Saat semuanya berlalu, apakah kamu pernah mengingatku?
Hari itu aku datang ke kampus untuk menemani Tara piket, karena di hari yang sama ada sparing bola di kampus. Jangan tanya kenapa tiba-tiba bola, lagi-lagi jawabannya adalah karena Jordan. Dia akan main bola di kampus, tentu saja dia minta aku datang setidaknya sebentar saja melihat bagaimana dia saat ada di lapangan. Sepertinya cara para lelaki untuk mengambil hati perempuan adalah dengan menunjukan kelebihannya atau apapun yang paling dia banggakan dari dirinya.
"Nanti habis piket pada nonton kan?". tanya kak Flora saat baru masuk ke ruangan. dijawab iya secara bersamaan oleh aku, Tara, dan beberapa orang lain disana.
"Jordan main, rie?". tanya Cindy.
"Katanya iya". jawabku.
Rasanya lama sekali waktu berjalan menuju jam 4 waktu selesai piket, sementara menunggu membuatku berusaha menentukan bagaimana aku mau menata rambutku. Apa sebaiknya dijepit atau aku urai saja membiarkan rambut panjangku terurai semua. Melihatku yang repot sendiri dengan rambutku membuat Tara jadi ikut repot, "mana coba sini aku liat". katanya membalikan kursiku ke arahnya. "mending gini?', aku menjepit setengah rambutku, "atau gini?", lalu kembali melepas jepitan. Tara memperhatikan dengan baik, berusaha menemukan perbedaan yang dirasanya sama saja. "perasaan sama aja". jawab Tara setelah beberapa menit diam.
Akhirnya aku memutuskan untuk menjepit setengah rambutku, karena memang itu yang biasanya aku lakukan. Terlebih lagi rambutku memang bukan tipe rambut lurus yang gampang diatur, ini lebih mengarah pada rambut bergelombang dan susah sekali diatur sudah seperti rambut singa.
Setelah selesai piket, kami semua yang ada di ruangan ikut bergabung ke lapangan dimana cukup ramai orang yang menonton juga walau itu bukan suatu pertandingan besar di kampus. Jujur saja aku bukan orang yang suka nonton bola bahkan aku tidak mengerti apapun soal bola. Namun karena Jordan yang memintaku untuk datang setidaknya sebentar saja melihatnya, maka aku ada disana. Berdiri di samping lapangan, dengan hanya fokus pada satu orang saja yang sedang berlari di lapangan kampus sore itu.
"Jadi semangatin nomor berapa nih?". tanya kak Flora tiba-tiba di sampingku, hanya aku balas senyum namun mataku jelas hanya tertuju pada satu orang dari tadi.
Begitu pertandingan selesai, orang-orang yang tadinya menonton sudah mulai bubar. Beberapa pemain juga sudah naik dari lapangan untuk ganti baju. Tara menggandeng tanganku mengajak pulang karena sudah lapar dan mau langsung mencari makan setelah dari kampus, sebelum kami berdua kembali ke kosan.
"Valerie". suara yang aku kenal itu menghentikan langkah kakiku begitu juga dengan Tara. Aku menoleh ke samping, arah dari mana suara itu datang. Jordan sudah berdiri di sana lalu berjalan ke arahku bersama Daniel, salah satu temannya.
"Kenapa?". tanyaku.
"Boleh foto bareng?". tanya Jordan.
Tara dan Daniel tersenyum melihat satu sama lain melihat interaksi kecil kami,
"Boleh". jawabku.
Aku dan Jordan berdiri bersebelahan, aku tepat di sisi kiri Jordan. Aku berusaha tidak terlalu dekat agar setidaknya detak jantungku yang tidak karuan ini jangan sampai terdengar oleh Jordan. Namun, aku juga bisa merasakan hal yang sama dari Jordan. Dia juga terlihat gugup karena berusaha menjaga jarak agar tidak dekat denganku, katanya takut aku tampar kalau sampai terlalu dekat.
"Gandengan kek, apa gitu, pose apa gitu, atau rangkul. Tegang banget kayak mau foto KTP". kata Daniel yang berperan sebagai tukang foto saat itu. Tara juga ikut gregetan melihat pose kami yang dari tadi sama saja, hanya berdiri tegak tersenyum ke arah kamera handphone Daniel. Dua kali difoto hasilnya sama saja pose kami, yang membedakan hanya foto pertama tersenyum, yang kedua senyum kelihatan gigi kami berdua. "Udah". Daniel menyerah pada pose kami yang sama saja.
"Makasih ya, rie". ucap Jordan tersenyum, aku mengangguk menjawab, "iya sama-sama".
Baru saja aku mau kembali bersama Tara, suara Jordan kembali memanggilku,
"Valerie". panggil Jordan.
"Ya?". jawabku kembali menoleh ke arahnya.
Jordan menghampiriku lagi bersama Daniel, "boleh foto sekali lagi gak?". tanya Jordan. Aku mengangguk mengiyakan.
Kali ini walau terlihat ragu dan hati-hati, tangan Jordan merangkul pundakku. Aku bisa merasakan gemetarnya tangan Jordan, rasanya dia mengumpulkan cukup keberanian untuk merangkul ku demi foto ini.
"Oke bagus, kayak gini dong dari tadi". kata Daniel.
Akhirnya setelah itu aku dan Tara bisa ke parkiran untuk mengambil motor Tara yang diparkir di parkiran kampus. Sepanjang perjalanan aku tidak akan berbohong untuk mengakui bahwa aku terus tersenyum lebar dan salah tingkah mengingat kejadian foto bersama Jordan tadi.
"Nyebut, rie. Istighfar, senyum-senyum dari tadi kayak orang gila". Tara melihatku dari spion motornya, "Kasmaran beneran dia". lanjut Tara.
Malamnya, aku dan Jordan sama-sama mengupload foto kami di media sosial. Dengan cara yang sama kami berdua sengaja meng-crop foto kami hanya menunjukan bagian pundak ke bawah agar terlihat no face no case atau private but not a secret atau apa pun itu yang sama saja konsepnya. Begitu foto itu kami upload, beberapa orang mulai berkomentar. Namun, dari semua orang ada satu yang berbeda dan membuatku tersenyum saat itu.
Jordan
Mami ku nanyain kamu
Valerie
Bohong
Jordan
Serius
Valerie
Kok bisa?
Terus apa kata mami kamu?
Jordan
Aku ngirim foto kita berdua
Kata mami berteman yang baik mas
Jordan selalu punya caranya sendiri untuk membuatku tersenyum, entah apapun itu caranya tapi selalu dengan cara yang tidak bisa aku tebak. Aku senang, karena mami Jordan memberikan respon yang baik atas kami berdua. Meskipun saat itu kami berdua belum berpacaran bahkan belum ada pembahasan ke arah sana. Namun, izinkan aku untuk percaya diri. Bahwa Jordan sudah menyukaiku dan punya maksud lain bukan hanya sekedar teman.
Valerie
Kenapa tangan kamu tadi gemetar waktu rangkul?
Aku memberanikan diri menanyakan terkait hal yang dari tadi sore terus melekat di pikiranku, lucu.
Jordan
Ya karena aku takut kamu tampar kalau aku berani megang kamu
Valerie
Gak mungkin aku tampar dong
Aku harap Jordan tau, bahwa saat itu dia sungguh berhasil membuatku bahagia melalui percakapan sederhana kami. Aku harap Jordan tau bahwa aku beruntung bisa punya momen itu bersamanya.
Kita mulai mencintai seseorang saat semua hal tentang dirinya menjadi penting bagi kita, saat semua yang dicintainya, keluarganya, dan teman-temannya juga jadi alasan kita makin mencintainya dan ingin menjadi bagian dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATA MEREKA INI BERLEBIHAN
RomanceSetidaknya, Kita pernah ada Kita pernah nyata Walau akhirnya tak lagi bersuara. Cinta adalah perasaan tidak terduga, ia bisa muncul kapan saja tanpa kita duga, tanpa kita rencanakan, dan tanpa kita pilih pada siapa. Tiba-tiba saja ia ada, tiba-tiba...