Bab 3

88 13 3
                                    

Liburan ini bukan apa-apa.

Serayu terus menggaungkan itu pada diri sendiri. Ia sudah dalam bus yang kata Darhan kurang orang. Duduk tak sabar, menanti sang supir naik. Di sebelahnya ada Darhan, pria itu sedang sibuk dengan sesuatu di ponsel.

Perempuan itu merasa harus membuat dirinya sadar. Ajak Darhan tak berarti istimewa. Pria itu hanya butuh orang untuk mengisi kursi kosong dan meringankan biaya sewa bus. Itu saja. Tak ada yang spesial seperti yang Ulfa dan Winda
gembar-gemborkan sejak kemarin.

Serayu tentu mengajak dua temannya itu. Ia tak mungkin sendirian. Beruntung Ulfa dan Winda setuju, meski Serayu mesti kebal disalahpahami.

Ulfa dan Winda sepakat bahwa liburan ini adalah modus lain dari Darhan. Jelas Serayu tidak sependapat. Untuk apa Darhan melakukan modus terhadapnya? Memang, apa yang pria itu coba dapatkan dari Serayu?

Menolak mentah-mentah asumsi itu, bohong jika Serayu mengaku jantungnya tak berdebar. Ada secuil harap tak tahu diri yang tumbuh. Itulah mengapa Serayu berusaha tetap berpijak pada logika. Jatuh habis mengkhayalkan sesuatu yang tak mungkin akan sangat sakit. Serayu tak ingin melukai diri sendiri dengan memupuk harap semu.

Supir bus beserta rekannya naik. Pengumuman bahwa mereka akan berangkat diberikan.

"Udah mau berangkat."

Serayu mendengar Darhan berucap. Perempuan itu mengangguk sekenanya. Ia palingkan wajah ke jendela dan berusaha menyibukkan diri dengan bayangan destinasi yang akan mereka singgahi.

Kata Darhan, mereka akan ke sebuah desa yang jauh dari kota. Menginap di sana selama tiga malam dan menikmati keasrian di sana. Ada danau dan kebun yang mereka bisa datangi nantinya. Sesuatu yang terdengar tak buruk, terutama bagi Serayu yang jarang bepergian.

"Bawa jaket nggak?"

Serayu menoleh pada Darhan untuk mengangguk.

"Di sana nanti dingin," beritahu pria itu lagi.

Si perempuan mengangguk lagi. Ia sudah akan menatap ke jendela lagi, tetapi Darhan kembali bersuara.

"Kalau ngantuk, tidur aja. Kita butuh sekitar delapan jam untuk sampai di sana."

Serayu mengangguk. Ia sudah memalingkan wajah saat tiba-tiba lengan Darhan melewati tubuhnya. Wajah Serayu berada dekat sekali dengan pria yang mencondongkan tubuhnya itu.

"Sandaran kursinya ketinggian, nggak?" Rupanya tangan Darhan ingin meraih tuas di kanan Serayu.

"Eng-enggak, Pak. Enak kayak tadi. Saya belum mau tidur."

Darhan makin mendekat untuk menekan tuas dan kembali menaikkan sandaran kursi Serayu. Tak langsung menjauh, pria itu malah menurunkan tatap hingga bertemu mata dengan Serayu yang agak mendongak.

"Udah nyaman segini?"

Serayu menahan napas ketika Darhan bicara dan embusan napas pria itu menerpa wajahnya. Eksistensi si lelaki yang berada tepat di hadapan, nyaris rapat dengan tubuhnya membuat kepala Serayu seperti akan pecah. Debar jantung tak bisa dikendalikan, Serayu berharap di dalam sana jantung itu tak sampai jungkir balik.

"Udah." Perempuan itu bersyukur masih bisa menemukan suaranya di tengah tenggorokan yang terasa kering.

Darhan menjauh, kembali duduk tegak. Pria itu berdeham beberapa kali, sebelum duduk tenang dan menatap ke depan.

Serayu memegangi dada dan agak menyerong ke arah jendela. Jantungnya seperti mau meledak. Perempuan itu memejam berupaya mengenyahkan bayang-bayang betapa dekat matanya dengan bibir Darhan beberapa saat lalu.

Serayu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang