16. Latihan Ketiga

27 11 0
                                    

Aku dan Guru Drona telah sampai di hutan. Suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin terdengar samar, menciptakan irama tenang yang biasanya membuatku nyaman, tetapi tidak hari ini. Di depan kami, tumpukan kayu disusun rapi menyerupai piramida kecil—disusun oleh Guru Drona dengan penuh perhitungan. Ini untuk api unggun.

“Baiklah, Raka,” suara Guru Drona memecah keheningan. Dia berdiri tegak dengan tangan bersedekap, seperti seorang patung di antara pepohonan. “Sekarang kita mulai pelajaran ketiga.”

Aku mengangguk, meskipun perasaanku tidak karuan. Ada firasat yang tidak nyaman menyeruak dari dalam diriku. Apa yang akan dia ajarkan kali ini?
“Kau akan belajar mengendalikan api, Raka.”

Hatiku seperti berhenti sejenak mendengar kata-kata itu. Sesuatu yang kurasakan sejak tadi kini menjadi kenyataan. Aku menatap tumpukan kayu di depan kami, tetapi bayanganku mulai memudar. Aku tak bisa fokus. Dalam pikiranku, api bukanlah sesuatu yang bisa kuperlakukan dengan biasa saja. Api... adalah ketakutan terdalamku.

Wajahku berubah. Aku pasti tampak pucat saat itu, karena Guru Drona langsung menangkap ekspresi syok yang terpancar dari mataku yang terbuka lebar.
“Raka, ada apa?” tanyanya dengan suara yang lembut.

Aku tak mampu menjawab. Lidahku terasa kaku. Hanya gumaman pelan yang keluar dari mulutku, dan aku sendiri bingung bagaimana menjelaskan perasaan ini.
“Kau takut api, kan?” Guru Drona mengarahkan tatapan penuh pemahaman padaku. Dia tersenyum, seolah-olah sudah tahu jawabannya jauh sebelum aku bisa mengakuinya.

Aku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? Apakah Paman Aidan yang memberitahunya? Itu mungkin masuk akal. Tetapi meski begitu, aku masih tidak mengerti kenapa Guru Drona tetap memaksaku mempelajari elemen yang justru paling kutakuti. Bukankah itu kontradiktif?
“Ya,” jawabku pelan, hampir tidak terdengar. Suaraku serak, seolah setiap kata yang keluar adalah perjuangan.

Alih-alih cemas, Guru Drona malah tersenyum lebar. “Bagus, ini akan mudah.”

Kata-kata itu membuatku lebih bingung. Aku mengernyit, tidak mengerti apa maksudnya. Bagus? Bagaimana bisa sesuatu yang jelas-jelas merupakan kelemahanku disebut bagus? Bagaimana aku bisa mengendalikan sesuatu yang selama ini kutakuti?

Tatapan Guru Drona semakin mendalam, seakan dia tahu pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikiranku. “Kau pasti heran, kan, Raka?” lanjutnya dengan nada sabar.

Aku mengangguk pelan, perasaanku masih diliputi kebingungan. Ada sesuatu yang ingin dijelaskannya, tetapi aku belum bisa menangkapnya.

Guru Drona kemudian berbalik, menghadap hutan yang mengelilingi kami. Aku melihat punggungnya yang kokoh meski sudah tua, dan bagaimana matanya memperhatikan pepohonan tinggi yang menjulang di sekitar kami, daun-daunnya melambai-lambai menutupi sebagian besar langit. Cahaya matahari yang menyelinap di antara celah-celah dedaunan menciptakan suasana magis.

“Untuk mempelajari sihir, kau harus memiliki rasa takut terhadap salah satu elemen alam agar kau bisa menguasainya,” ucap Guru Drona tiba-tiba, matanya tetap menatap jauh ke dalam hutan, suaranya kini terdengar lebih serius. Lalu dia berbalik menghadapku lagi, wajahnya penuh dengan keyakinan.

Aku mengerutkan kening. Trauma terhadap elemen alam? Pikiran itu terasa aneh dan membingungkan. Sihir, yang dulu kupikir hanyalah soal kemampuan, sekarang ternyata melibatkan rasa takut yang begitu mendalam.

“Jika kau tidak memiliki rasa takut terhadap salah satu elemen alam, kau tidak bisa menguasai sihir,” lanjutnya. Tatapannya semakin tajam, serius, menuntut pemahaman lebih dalam dariku.

Askarayudha [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang