15. Berita Duka

16 10 0
                                    

Aku berbaring di atas kasur. Meskipun sudah ada bantal, aku lebih nyaman meletakkan kedua tanganku di bawah kepala. Udara sejuk masuk melalui jendela kecil di samping tempat tidurku, dan bayangan pohon di luar memberikan suasana tenang yang membuatku semakin rileks. Di bawahku, Yudistira sudah terlelap. Suara dengkurannya terdengar samar-samar, membuatku sadar betapa cepatnya dia jatuh tertidur. Mungkin dia benar-benar lelah.

Aku memejamkan mata, mencoba melupakan kelelahan fisik dan mental yang menumpuk. Latihan, obrolan dengan Raditya dan Rani, serta pikiran tentang energi sihir terus berputar di kepalaku, namun lama-kelamaan, semua itu mulai memudar. Perlahan, dunia di sekitarku menjadi gelap, semakin pekat, hingga aku benar-benar tenggelam dalam tidur.

Dalam mimpiku, aku melihat hamparan sawah yang luas, hijau dan damai, dengan langit cerah tanpa awan. Angin bertiup lembut, membawa bau tanah basah dan padi yang baru tumbuh. Aku berdiri di tepi jalan tanah yang membelah sawah itu, dan di kejauhan, aku melihat seorang pria berjalan perlahan menyusuri jalan yang cukup besar untuk dilewati kendaraan.

Pria itu tampak tidak asing, mengenakan kimono berwarna gelap yang tergerai hingga kakinya. Sebuah katana menggantung di pinggangnya, bergerak perlahan mengikuti langkahnya. Wajahnya tidak sepenuhnya terlihat, namun aku bisa melihat sorot matanya yang sipit dan tajam. Rambutnya hitam, panjang, dan diikat rapi di belakang kepalanya. Raijin!

•••

Aku terbangun dengan napas tersengal di kamar asrama—panik dan kebingungan menguasai pikiranku. Tubuhku berkeringat, tangan bergetar, dan pandanganku seolah-olah masih terjebak dalam kegelapan mimpi buruk tadi. Rambutku yang terurai berantakan menempel di wajahku, membuatku semakin gelisah. Aku meraba wajahku, mencoba menenangkan diri. Mimpi itu... Raijin... Apa maksud semua ini?

"Kenapa Raijin selalu muncul dalam mimpi-mimpiku?" gumamku pelan, masih mencoba memahami apa yang baru saja kulihat. Raijin, dengan kimono birunya, berjalan di tengah sawah. Pemandangan itu begitu jelas, seakan nyata. Aku menghela napas berat, mencoba memusatkan kembali pikiranku, meski sulit.

Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka dengan suara berderit keras—atau mungkin karena aku terlalu sensitif setelah mimpi itu. Raditya dan Yudistira masuk ke dalam kamar. Mereka terlihat segar, mungkin baru saja selesai dari latihan pagi.

“Hey, Raka! Ayo, kita ke rumah Guru Drona!” seru Raditya dengan nada riang sambil melambaikan tangan. Tatapanku masih kosong, tapi aku tahu aku harus bangkit dari tempat tidur.

“Sepertinya dia masih ‘mengumpulkan nyawa,’ haha,” Yudistira menertawakan kondisiku, menepuk bahu Raditya.

Aku turun dari kasurku, melompat tanpa berkata sepatah kata pun. Setelah mengikat rambutku, aku berjalan ke luar kamar mendahului mereka. "Ayo kita pergi," ucapku datar.

Raditya tampak kecewa melihatku memasang ekspresi dingin seperti biasa, sementara Yudistira tertawa melihatnya. "Dia orang yang tidak asik, Yudis," keluh Raditya, terdengar seperti curhat.

Yudistira tertawa kecil. “Siapa bilang? Dia sangat asik. Kau akan paham nanti.”

Percakapan mereka yang membicarakanku hanya mengundang helaan napas dariku. Sejujurnya, aku masih memikirkan mimpi itu. Ada sesuatu yang salah, tapi aku tak tahu pasti apa itu.

Kami tiba di rumah Guru Drona. Rumah itu sederhana, seperti biasa, terbuat dari kayu dengan lantai batu yang dingin. Guru Drona duduk di teras rumah, mendengarkan radio kecil di sampingnya. Dia sibuk memutar-mutar dial radio, mencari siaran yang menarik. Suara berderak dan bercampur-campur terdengar sampai akhirnya ia berhenti pada saluran berita.

Askarayudha [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang