Bab 1

107 12 2
                                    

"Udah nikah?"

Di tengah debar jantung yang menggila sampai-sampai membuat kepala berdengung, Serayu masih harus dibuat terkejut oleh pertanyaan tadi. Malah si penanya menyuarakannya tanpa basa-basi, pun dengan raut wajah kaku dan tatapan runcing.

Tangan Serayu di atas pangkuan makin tak bisa berhenti saling meremas.  Basah telapak tangannya. Belum juga tahu harus bersikap bagaimana, sekarang lelaki yang sukses membuatnya tegang ini malah menambah pikiran.

Tadinya, Serayu kira datang ke resepsi salah satu teman SMA ini akan sedikit menghibur diri. Memang demikian. Setengah jam di sini, Serayu menikmati hidangan yang lezat. Bertemu beberapa teman SMA juga beberapa guru. Ia senang. Sampai akhirnya Darhan muncul.

Dalam sekejap pria itu menghapus senyum yang sedari tadi menghiasi wajah Serayu. Membuat jantung si perempuan seakan ingin meledak sangking cepatnya berdetak. Dan, kini Serayu mulai kesulitan bernapas juga karena pertanyaan itu.

Darhan masih mengunci tatapan. Pria itu bahkan sudah berhenti menikmati santapan di piring. Seolah tak akan berkedip sebelum Serayu menjawab.

Serayu menggeleng. "Gitu banget pertanyaannya. Kentara saya perawan tua?" Deru napasnya memburu, tetapi Serayu mampu sedikit menguasai diri dan menyuarakan kelakar ala kadarnya.

Darhan menggeleng singkat. Pria itu kembali sibuk menghabiskan makanan di piring. Serayu makin gelisah. Beberapa kali perempuan itu mengubah posisi duduk. Wajahnya menoleh kanan, kiri, ke panggung, ke sekitar, tak tentu arah karena tak tenang.

Serayu bisa sedikit bernapas lega saat tiga temannya datang, sehabis mengantre untuk bersalaman dengan pengantin. Ada Ulfa dan sang suami, Tedi, juga Winda. Mereka memang datang bersama ke sini.

Tiga orang itu menyapa Darhan karena tadi belum sempat. Menanyakan kabar pria itu tak lupa soal gandengannya.

"Belum ada," jawab Darhan singkat dan sungguh terdengar tak ramah.

Ulfa, Winda dan Serayu yang sama-sama pernah menjadi murid Darhan saling bertukar tatap. Mereka heran. Pria itu agak berbeda sekarang. Setelah bertahun-tahun, agaknya sikap ramah dan murah senyum guru mereka itu sudah tergerus.

"Wah, doanya jodoh Bapak kenceng banget berarti." Ulfa angkat suara. "Bapak sampai nggak punya gandengan ke kondangan. Ngeri banget doanya, sampai Bapak dibuat masih sendiri padahal udah tiga tujuh."

Winda terkikik, suaminya Ulfa hanya tersenyum. Serayu sendiri lagi-lagi memalingkan wajah sambil menggigit bibir. Ia pikir masih bisa bertahan, tetapi pada akhirnya perempuan itu beranjak dari kursi, pamit ke kamar kecil. Candaan Ulfa menghantamnya telak, menggerus semua nyali yang Serayu punya.

Masuk ke salah satu bilik toilet, Serayu duduk dan menopang kepala dengan dua tangan. Wajahnya hangat, kening dan punggungnya terasa mulai berpeluh. Perut bahkan ikut-ikutan mulas.

Bagaimana bisa ia bertemu Darhan di sini? Sungguh Serayu tak menyangka. Apalagi, pertanyaan yang pria itu suarakan tadi. Ditambah candaan Winda, sungguh kepala Serayu rasanya mau meledak.

Pertemuan dengan Darhan anggaplah memang kebetulan. Pernikahan kedua salah satu teman SMA-nya ini memang mengundang angkatan kelas mereka dan beberapa guru. Darhan adalah guru olahraga di sekolah Serayu dulunya. Wajar dia datang, meski  sekarang pria itu tinggal di luar kota. Pasti butuh waktu beberapa jam untuk Darhan bisa sampai ke acara ini.

Itu bisa dianggap kebetulan. Namun, bagaimana dengan candaan Winda?

Teman Serayu itu berkelakar soal keadaan Darhan yang masih melajang adalah akibat doa. Doa jodohnya Darhan. Tahukah Winda jika selama ini Serayu kerap menyelipkan nama Darhan dalam doanya?

Serayu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang