadi miliknya --- berdering, mengejutkannya dari lamunannya.

Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia mengambil ponsel dari meja samping tempat tidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia mengambil ponsel dari meja samping tempat tidur. Di layar, terlihat nama Davira
Dengan rasa cemas, Vania menjawab telepon. “Halo?”

Suara Davira terdengar begitu khawatir.

“Mon, lo baik-baik ajakan ??" Kata Kak Gavin lo kayak kurang sehat. Kita berempat, juga khawatir setelah kejadian disekolah tadi. Sebenarnya, apa yang terjadi ??” Ungkap Davira dengan nada cemas.

Vania berusaha menyembunyikan kekhawatirannya dan berbicara dengan lembut. “Oh, gua hanya merasa sedikit lelah. Dan tentang kejadian di sekolah, sebenarnya tidak ada yang serius. Jangan khawatir.”

Davira tetap terdengar cemas. “Kalau lo butuh apa-apa atau ada yang mau lo ceritain, kasih tahu kita yah. Gua dan yang lainnya siap kok dengerin cerita lo.”

Vania mengangguk dan tersenyum tipis meski Davira tidak bisa melihatnya. “Iya, thanks yah.” Jawabnya pelan.

Setelah menutup telepon, Vania meletakkan ponsel milik Monica di sampingnya. Meskipun dukungan Davira, dan yang lainnya sangat berarti, rasa takut dan cemas masih membayangi pikirannya. Dia kembali mencoba menenangkan diri, berharap rasa campur aduk yang mengganggu itu dapat mereda.

ᡣ𐭩ᡣ𐭩ᡣ𐭩

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Vania ClaristaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang