CHAPTER 8 :

11 0 0
                                    

Aku Tidak Pernah Ingin Berpisah Denganmu Dalam Keadaan Sadar Atau Tidak Sadar.

Hari itu aku dan THE TANTES akan memberi kejutan ulang tahun untuk Cindy yang berulang tahun hari itu, tepat sekali mereka memang sedang mengerjakan tugas kelompok di kontrakan salah satu teman kami.

"Gimana hubungan kamu sama Jordan?". tanya Cindy.

"Normal". jawabku singkat, sebenarnya tidak tertarik membahas hubunganku.

"Kamu ingat kata anak-anak semalam soal dia kan?". tanya Cindy serius.

Sebelumnya aku memang mendengar cerita dari orang lain bahwa Jordan hampir berkelahi dengan salah satu cowok di angkatan kami karena ketahuan mencoba memegang lenganku, tanpa persetujuanku. Aku memang tidak menceritakan itu pada Jordan karena tidak ingin dia ribut dengan orang lain, lupa bahwa Jordan punya banyak telinga yang bisa memberinya banyak informasi.

"Orang kasar kayak gitu mau kamu pacarin?". tanya Cindy.

Sebenarnya aku tidak senang dengan perkataan Cindy yang langsung menilai Jordan seperti itu, namun di sisi lain aku juga tidak suka bila Jordan langsung mengajak orang lain ribut tanpa bertanya padaku lebih dulu. Perkataan Cindy saat itu benar-benar ditelan baik olehku yang langsung berpikir bahwa mungkin Jordan memang kasar. "Sama cowok aja kayak gitu, gimana sama cewek?". Perkataan Cindy terus bermain di pikiranku, membuatku mulai mempertimbangkan apakah aku benar ingin bersama dengan Jordan yang karakternya memang keras.

"Putusin aja sebelum makin jauh, sebelum kamu yang dikasarin". kata Cindy.

Saat itu, teman-temanku yang lain hanya diam karena tidak tau dengan jelas. Mereka hanya mendukung keputusanku yang dirasa baik.

Beberapa hari setelah itu aku terus memikirkan hal yang sama, alasan konyol yang membuatku akhirnya mengambil keputusan untuk putus saja dari Jordan. Aku mengakui bahwa aku masih labil saat itu, langsung mengambil keputusan begitu saja hanya karena tindakan Jordan yang tidak aku suka.

Pertandingan bola di kampus dimulai, aku datang disana dengan maksud memang untuk minta putus setelah Jordan tanding. Saat itu hujan turun, bersamaan dengan rintik hujan yang jatuh membasahi lapangan kampus aku melihat Jordan yang berlarian di Lapangan berusaha merebut bola dari lawan. Satu pertanyaan yang muncul di pikiranku adalah apakah aku benar-benar ingin menyudahi hubungan dengan Jordan.

"Kamu yakin dek?". tanya Leora memegang pundakku.

Aku hanya mengangguk, berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa aku memang yakin ingin selesai dengan Jordan.

Setelah pertandingan itu selesai, Jordan menemuiku lalu kami akhirnya duduk ditemani oleh Cindy dan Leora.

"Kamu mau putus?". tanya Jordan, suaranya berat.

Aku menengok cepat ke arahnya setelah menunduk sejak dia menghampiriku, kaget karena dia sudah lebih dulu mengetahui maksudku mengajaknya bicara.

"Kenapa tiba-tiba?". tanyaku.

"Aku udah tau kok, cewek kalau mau ngomong serius itu pasti mau minta putus". jawab Jordan.

Jordan langsung berdiri dari sampingku, "Aku pengen pertahanin tapi percuma kalau kamu lebih dengar teman-temanmu, aku gak mau putus. Tapi terserahmu mau gimana aku ikut". ucapnya, langsung pergi meninggalkanku, Leora, dan Cindy saling melihat satu sama lain bingung.

Air mataku menetes tanpa aku sadari, melihat punggung Jordan yang berjalan menjauh membuatku merasa bahwa keputusanku salah, bahwa ini bukan keputusan yang aku mau, bahwa aku ingin bersama dengan Jordan.

"Aku salah, Leora. Aku gak pengen putus". aku melihat Leora.

"Iya nanti diomongin baik-baik lagi sama Jordan, antara kalian berdua gak perlu ada aku atau Cindy yang nemenin kalian. Dari kemarin aku udah ingetin kamu untuk pikirin baik-baik, biar gak akan salah kayak gini. Kasihan Jordan, dia tadi main juga kelihatan gak serius". respon Leora.

Setelah itu Jordan benar-benar tidak menghubungiku bahkan setidaknya untuk memastikan bahwa apa yang tadi aku sampaikan setelah pertandingan bola sudah pasti ingin aku lakukan, berpisah dengannya. Aku hanya diam menatap layar hitam handphoneku menunggu kemungkinan dia akan menghubungiku sekali lagi, sayangnya mungkin aku telah menyakiti perasaannya dengan memutuskan hubungan sepihak saat kami sedang baik-baik saja.

Valerie

Aku salah

Aku minta maaf

Jordan

Aku tau kamu gak beneran mau putus

Valerie

Pertandingan besok kamu harus menang

Kalau menang nanti kita ngomong lagi

Jordan

Aku buat menang

Tiga kata dari Jordan yang membuatku tersenyum membacanya, sungguh.

Beberapa hari kemudian, tiba hari pertandingan yang akan menentukan apakah aku akan kembali berbicara dengan Jordan atau tidak. Pertandingan yang Jordan janjikan akan menang untuk bisa berbicara denganku. Para pemain keluar dari gedung fakultas menuju lapangan, dari belakang Jordan muncul dengan menggunakan jersey fakultas berwarna ungu muda dengan nomor punggung 17.

"Mau peluk dulu gak?". tanyaku mmebuat Jordan menatapku kaget karena aku tidak pernah mau terlalu dekat dengannya sebelumnya. "boleh?". balik bertanya. Aku mengangguk menjawab pertanyaan itu dan tanpa ragu langsung memeluknya. "Menang". ucapku menepuk pundaknya. Jordan akhirnya turun ke lapangan sepak bola karena pertandingan akan segera dimulai.

Karena cemas dengan hasilnya, aku dan Leora menunggu di kantin kampus yang memang bagian outdoornya menghadap langsung ke arah lapangan sepak bola kampus. Saat itu pertandingan cukup sengit membuat skor sama sampai akhir pertandingan lalu dialihkan menjadi adu penalti. Baru aku dan Leora turun untuk menonton dari dekat gawang lawan, melihat dengan jelas pertandingan itu dimenangkan oleh tim Fakultas Hukum. Gol... teriak tim suporter merayakan kemenangan, para pemain mulai merapat untuk ikut merayakan bersama mereka. Dari tempat aku berdiri dan Jordan berdiri kami saling menatap satu sama lain, lelaki itu tersenyum menaikan satu alisnya seolah mengisyaratkan dengan tengilnya "apa aku bilang, pasti menang".

Setelah ganti baju, lelaki itu menemuiku di samping gedung fakultas, hanya kami berdua karena yang lain menunggu sambil senyam senyum melihat interaksi kami.

"Jadi gimana?". tanya Jordan.

"Aku minta maaf, aku salah udah mutusin kamu sepihak kayak kemarin". jawabku.

"Jangan gitu lagi, ini hubungan kita jadi antara kita yang harus ngomong bukan malah kamu lebih dengar pihak luar". katanya pelan, tidak ingin membuatku tersinggung.

Jordan mendekat ke arahku dan mengelus kepalaku pelan, "Kamu tetap pacarku". Aku tersenyum.

Kami berdua kembali ke teman-teman kami yang sudah menunggu hasil akhir percakapan yang sederhana itu, bahwa kami balikan pada akhirnya.

Pada akhirnya aku tetap harus memilih meninggalkanmu, siapa sangka hal yang dulu paling tidak ingin aku lakukan justru berubah menjadi hal yang harus aku lakukan. Memutuskan hubungan denganmu saat aku sadar tidak sepenuhnya ingin begitu.

KATA MEREKA INI BERLEBIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang