10. Kisah Dalam Mimpi

23 14 0
                                    

Aku terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi pelipisku. Suara teriakanku masih menggema samar di ruangan yang sunyi. Pandanganku tertuju pada langit-langit kamar, mencoba menenangkan diri. Semalam, aku terperangkap dalam mimpi yang begitu nyata.

Mimpi itu bukan mimpi biasa. Itu adalah perjalanan seorang anak bernama Raijin, dari negeri jauh di timur yang disebut Hinode. Dalam mimpi itu, segala hal terasa akrab, seakan aku pernah mengunjungi tempat itu. Anak itu kehilangan ibunya saat dilahirkan—dan ayahnya, seorang penyihir kuat, menjadi begitu keras dan agresif setelahnya. Anak itu, Raijin, dipaksa untuk berlatih siang dan malam tanpa henti, mempersiapkan dirinya untuk menjadi penyihir terhebat di klan mereka—Klan Kaminari.

Tapi latihannya tidak berakhir di sana. Dia kemudian dititipkan kepada pamannya, sosok yang awalnya dia percayai, yang menjadi pelindung dan mentornya selama bertahun-tahun. Namun, segalanya berubah ketika Raijin kembali ke klan mereka. Ayahnya, yang dulu hanya seorang figur otoriter, kini berubah menjadi sosok pembantai. Malam itu, dia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya membantai seluruh anggota klan Kaminari tanpa ampun. Semua orang, dari yang muda hingga tua, tak satu pun yang selamat.

Raijin, dalam keadaan terpojok dan putus asa, akhirnya membunuh ayahnya sendiri, menggunakan kekuatan petir terkuat dari klannya. Namun, tak ada keadilan yang menanti baginya. Sebaliknya, dia ditangkap oleh musuh bebuyutan klan Kaminari—klan Kazuki. Mereka menuduhnya sebagai dalang dari genosida tersebut. Dan akhirnya, di hadapan rakyat para hakim, Raijin dijatuhi hukuman mati.

Tapi Raijin tidak menerima nasibnya begitu saja. Sebelum hukuman itu dijatuhkan, dia mengamuk, menghancurkan seluruh pengadilan dengan kekuatan petirnya, membunuh semua yang ada di sana. Insiden itu membuatnya menjadi buronan negara Hinode, dipaksa melarikan diri dan bersembunyi selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk meninggalkan Hinode dan menuju Askaria—tempat aku tinggal sekarang.

Namun, dalam pelariannya, dia bertemu dengan seorang pria yang wajahnya ditutupi perban. Pria itu selalu muncul dalam mimpiku, dan setiap kali dia muncul, dia selalu membawa kebingungan bersamanya. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuat punggungku merinding.

Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiranku. Kenapa mimpi ini terasa begitu nyata?

Aku bangun dari tempat tidur, duduk di tepi kasur sambil menghela napas panjang. Kepalaku terasa berat, mimpi itu masih menghantuiku bahkan saat aku telah terbangun. Kenapa aku tidak pernah bermimpi tentang hal-hal yang normal saja? batinku kesal. Mimpi-mimpi seperti ini hanya membuat pikiranku semakin kacau.

Aku teringat pada seseorang, Yudistira. Dia selalu bercerita tentang mimpinya yang tenang dan damai. Pernah suatu hari dia berkata kepadaku, “Aku pernah bermimpi bertarung dengan harimau.” Aku tertawa saat mendengarnya, karena bagiku, itu bukanlah mimpi yang damai atau indah. Tapi sekarang, mengingat mimpi-mimpi anehku, mungkin bertarung dengan harimau terasa lebih normal dibandingkan apa yang kualami tadi malam.

Aku bangkit, menyadari bahwa kamar itu terasa terlalu sunyi. Tak ada siapa pun di sini, hanya diriku dan jam dinding yang terus berdetak tanpa henti. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi—waktu yang terlalu siang untuk memulai hari, namun aku merasa begitu lelah, seolah-olah baru saja melewati malam yang panjang dan melelahkan.

Aku berjalan menuju jendela kamar, membuka tirai untuk membiarkan sinar matahari masuk. Udara pagi yang segar menyambutku, namun tetap saja tidak cukup untuk menghilangkan perasaan aneh yang menghantui hatiku. Aku memutuskan untuk keluar dari kamar, mencari udara segar di luar rumah. Semoga, dengan menghirup udara pagi dan melihat dunia nyata, aku bisa melupakan mimpi itu—atau setidaknya, mencoba memahaminya.

Askarayudha [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang