Bab 8

88 14 1
                                    

Jika boleh jujur, Serayu tak pernah membayangkan akan sepeti apa pernikahannya. Membayangkan ada pernikahan saja jarang Serayu lakukan. Sejak menyadari perasaan pada Darhan, secara sukarela perempuan itu menghapus impian soal pernikahan. Ia sadar cintanya bertepuk sebelah tangan, pun Darhan terlampau jauh dari jangkauan. 

Ia dan Darhan adalah ketidakmungkinan. Menikahi orang lain, rasanya juga tidak mungkin. Maka Serayu menyimpan semua impian soal pernikahan dalam bentuk curhatan di buku saja.

Sejak lama, Serayu juga hanya berani mencurahkan semua rasa cintanya itu ke buku harian. Jika pun ia punya khayalan soal pernikahan dengan Darhan, maka ia juga hanya akan menuliskannya, beserta semua doa yang ada nama Dahan di dalamnya.

Kini, bak mimpi yang menjadi kenyataan, Serayu mengenakan baju pengantin. Bukan gaun mewah dengan taburan berlian yang bagian bawahnya menjuntai ke lantai yang Serayu kenakan sekarang.  Hanya dress warna putih selutut sederhana dengan sedikit hiasan payet di bagian dada.

Bagian yang nyaris membuat Serayu tak percaya ialah ada Darhan di sebelahnya. Pria itu mengenakan jas hitam yang membuatnya tampak semakin gagah. Dengan selipan bunga di bagian dada, lelaki itu mirip seorang pengantin pria.

Pengantin prianya Serayu.

Pernikahan yang Darhan tawarkan berlangsung hari ini. Tepatnya sudah selesai satu jam lalu. Kini, ia dan Darhan ada di dalam mobil, sedang dalam perjalanan ke sebuah hotel untuk menghadiri acara makan bersama keluarga inti sore nanti. Serayu menolak diadakan resepsi. Selain akan menghabiskan banyak uang dan tenaga, perempuan itu juga mengaku tidak akan sanggup mengingat kondisi tubuhnya yang memang mudah lelah.

Serayu bersyukur keluarga Darhan menyetujui keinginannya itu. Mungkin, Sania si ibu mertua juga mempertimbangkan keadaan Serayu yang tak mengundang siapa-siapa selain Ulfa dan Winda di acara pernikahan ini.

Miris. Jika Serayu diminta menjelaskan pernikahannya ini dalam satu kata, maka ia akan pilih kata miris. Mungkin juga pahit. Atau ... konyol?

"Kamu nggak pa-pa?"

Pertanyaan itu menarik Serayu dari pikirannya sendiri. Sedari tadi menatap jalanan di luar jendela, kini perempuan itu menoleh pada Darhan. Suaminya. Mengingat status dirinya sekarang, Serayu tersenyum tipis. Pada Darhan ia mengangguk.

"Kamu kelihatan pucat." Darhan mengulurkan tangan untuk mengusap peluh di kening Serayu.

Membuat senyum yang lebih lebar, Serayu menjawab, "Mungkin karena sejak pagi gugup. Jantungku rasanya mau meledak." Karena terlalu sakit, sambungnya dalam hati.

Darhan mengangguk mengerti. "Di hotel nanti, tidur dulu. Kamu pusing atau ngerasa sesuatu?"

"Enggak. Kurasa aku cuma butuh tidur." Wajah sendu perempuan itu kembali mengarah ke jendela. Tidur, kemudian bangun dan diberitahu kalau semua ini cuma mimpi, harapnya dalam hati.

***

Darhan tengah menghabiskan waktu dengan menikmati Serayu tadi, sebelum si istri jatuh pingsan. Sempat berusaha membuat perempuan itu sadar, Darhan putuskan meninggalkan hotel dan pergi ke rumah sakit sebab Serayu tak kunjung bangun.

Serayu sudah ditangani dokter beberapa saat lalu. Katanya, si istri kelelahan. Informasi tambahan dari Nina jika si pasien baru menikah membuat Darhan terpaksa menerima senyum sopan yang terasa mengejek dari si dokter.

Darhan menunggu di luar ruangan Serayu. Untuk apa juga ia di dalam, sementara istrinya sedang enak-enak tidur? Sebenarnya Darhan ingin pulang saja, tetapi Sania menolak ide itu tadi.

Duduk sendirian selama sepuluh menit, Darhan melihat Rafa datang. Adiknya yang nomor satu ini baru kelihatan batang hidungnya sekarang. Di acara pernikahan tadi, hanya Samara, istrinya Rafa, yang hadir.

"Klienmu itu pasti seorang raja." sindir Darhan soal alasan Rafa absen di acara pemberkatannya tadi.

"Aku nggak berani sampai menipu di rumahnya Tuhan," balas Rafa enteng.

Darhan mencibir saja. Ia menatap malas pada pintu ruang rawat Serayu di hadapannya. "Mulutku pahit," keluh lelaki itu kemudian.

"Belum terlambat jika kau mulai sekarang."

"Apa?"

"Aku ngomong karena udah ngalami. Aku mencintai Samara sekarang."

Menoleh pada Rafa, Darhan menemukan raut serius adiknya. Ia tahu apa yang Rafa maksud.

Adiknya ini menikah karena perjodohan. Ia ingat betul betapa Rafa bersikeras menceraikan Samara di satu tahun pernikahan. Sampai Samara hamil, kemudian keadaan berubah. Ia saksi bagaimana Rafa yang awalnya sangat anti pada Samara berubah jadi tak bisa jauh dari perempuan itu.

Rafa mengaku jatuh cinta. Jatuh cinta pada istrinya sendiri. Waktu yang mereka habiskan bersama mampu menumbuhkan cinta, kata Rafa.

"Aku beda denganmu," pungkas Darhan yakin. "Kau mengubah tujuanmu soal pernikahan itu setelah melihat Samara kesusahan semasa mengandung anak kalian. Kau putuskan untuk membuka hati, dimulai dari dari kasihan. Itu nggak salah, buktinya kau sekarang bahagia. Samara perempuan yang baik." Meski berusaha terdengar normal, Darhan tak bisa menyembunyikan kesinisan di suaranya.

"Serayu rusak di tanganmu. Menurutmu dia nggak baik?"

"Dia baik." Darhan tidak menyangkal. "Karena itu kurasa dia cocok dengan rencana ini."

"Kenapa kau nggak mencoba membuka hati?" Rafa menatap lurus ke mata Darhan. Masih ia temukan redup yang kelam di sana. Hasil dari perbuatan seorang perempuan bertahun-tahun silam.

Di tempatnya, Darhan tersenyum miring. "Untuk apa? Aku nggak butuh hal seperti itu. Yang penting buatku sekarang Mama berhenti mencemaskan hal-hal konyol."

"Konyol apa? Mama hanya ingin melihatmu bahagia."

"Kapan aku nggak bahagia?" Satu alis Darhan menukik. "Aku punya uang, pekerjaanku bagus. Aku nggak menyimpang, urusan perempuan itu mudah."

Kesombongan kakaknya membuat Rafa geleng-geleng kepala. Ia menghela napas. "Jadi, kau bakal meneruskan ini? Memanfaatkan Serayu?"

"Aku nggak merugikannya," ucap Darhan yakin. "Kebutuhannya kupenuhi. Dia juga senang-senang aja."

"Tapi dia mencintaimu." Suara Rafa saat mengatakan itu amat pelan.

"Sepertinya begitu."

Cepat Rafa menoleh. "Kau tahu?"

"Perempuan nggak akan mau dijamah kalau bukan karena punya perasaan. Sepengamatanku, dia nggak ngincar duitku."

Bukan hal sulit untuk Darhan membaca Serayu. Di perjumpaan pertama, gadis itu bersikap malu-malu. Di resepsi waktu itu, Serayu sering melirik, tetapi membuang wajah ketika ditatap balik. Pertemuan kedua, Darhan tebak Serayu menghindari karena gugup. Puncaknya saat mereka liburan bersama. Perempuan itu menerima sentuhannya di dekat kolam renang dengan wajah merona dan mata berbinar yang Darhan akui sangat cantik.

Serayu juga bisa saja berteriak saat ia sentuh di pick up. Namun, perempuan itu malah pasrah. Bahkan menyerahkan dirinya, menjadikan Darhan yang pertama. Kalau bukan karena perasaan, rasanya Darhan sulit percaya Serayu mau diperlakukan seperti itu.

Dengan tebakan bahwa Serayu ada hati padanya, Darhan memberanikan diri menyuarakan ajakan menikah. Serayu sama sekali tak menolak. Bahkan tak butuh waktu lama untuk memutuskan. Ini keuntungan untuk Darhan jika sungguh Serayu mencintainya.

Darhan mendengkus dengan senyum geli saat melihat Rafa menggeleng tak habis pikir. Ia yakin, adiknya itu menganggapnya sangat jahat sekarang. Namun, Darhan tetap dengan prinsipnya. Rencana ini harus dilanjutkan. Ia tak akan merugikan Serayu. Meski pernikahan ini hanya alat baginya, untuk membuat sang ibu tak lagi mencemaskan dirinya, Darhan berjanji akan memberikan kompensasi setimpal pada Serayu.

Adil bukan?

....

Terima kasih udah mampir. Sehat selalu, ya.

Serayu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang