6. Pertarungan

72 32 22
                                    

Aku berniat menghampiri paman, tapi tiba-tiba Yudistira menarik lenganku dengan cepat. Tatapan matanya serius, lebih dari biasanya. “Jangan lakukan hal bodoh, Raka. Kau harus tetap tenang,” serunya dengan nada tegas, mencoba menahanku agar tak bergerak lebih jauh. Sialan, dia menyuruhku untuk tenang di saat seperti ini? Paman sedang bertarung melawan seorang pria yang bisa mengeluarkan petir dari pedangnya! Mana mungkin aku bisa tenang melihat itu?

Memang benar, paman juga bukan orang sembarangan. Dia bisa menyemburkan api dari dalam tubuhnya, tapi—entah kenapa, aku merasa Raijin berbeda. Kekuatan Raijin terasa jauh melampaui apa yang pernah kulihat sebelumnya. Seakan-akan petir dan angin tunduk pada kemauannya.

Suasana di sekitarku semakin kacau. Tanah berlubang-lubang akibat pertempuran, debu tebal terus bertebaran di udara, menghalangi sebagian pandanganku. Aku melirik ke sekitar, hati semakin mencelos. Meja makan kami yang tadinya utuh kini hancur berkeping-keping. Bahkan “dapur” yang sering kami pakai untuk memasak sudah tak berbentuk lagi. Aku menoleh ke arah rumah, atapnya bolong besar di beberapa bagian, runtuh terkena serangan. Ini benar-benar bencana. Hatiku semakin panas melihat kehancuran ini, dan perasaan tak berdaya mulai menyelimuti dadaku.

Aku mengatupkan bibir, mencoba meredam gejolak emosiku. “Tenang, tenang…” gumamku dalam hati. Mungkin Yudistira benar—jika aku gegabah dan bertindak tanpa berpikir, aku hanya akan memperburuk keadaan. Maka aku memilih untuk diam, meskipun dalam hati, amarah dan kegelisahan terus berkecamuk.

Sementara itu, Yudistira jongkok di sebelahku, seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku mengernyit, menatapnya dengan geram. Bagaimana mungkin dia bisa sesantai ini? Di tengah kepanikan dan kehancuran ini, dia bersikap seolah-olah tak ada yang terjadi. Benar-benar bodoh!

Tiba-tiba suara pemuda yang tadi menolong paman kembali terdengar. “Sudah kuduga ada yang membuntutiku tadi. Ternyata kau, Raijin,” katanya dengan nada yakin. Dia menyeringai, penuh percaya diri, sementara tangannya bersedekap. “Kau mengikuti jejakku dari pedesaan di kaki gunung, ya?” lanjutnya, masih dengan nada santai yang seolah meremehkan lawannya.

Di sisi lain, paman Aidan berusaha berdiri tegak. Tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan yang luar biasa, tapi pemuda itu segera membantunya bangun. Aku melihat paman mengangguk kecil, sebagai tanda terima kasih. Namun, wajahnya masih diliputi kebingungan.

Raijin tampak tidak peduli dengan ucapan pemuda itu. Dengan gerakan tenang namun mengancam, dia mengacungkan pedangnya ke atas, dan petir mulai mengalir dengan liar di sekeliling bilahnya. “Berisik,” katanya dingin. Wajahnya datar, seolah tak terganggu sedikit pun dengan provokasi pemuda tersebut.

Pemuda itu tampak serius sekarang, matanya fokus pada Raijin. Dia lalu menoleh ke paman. “Tuan Aidan, tolong semburkan api berukuran sedang ke tubuh Raijin,” katanya dengan nada tegas.

Paman menatap pemuda itu dengan wajah bingung. “Untuk apa? Api besar saja tidak berpengaruh padanya, apalagi api sedang,” jawab paman, suaranya jelas mengisyaratkan keraguan. Dari nada bicaranya, aku tahu bahwa paman tak begitu percaya pada rencana pemuda tersebut.

Namun, pemuda itu tidak mundur. Tatapannya semakin tajam. “Lakukan saja, tuan! Kau akan mengerti,” desaknya. Ada kepercayaan diri dalam suaranya yang membuat paman terdiam sejenak, merenung. Akhirnya, dengan anggukan kecil, paman setuju.

Dia menarik napas dalam-dalam, menyiapkan semburan api lainnya. Kali ini, api yang keluar dari mulutnya memang tidak sebesar sebelumnya, tapi tetap cukup untuk membakar siapa pun yang terkena. Api itu melesat cepat, langsung mengarah ke Raijin yang sedang mempersiapkan serangannya.

Askarayudha [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang