7. Menuju Sanggar Drona

48 23 16
                                    

Pemuda itu, yang kini tampak semakin ceria, menoleh kepadaku dengan ekspresi penuh semangat. “Oh, itu adalah— eh, tunggu dulu! Sebelum itu, perkenalkan dulu, namaku Raditya Suryanata, salam kenal!” katanya sambil tersenyum lebar. Aku bisa merasakan darahku mendidih. Di tengah situasi genting seperti ini, dia malah memperkenalkan diri seolah-olah kami sedang berada di sebuah pesta.

Aku memutar mata, menahan kekesalan. Tapi Raditya tampaknya tidak menyadari atau tidak peduli. “Sanggar Drona,” lanjutnya, “adalah tempat orang-orang berlatih sihir. Di sana ada kenalan tuan Aidan, dan dia sangat ingin bertemu dengan tuan Aidan.”

Sihir? Aku mengerutkan kening, bingung. Kata itu terasa asing bagiku. “Sihir?” tanyaku, mencoba memahami maksudnya.
Raditya mengangguk dengan penuh antusias. “Ya, sihir! Itu adalah teknik supranatural yang muncul dari dalam diri manusia.”

Aku menatapnya kosong, masih tidak mengerti sepenuhnya. Di sebelahku, Yudistira menyeletuk, “Aku juga tidak mengerti.”

Raditya tertawa kecil, seolah hal itu adalah lelucon besar. “Haha, jangan khawatir. Aku juga tidak sepenuhnya mengerti, kok. Yang kutahu, sihir itu adalah senjata yang sangat hebat.”

“Ouh, baiklah,” Yudistira menjawab cepat, dengan nada ceria yang sama. Seolah dua orang ini memang sudah ditakdirkan untuk akrab. Aku mendesah lagi, merasa lelah hanya dengan mendengar percakapan mereka.

Paman yang sejak tadi hanya mendengarkan, tiba-tiba tersenyum kecil. Senyum yang pertama kali aku lihat sejak pertarungan dengan Raijin. “Kalian terlihat akrab, ya,” katanya dengan nada yang sedikit lebih ringan.

Yudistira dan Raditya mengangguk bersamaan, seolah mereka sudah menjadi teman baik dalam hitungan menit. Aku hanya bisa mengerutkan kening, tidak memahami bagaimana mereka bisa begitu cepat menjadi akrab.

Paman tampak hendak mengatakan sesuatu lagi, namun tiba-tiba ia mengurungkannya. Matanya seketika dipenuhi oleh kesedihan yang dalam, membuatku yakin bahwa dia sedang memikirkan teman-temannya yang telah tiada, seperti yang dibicarakan Raijin sebelumnya. Aku tahu paman berduka, tapi dia mencoba menyembunyikan itu di balik senyum tipis yang mulai pudar.

Dengan perlahan, paman berusaha bangkit. Aku segera membantunya, menopang tubuhnya yang lelah. “Bagaimana kabar Guru Drona?” tanyanya pada Raditya, suaranya sedikit bergetar.

Raditya tersenyum lebar, memberikan jempolnya. “Dia baik-baik saja, tuan. Dia pasti akan sangat senang mendengar kabar bahwa Anda akan datang.”

Paman mengangguk perlahan, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, kurasa kita akan pergi ke sana.”

Raditya mengepalkan tangannya dengan semangat, matanya bersinar. “Ya!” serunya penuh antusias. Dia tampak benar-benar bersemangat, seolah ini adalah petualangan besar yang telah lama dinantikannya.

Paman mencoba berdiri sepenuhnya, meskipun tubuhnya masih tampak lemah. Aku dan Yudistira segera berdiri di kedua sisinya, membantu menopangnya. “Raka, Yudistira, bereskan barang-barang kalian,” katanya, suaranya terdengar lebih kuat sekarang. “Kita akan pergi besok pagi.”

Aku mengangguk pelan, masih bingung dengan semua hal yang baru saja terjadi. Aku tidak tahu apa yang menanti kami di Sanggar Drona, atau mengapa kami harus pergi ke sana. Tapi aku percaya pada paman. Jika dia mengatakan itu penting, maka aku akan mengikuti.

Askarayudha [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang