Bab 7

107 10 1
                                    

Warning! 18+

*
*
*
*
*

Serayu. Darhan melihat bayangan wanita itu. Tepat di matanya.

"Darhan!"

Darhan memejam. Telinganya memanas mengingat merdunya pekikan Serayu di pick up tadi sore. Tenggorokannya kering mengingat bagaimana indahnya Serayu ketika menggapai puncak akibat ulahnya. Juga, betapa manisnya gadis itu di mulut Darhan.

Menghisap rokoknya kuat, Darhan menumpu siku di meja. Saat ini pria itu sendirian di halaman belakang. Tidak bisa tidur, karenanya memutuskan menyibukkan diri dengan menikmati sigaret.

Benar Darhan tak bisa lupa peristiwa di pick up tadi sore. Namun, bukan itu sepenuhnya yang membuat kantuk tak mau datang. Darhan juga sedang memikirkan mamanya.

Sania tidak banyak bertanya. Namun, satu pertanyaan wanita itu kemarin sudah cukup membuat Darhan pusing. Ia merasa terbebani, meski sang ibu tak terang-terangan menuntut.

"Apa Serayu calon menantu Mama?" Begitu pertanyaan Sania kemarin.

Kadang, Darhan bingung dengan ibunya. Wanita itu punya empat anak. Tiga yang lain sudah berumah tangga. Tinggal ia seorang yang melajang. Lantas, kenapa begitu sedih? Kenapa Sania harus merasa hidupnya kurang hanya karena sampai saat ini Darhan belum punya istri?

Lagi pula, Darhan bukannya menyimpang. Ia suka perempuan. Tidak pernah membawa gandengan atau memperkenalkan pacar, bukan berarti ia pindah haluan. Darhan masih suka pada dada dan bokong berisi. Kenapa ibunya cemas berlebihan?

Memikirkan Sania, artinya Darhan juga harus memikirkan Serayu. Si pria berdecak dan geleng kepala tak habis pikir. Mengapa dua perempuan itu seolah bekerja sama membuatnya sakit kepala?

Membuang puntung rokok ke tanah, Darhan gagal membakar yang baru karena kemunculan Rafa. Adiknya itu tanpa meminta izin duduk di seberang meja.

"Aku dengar tadi," kata Rafa tanpa menatap wajah Darhan.

Satu alis si Abang menukik. "Dengar apa?" Matanya menyipit curiga.

"Pick up. Kau. Dia." Rafa menatap serius pada meja kayu di depannya. "Primitif. Merusak suasana. Bukan urusanku, tapi setidaknya hargai perempuanmu."

Darhan memalingkan wajah. Tak merespon protes itu sebab diam-diam merasa malu. Apa yang Rafa katakan benar. Ia terlalu primitif sampai-sampai meniduri seorang gadis di mobil pick up yang terpakir di pinggir hutan. Sudah macam binatang butuh kawin, hingga tak peduli waktu dan tempat.

"Kau akan menikahinya?"

"Jangan ikut campur." Kali itu Darhan menyahut cepat. "Meniduri perempuan bukan berarti akan menikahinya. Jangan sok suci."

"Ber*ngsek. Mama mengira kau sungguh jatuh cinta."

"Ta* an-j*ng," umpat Darhan.

"Lantas kenapa kau merusaknya?"

Rafa bukan orang bodoh. Tuduhan Darhan benar, dia bukan orang suci. Melihat bagaimana cara Serayu berjalan setelah turun dari pick up sore tadi dan dibandingkan dengan saat gadis itu naik ke bus dua hari lalu. Jelas ada yang berbeda.

Rafa hanya menebak. Tak ia sangka terkaan itu benar. Wajah Darhan berubah gelap kini. Artinya, si Abang mengakui sudah merusak gadis itu.

"Apa lagi memangnya?" Darhan menarik satu batang rokok dari kotak. "Aku penasaran. Nggak mengecewakan. Dia perawan."  

"Kau hanya mengincar tubuhnya?" Rafa tampak tak terima.

"Memangnya ada yang lain?" Pria itu tersenyum miring. "Kurasa aku belum akan bosan beberapa bulan ini. Mungkin, aku bisa memanfaatkan itu untuk membuat Mama berhenti cemas? Pernikahan beberapa bulan, setahun? Ini tidak seburuk itu. Kenapa wajahmu tegang? Ini baru rencana." Ia terkekeh mengejek pada Rafa yang memasang wajah ngeri.

"Kau mengerikan, Darhan," komentar Rafa iba.

Darhan tertawa penuh cemooh. Ia beranjak dari kursi. "Semua orang juga mengerikan. Jangan hanya menghakimiku." Pria itu berlalu, masuk ke rumah.

Meninggalkan Rafa yang tak jadi menyusulnya.

***

"Pak, jangan. Udah. Ini udah mau jam makan malam." Serayu berpegangan pada selimut, berusaha melawan tarikan Darhan di pinggang. Gadis itu akhirnya bisa bernapas lega sebab Darhan mengalah dan melepaskannya. Pria itu menarik dirinya, membuat Serayu bisa benar-benar tenang.

Mengambil waktu beberapa belas detik untuk mengatur napas, Serayu merangkak naik ke ranjang. Perempuan itu lilitkan selimut untuk menutup tubuh. Di depannya, Darhan yang tengah mengenakan celana melempar tatap tajam.

Kepala Serayu tertunduk. Ia mengira Darhan marah karena ditolak. Namun, Serayu juga tak punya pilihan. Mereka sudah menghilang dari orang-orang sejak sore. Ini sudah akan masuk waktu makan, semua orang akan benar-benar curiga bila kemauan Darhan dikabulkan.

"Saya bawa makanan kamu ke sini. Jangan keluar. Nanti, saya bilang kamu sakit perut." Darhan memasukkan kepala ke kerah kaus. Memperbaiki penampilan di kaca, pria itu menoleh karena tak mendengar jawaban dari Serayu.

Sadar dirinya ditatapi, Serayu mengangguk. Wajahnya kembali menghadap ke bawah, sama sekali tak mampu membalas tatapan Darhan. Beruntung Darhan segera melangkah ke pintu dan mengakhiri situasi mencekik itu. Namun, Darhan tak segera keluar. Pria itu  mendorong pintu hingga tertutup, lalu kembali memaku tatapan pada Serayu.

Melirik pria itu sekilas, Serayu kembali menunduk. Pegangannya pada selimut di dada mengencang sebab kini  sungguh susah bernapas dengan baik. Ditatap intens oleh Darhan membuatnya merasa terancam, tetapi juga masih ada debar manis yang menguasai dada. Bodoh.

Dan debar itu sempat berhenti sedetik ketika Darhan buka suara. Mengucapkan sebuah pertanyaan yang berhasil membuat dada Serayu membuncah, sekaligus sakit.

"Kalau saya ajak menikah, kamu mau?"

Berusaha bernapas dengan normal, Serayu memejam. Rahangnya tampak mengetat. Ia menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya mengangkat wajah ke arah Darhan.

Sorot mata Serayu sendu. Ada gamang, tetapi juga kesedihan di sana. Sesuatu yang Serayu yakin tak mampu Darhan baca, sebab barusan pria itu kembali bertanya.

"Nggak mau? Kamu sudah punya lelaki lain? Kamu nggak mau saya tanggungjawab?"

Mengulas senyum yang terasa pahit, Serayu menjawab dengan yakin ajakan tadi. "Ayo, Pak. Saya mau diajak menikah."

 ....

Makasih udah baca bab ini. Sehat selalu, ya.

Serayu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang