4. Sosok Misterius

85 36 27
                                    


Pria berbalut perban itu melangkah dengan tenang, mendekat ke arahku. Rambutnya yang putih tergerai di balik perban yang menutupi sebagian besar wajahnya, hanya menyisakan mata kirinya yang tajam. Perawakan tubuhnya masih sama seperti saat pertama kali aku melihatnya tujuh tahun yang lalu—tinggi, kurus, dengan jaket hitam panjang yang sedikit kusut. Langkahnya mantap, tanpa ragu, dan berhenti tepat dua meter di depanku.

“Bagaimana kondisi kalungmu? Masih aman?” tanyanya, suaranya terdengar begitu dingin, mengalir tanpa emosi seperti es yang meleleh perlahan.

Aku menelan ludah dan mengangguk pelan, nyaris tanpa suara. Meski ini sudah pertemuan kedelapan kami, kehadirannya tetap saja membuat bulu kudukku meremang. Wajahku pasti terlihat tegang, keringat mulai membasahi dahiku, dan aku sadar bahwa tanganku sedikit bergetar. Sorot mata pria itu tetap sama—tajam, dingin, nyaris tanpa rasa kemanusiaan. Ia tidak melakukan gerakan apa pun, hanya berdiri di sana, memperhatikan sekeliling dengan tatapan kosong yang misterius.

Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya ada desiran angin yang masuk melalui jendela yang sedikit terbuka. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, pria itu berbalik. Tangannya merogoh saku jaketnya yang lusuh, dan ia melangkah pergi dengan perlahan.

“Aku telah mengirim seseorang ke sini,” ucapnya tiba-tiba tanpa menoleh. Suaranya tetap tenang, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—nada yang penuh teka-teki. “Tunggu dia beberapa hari lagi. Kau akan menemukan sesuatu yang hebat.” Ia berhenti sejenak, menoleh sekilas, cukup lama untuk membuatku merasakan aliran dingin di tulang belakangku.

Setelah berkata demikian, ia melangkah ke arah lubang gelap di sudut ruangan—lubang yang selalu muncul saat dia datang. Saat kaki kanannya hampir melangkah masuk, ia tiba-tiba berhenti. Kepalanya menoleh sedikit ke arahku.

“Ngomong-ngomong, nama benda ini bukan lubang. Ini portal. Kau bisa menyebutnya begitu mulai sekarang,” ucapnya datar, lalu tanpa menunggu respons, ia melanjutkan langkahnya. Tubuhnya menghilang ke dalam kegelapan portal, bersama dengan suara langkahnya yang perlahan menghilang.

Aku tetap berdiri di tempatku, terpaku, mencoba mencerna semuanya. Begitu pria itu menghilang, aku terjatuh ke kasurku dengan napas yang berat. Dadaku masih berdebar. Aura dingin yang menyelimuti pria itu seakan masih tertinggal di ruangan ini, membuat udara terasa lebih berat dan sesak. Siapa pun yang melihatnya pasti akan merasakan ketakutan yang sama—seperti ada sesuatu yang tidak wajar dari kehadirannya.

Aku berbaring sebentar, menatap langit-langit, mencoba menenangkan pikiranku yang berputar-putar. “Seseorang akan datang…” gumamku, mengulangi kata-katanya. Apa maksud pria itu? Kenapa setiap tahun dia selalu datang hanya untuk memastikan kalung ini baik-baik saja? Dan sekarang, dia mengirim seseorang? Siapa orang itu? Apa yang diinginkannya dariku?

Kecurigaan mulai merayapi pikiranku. Rasanya ada sesuatu yang besar, sesuatu yang berbahaya, sedang mendekat. Pria itu tidak pernah menjelaskan apa pun secara gamblang, tapi firasatku mengatakan bahwa kalung ini adalah kunci dari semuanya. Dan kini, setelah tujuh tahun, mungkin waktunya telah tiba.

Aku mendesah panjang, bangkit dari kasur. Berjalan bolak-balik di kamar yang sempit, pikiran-pikiranku mulai berkecamuk. Apakah aku harus memberitahu Paman Aidan soal ini? Dia satu-satunya orang yang kupercayai, tapi aku juga tahu, jika rahasia ini sampai bocor, mungkin akan ada konsekuensi yang tak terduga.

Tapi aku tidak bisa menyimpan ini lebih lama. Tujuh tahun sudah cukup. Setiap tahun, pria itu datang, bertanya hal yang sama, dan pergi tanpa penjelasan. Selalu begitu. Dan sekarang, dia bilang seseorang akan datang. Sesuatu yang hebat akan terjadi. Apa maksudnya? Apa yang akan terjadi padaku?

Askarayudha [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang