5. Serangan

92 37 26
                                    


“Raka, Yudistira, hati-hati!” Paman berseru dengan nada waspada. Matanya terus mengawasi area hutan yang kini mulai dikuasai api. Bara merah kekuningan menari-nari di antara pepohonan yang jatuh terbakar, menyebar begitu cepat seolah siap melahap apa saja yang ada di depannya. Angin malam yang tadinya sejuk mempersempit pandanganku, mencoba melihat lebih jelas siapa yang datang.
Perlahan, sosok itu semakin mendekat, detailnya mulai terlihat. Seorang pria. Rambutnya panjang dan terikat di belakang kepala, pakaiannya tampak asing, itu seperti pakaian adat dari negara lain. Di tangan kanannya, tergenggam erat sebuah pedang panjang yang berkilauan di bawah pantulan api. Langkahnya kokoh dan penuh percaya diri, tubuhnya tinggi dan berotot, sementara kulitnya tampak putih pucat diterangi api yang berkobar di sekelilingnya.

Aku semakin memperhatikan wajahnya. Matanya sipit, tajam, dan dingin, seolah menatap tanpa perasaan. Setiap langkah yang diambilnya terasa menekan, seolah-olah ia membawa badai yang tak terlihat ke dalam langkahnya.

“Aidan Firmansyah,” pria itu berbicara dengan nada dingin dan penuh keyakinan. Nama itu meluncur dari bibirnya seperti sebuah vonis. Aku bisa merasakan tatapan paman mengeras di sampingku.

Sebelum aku sempat mencerna apa yang terjadi, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Dalam sekejap mata, kilatan petir tiba-tiba melesat dari tangan pria itu, menuju ke arah paman. Aku hampir tidak sempat menyadari apa yang terjadi, semuanya begitu cepat. Kilat itu memotong udara dengan suara desis yang memekakkan telinga, dan sebelum aku bisa bereaksi, ledakan keras mengguncang tanah di bawah kami.

Aku terhempas, tubuhku terlempar jauh ke belakang. Rasanya seperti ditabrak sesuatu yang tak terlihat, keras dan menghancurkan. Debu tebal membungkus sekitarku, membuat pandanganku kabur dan samar. Tubuhku terasa berat, penuh rasa sakit. Setiap inci kulitku seperti terbakar, nyeri menyebar ke seluruh tubuh. Aku tak tahu di mana Yudistira atau paman berada. Semuanya berputar, dunia terasa kacau.

“Mantan Pasukan Cahaya terakhir, Aidan Firmansyah!” suara pria itu bergema, terdengar tajam di antara kepulan debu. Meski aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, suaranya masih terdengar sangat jelas.

Aku mencoba bangkit, tubuhku lemah, kaki dan tanganku gemetar. “Pasukan Cahaya?” gumamku pelan, berusaha mencerna apa yang baru saja kudengar. Napasku terengah-engah, dada terasa sesak. Aku tahu nama itu, dari buku-buku sejarah yang pernah kubaca. Pasukan Cahaya—sebuah organisasi militer legendaris. Mereka disebut sebagai prajurit hebat yang mampu mengendalikan kekuatan luar biasa. Namun, aku tak pernah menduga paman adalah bagian dari mereka.

Perlahan, pikiranku mencoba menghubungkan semuanya. Paman, pria perban yang muncul dalam mimpi burukku, dan sekarang, sosok misterius ini. Apa hubungan mereka? Dan ke mana ibu Yudistira? Aku merasakan benang merah mulai terbentuk dalam pikiranku, tetapi semuanya terasa begitu kabur, seolah ada potongan-potongan yang hilang.

Namun, sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, Yudistira muncul di dekatku. Wajahnya penuh dengan luka memar, pakaiannya berantakan dan penuh debu. Dia terengah-engah, tapi matanya tetap fokus. “Kau baik-baik saja, Raka?” tanyanya, sambil mengulurkan tangan ke arahku.

Aku mengangguk pelan, meraih tangannya, meskipun seluruh tubuhku masih terasa nyeri. Dengan bantuan Yudistira, aku berdiri meskipun agak goyah. Debu-debu di sekitar mulai mereda, angin malam kembali berhembus, membersihkan udara yang penuh asap. Di kejauhan, suara dentuman keras masih terdengar.

“Ayah sedang bertarung dengan pria tadi,” kata Yudistira, suaranya datar namun penuh ketegangan. Dia batuk-batuk kecil, mungkin akibat asap yang sempat terhirupnya.

Askarayudha [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang