2. Anak Hutan

100 49 28
                                    

Udara pagi yang segar menyelimuti kami saat sinar matahari menerobos dedaunan di atas. Pohon-pohon menjulang tinggi, sementara beberapa tupai dan burung tampak sibuk dengan aktivitas mereka. Aku membawa busur, lengkap dengan lima anak panah di kantung di punggungku. Sementara Yudistira, meski hanya membawa tombak, tetap merupakan pemburu yang handal, meskipun penampilannya sering menipu.

Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari semak-semak di depan kami. Yudistira langsung siaga, mengarahkan tombaknya ke sumber suara. Aku mengambil salah satu anak panah, siap menembak jika ada bahaya.

Tanpa menunggu lama, Yudistira melemparkan tombaknya ke arah semak-semak. Terdengar suara raungan hewan—bukan dari predator, untungnya. Kami berlari mendekat, dan mendapati seekor kijang tergeletak dengan tombak tertancap di lehernya, darahnya mengalir perlahan. Kijang itu masih bergerak lemah, berusaha bertahan hidup.

“Kenapa harus kijang yang kecil?” Yudistira mengeluh, menjinjing tubuh kijang itu. "Kukira tadi rusa yang lebih besar."

Aku tersenyum kecil. "Bahkan ini tak akan cukup untuk paman. Kita harus mencari lagi.
Yudistira menghela nafas, tampak lesu.

Tanpa peringatan, suara gemerisik lain terdengar dari semak-semak di belakang kami. Refleks, aku melepaskan anak panah ke arah suara tersebut. Suara jeritan hewan terdengar, dan aku mendapati seekor kambing tertembak di kakinya.

Yudistira bertepuk tangan, tersenyum, “Kau hebat juga.”

“Tapi sayang, kau tidak menembak dengan tepat. Kambing itu kesakitan, cepat habisi," serunya, sambil menyerahkan pisau padaku.

Aku mengangguk, memegang pisau di tangan kanan. Yudistira menahan kambing itu agar tidak kabur. Dengan hati-hati, aku membeset lehernya. Darah segar memancar, mengenai kakiku dan dhoti yang kupakai. Aku mundur sedikit, kesal karena harus mencuci baju lagi.

“Kau seharusnya membuat lubang di tanah agar darahnya mengalir ke sana, bukan ke kakimu,” kata Yudistira, tertawa melihat kekesalanku.

“Tidak usah ceramah, aku akan mencucinya nanti,” jawabku datar, mengibaskan dhoti merahku yang terkena darah. Yudistira hanya menggeleng sambil tersenyum.

Beberapa menit kemudian, kambing itu sudah mati total. Aku mencoba mengangkat tubuhnya, tapi terlalu berat untukku. Aku menoleh ke arah Yudistira.

“Bantu aku,” pintaku.

“Tidak,” jawabnya singkat.

Aku menahan kesal. “Aku sudah membawa kijang,” tambahnya, seakan memberi alasan untuk tidak membantuku. Ucapan itu terasa menyebalkan, tetapi aku tak ingin memperpanjang. Aku menggendong kambing itu, berjalan tanpa banyak bicara, sementara Yudistira mengikuti dari belakang dengan senyum puas di wajahnya.

•••

Setelah perjalanan yang terasa cukup lama, akhirnya kami kembali ke rumah. Di halaman, Paman Aidan sudah menunggu, duduk di meja kayu dengan secangkir teh di tangannya. Saat melihat kami datang dengan hasil buruan, dia menyunggingkan senyum tipis.

"Kalian sudah kembali?" tanyanya dengan nada tenang.

"Ya," jawabku dan Yudistira bersamaan, meski suaraku terdengar lebih lelah. Yudistira meletakkan kijang di dekat tungku, sedangkan aku menurunkan kambing dengan hati-hati. Kami saling bertukar pandang, sama-sama lelah namun lega.
Bajuku penuh dengan darah, aroma tak sedap mulai tercium dari noda yang menempel. Aku tak ingin membuang waktu, jadi aku akan masuk ke dalam rumah dan mandi sekarang juga.

Askarayudha [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang