12. Latihan Pertama

15 12 0
                                    

Aku menghabiskan waktu sendirian di kamar, tenggelam dalam buku-buku yang kupinjam dari perpustakaan kelas. Hanya suara halaman-halaman yang kubalik yang menemani, seolah memberikan ketenangan di tengah kebingunganku tentang sihir, orang tuaku, dan pria perban itu. Dari pagi hingga malam, aku terus membaca, mencoba mencari jawaban di antara kata-kata di halaman buku.


Malam hari, aku memutuskan untuk meminjam buku milik Raditya. Dia bilang ingin membantuku memahami sihir lebih baik. Aku tidak yakin apakah dia benar-benar mampu. Tapi, aku berusaha untuk tidak meremehkannya-setidaknya kali ini.

Kami duduk di kamar Yudistira, yang kebetulan sedang kosong, dengan buku besar terbuka di antara kami di atas kasur. Aku memandangi gambar-gambar dua naga besar yang menghiasi halaman tengah buku itu. Naga hitam berbentuk kadal dan naga putih menyerupai ular tampak terlibat dalam pertarungan epik, cakar-cakar tajam mencengkeram tubuh satu sama lain.

"Jadi, ini wujud naganya?" tanyaku, jari-jariku menyusuri ilustrasi tersebut. Buku ini berbeda dari yang lain-ilustrasinya hidup dan detail, hampir seperti bisa melompat keluar dari halaman. Aku harus akui, aku menyukai gaya seni di dalamnya.

Raditya mengangguk, terlihat agak bangga memiliki buku itu. "Ya, ini naga barat," katanya, menunjuk naga hitam. "Dan ini, naga timur," lanjutnya, jarinya mengarah pada naga putih yang berkelok seperti ular.

Aku memiringkan kepala, mencoba memahami mengapa kedua naga itu diberi nama berdasarkan arah mata angin. "Kenapa mereka dinamai seperti itu?" tanyaku, berharap Raditya punya jawaban yang lebih mendalam.

Dia menggeleng, wajahnya tampak kosong. "Aku tidak tahu," jawabnya singkat.

Tak banyak yang bisa aku gali dari jawaban itu, tapi bagiku tak penting. Aku tidak begitu tertarik pada sejarah dua naga ini. Bagiku, fokus utamaku adalah mencari jawaban tentang diriku sendiri, tentang kekuatan yang mungkin ada di dalam tubuhku, dan-tentu saja-tentang rahasia-rahasia yang terus disembunyikan oleh paman Aidan.

Aku menatap Raditya, mencoba mencari petunjuk lain. "Naga apa yang kau lihat saat bermeditasi, Radit?" tanyaku dengan nada serius.

Wajah Raditya langsung berubah, seolah ia bangga dengan apa yang akan dia katakan. "Tentu saja naga timur! Naga putih yang berkilauan."

Aku mengangguk, berpikir. "Apa ada ciri-ciri tertentu sebelum kau melihat naga itu?" tanyaku lagi, mencoba memahami lebih dalam tentang proses meditasi ini.

Raditya mengerutkan dahinya, tampak bingung dengan pertanyaanku. "Maksudmu bagaimana?" katanya.

Aku menghela napas panjang, berusaha merangkai pertanyaanku lebih jelas. "Maksudku, apa ada tanda-tanda sebelum naganya muncul? Seperti sensasi, suara, atau penglihatan lain?"

Raditya termenung sejenak, mengingat-ingat. "Oh, begitu... Ya, sebelum aku melihat naganya, aku mendengar suara gemuruh. Setelah itu, di penglihatanku, ada awan hitam besar yang seperti membuka jalan. Saat itulah naga timur muncul, melengkung seperti pelangi di langit."

Aku mencatat informasi ini di kepalaku. Gemuruh dan awan hitam. "Baiklah, terima kasih," kataku, mengembalikan bukunya kepadanya. "Aku akan mencoba mengingat itu."

Raditya tersenyum lebar. "Sama-sama, Ra!"

Aku tersenyum kecil mendengar panggilannya. Ra? Itu terasa aneh di telingaku. Aku lebih terbiasa dipanggil "Ka" atau "Raka," tapi sepertinya ini caranya menciptakan semacam keakraban. Biar saja, mungkin ini salah satu upaya Raditya agar aku lebih mudah mengingatnya.

Beberapa menit berlalu dengan tenang. Kami masih tenggelam dalam pikiran masing-masing ketika tiba-tiba suara ketukan keras terdengar dari luar kamar. Bunyi itu bergema, menghantam pintu asrama dengan ritme yang aneh, membuatku dan Raditya saling berpandangan dengan panik.

Askarayudha [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang