9. Guru Drona

22 15 0
                                    

Kami semua ikut duduk di teras rumah kayu sederhana itu, kamu duduk melingkar. Cahaya matahari pagi mulai menembus kabut tipis, sinar jingganya menyebar lembut di atas Sanggar Drona. Udara pagi terasa segar, sedikit sejuk, memberikan kedamaian yang hampir bertentangan dengan pembicaraan yang akan segera terjadi.

Paman memandang Raditya sejenak, lalu berkata, "Sudah selesai jalan-jalannya?" Nada suaranya tenang, tetapi ada ketegasan yang selalu ada pada paman.

Raditya menegakkan tubuh, tersenyum lebar seperti anak kecil yang baru saja menyelesaikan tugasnya. "Sudah, Tuan!" serunya penuh semangat.

Paman mengangguk pelan, lalu memutar tubuhnya sedikit untuk berbicara dengan pria tua di sampingnya—seseorang yang baru saja aku sadari sebagai sosok penting di tempat ini. Gurunya, Guru Drona. Ketika paman menyebutnya "guru," hatiku bergetar. Dia adalah Drona, pemilik sanggar ini. Tempat pelatihan sihir.

Suasana tiba-tiba berubah serius ketika paman memulai percakapan yang berbeda. “Raijin ya?” kata paman perlahan, suaranya sedikit lebih berat dari biasanya. "Dia anggota Khandastra?"

Mendengar nama itu, alis Guru Drona mengerut dalam. “Khandastra,” gumamnya dengan nada yang penuh ketegangan. "Ya, dia adalah anggota organisasi gelap itu."

Aku dan Yudistira saling pandang. Meski kami tidak mengerti sepenuhnya, rasanya ada sesuatu yang sangat berbahaya terkait nama itu. Di sisi lain, paman terlihat semakin fokus, matanya tajam, penuh perhatian.

"Apa itu Khandastra?" tanya paman, suaranya penuh rasa ingin tahu. Sesaat kemudian, aku merasa seolah dunia melambat ketika pria tua itu mulai menjawab.

Guru Drona mengembuskan napas panjang, lalu berbicara dengan nada berat yang penuh kewaspadaan. "Khandastra adalah organisasi rahasia yang berisi para pembunuh bayaran. Mereka bekerja untuk orang-orang yang membayar mereka, atau untuk tujuan yang tidak diketahui." Dia berhenti sejenak, batuk pelan, menatap lurus ke depan dengan mata yang tampak lelah karena terlalu banyak melihat dunia. "Yang membuatnya lebih mengerikan adalah, mereka semua pengguna sihir yang kuat. Padahal, sihir sudah lama dilarang, lebih dari satu dekade yang lalu.”

Paman tampak terguncang oleh informasi itu. Wajahnya semakin serius, seolah dia baru menyadari sesuatu yang lebih dalam dari sekadar organisasi gelap. "Sihir dilarang lebih dari satu dekade yang lalu," gumamnya, memikirkan kata-kata itu dengan penuh perhatian.

Guru Drona mengangguk. "Benar. Tapi Khandastra tidak peduli. Mereka melanggar setiap aturan yang ada demi keuntungan mereka. Anehnya lagi, jumlah anggota mereka tidak diketahui hingga saat ini. Bahkan aku tidak tahu siapa pemimpinnya."

Paman mengusap wajahnya, frustrasi. "Ini lebih rumit dari yang kuduga," katanya dengan suara rendah.

Keheningan menyelimuti kami sejenak. Di balik pembicaraan serius ini, terdengar suara kicauan burung-burung pagi dan gemerisik angin yang berhembus di sela-sela pepohonan. Tapi suasana kami sama sekali tidak tenang.

"Mereka juga yang membunuh..." Guru Drona menghentikan kalimatnya, seolah terlalu berat untuk dilanjutkan.

"Membunuh teman-temanku, kan?" Paman memotongnya dengan suara yang hampir pecah. Mata paman mulai berkilau dengan air mata yang tak lagi bisa ia tahan. Tangan-tangannya mengepal, menahan rasa sakit yang hanya dia sendiri yang bisa mengerti.

Guru Drona mengangguk pelan, wajahnya penuh duka. “Hasyim, Himesh, dan Karina. Mereka semua terbunuh oleh Khandastra.”

Aku menatap paman dengan rasa kaget dan iba. Aku belum pernah melihat paman menunjukkan emosi sekuat ini. Dia adalah sosok yang selalu terlihat tegar, tak tergoyahkan, tapi sekarang... aku melihat sisi lain dari dirinya.

Askarayudha [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang