II

26 5 2
                                    

Menjadi kuat adalah keinginan semua orang yang berada di dunia yang brutal itu, tidak peduli gender apa pun mereka. Layaknya hukum rimba, maka yang kuat akan berkuasa sedangkan yang lemah akan tergilas.

Membuat dua orang yang bernasib sama kini dipertemukan dalam garisan takdir kehidupan.

Megi, seorang pemuda yang berparas rupawan. Sekilas, orang-orang akan mengira dirinya berasal dari kalangan bangsawan sebab parasnya tersebut.

Tentu saja, hal tersebut tidak benar. Walaupun memiliki paras bak pangeran berkuda putih, dirinya hanyalah seorang pemuda desa biasa.

Di desa tempatnya berasal, dirinya sering kali diperlakukan layaknya pangeran oleh para gadis desa. Setiap dirinya melangkah, maka gadis-gadis itu akan langsung jatuh hati padanya.

Walaupun hanya seorang pemuda biasa, bahkan dirinya dapat dikatakan sama tersohornya dengan pangeran di negeri itu.

Namun seperti yang diketahui oleh semua orang, roda kehidupan senantiasa berputar. Semua atensi yang ia miliki sirna dalam semalam, sebab dirinya tiba-tiba berpindah ke sebuah dunia yang bahkan dia tidak ia ketahui sebelumnya.

Sebuah dunia yang tidak pernah mengenal kata ampun, juga dunia yang tidak pernah mengenal rasa belas kasih.

Dirinya duduk di atas tumpukan jerami, tempat di mana biasanya ia beristirahat. Netra kelabunya kemudian menatap ke arah pergelangan kakinya, terdapat sepasang besi pemberat yang menahan pergerakannya.

Nasibnya entah mengapa menjadi begitu malang di dunia ini. Mulai dari dirinya yang tiba-tiba terhempas ke dunia antah berantah, dijadikan budak oleh tiga orang mengerikan yang ditemui olehnya, kini dirinya juga harus terikat oleh bola besi yang menghambat langkahnya.

Pemuda itu kemudian menatap ke arah jendela, purnama nampak bersinar terang. Merenungi alasan kenapa nasibnya seakan menyedihkan sekali di dunia ini.

Perlahan, ia mulai merebahkan tubuhnya. Tulang punggungnya sedikit berbunyi, seakan membenarkan posisi setelah melalui hari yang panjang.

Baru saja dirinya hendak memejamkan mata, terdengar suara keributan dari luar pondok kayu yang ia tempati itu. Semakin lama, suara tersebut terdengar semakin jelas.

Didorong oleh rasa penasaran, ia akhirnya bangkit dari tumpukan jerami tersebut dan mendekati jendela. Belum juga dirinya sempat mendekat, tiba-tiba pintu rumahnya dibuka paksa.

"Jangan coba-coba kau melarikan diri dari sini, budak!"

Tidak, kali ini seruan itu tidak ditujukan kepadanya. Pria berambut ungu itu pun menendang kasar kaki pria yang sudah terkulai di lantai, kemudian dirinya menatap tajam ke arah Megi. "Besok pagi, dia harus sudah bisa bekerja untuk kami dengan benar. Jika ada satu kesalahan saja yang ia lakukan, maka nyawamu yang akan menjadi taruhannya.

Megi pun meneguk air ludahnya kasar dan mengangguk, tentu saja dirinya tidak mau sampai hal itu terjadi. "Baik, Tuan."

Tanpa banyak basa-basi, pria itu kemudian segera menutup pintu depan keras dan kemudian menguncinya dari luar, sama seperti malam-malam sebelumnya.

Dirinya kemudian segera menghampiri pria malang itu, ia pun berlutut di sebelahnya. "Hei ... apakah kau masih sanggup untuk bangkit?"

Pria itu menggeleng lemah, yang membuat dirinya tersenyum simpul. Keadaannya jauh lebih parah dari saat pertama ia tiba di tempat ini. Dengan perlahan, ia pun meletakkan lengannya di belakang leher dan lutut pria itu, kemudian mengangkat tubuhnya ke atas kasur jerami miliknya.

"Sayang sekali di sini tidak ada bahan untuk menyembuhkan luka memarmu," ujar Megi setelah meletakkan pria itu di atas tumpukan jerami, kemudian ia menatap ke sekeliling gudang sebelum berjalan menuju peti penyimpanan miliknya.

Pemuda itu pun mengambil piring kayu yang ia simpan di atas peti tersebut, kemudian ia membukanya dan mengambil sepotong roti dan beberapa buah wortel emas. Tidak lupa, ia juga mengambil wadah air miliknya sebelum kembali kepada pria itu dan memberikan makanan tersebut.

Dirinya kemudian membantu pria itu untuk duduk. "Makanlah, ini akan membantu dirimu untuk memulihkan tenaga."

Pria itu mengangguk lemah, yang mana dengan tangan gemetar dirinya mulai memakan makanan yang diberikan oleh pemuda itu.

Setelah merasa pria itu akan baik-baik saja, ia kemudian pergi ke sebuah tong berisi air. Di sana, dirinya mengambil seember kecil air dan juga sehelai kain bersih yang kemudian juga ia berikan kepada pria itu.

"Gunakan ini untuk membersihkan tubuhmu saat kau sudah selesai makan, besok kita memiliki hari yang sangat panjang dan berat," ujarnya sambil tersenyum miring. "Omong-omong, kita belum berkenalan. Aku Megi, usiaku masih sembilan belas tahun. Kau sendiri bagaimana?"

Pria itu kemudian membalas senyuman Megi dengan sedikit kaku. "Aku Kirman, dua puluh empat tahun. Terima kasih sudah membantuku."

Megi kemudian mengangguk. "Jadi ... bagaimana bisa kau tertangkap olehnya? Jika kau tidak berkenan memberitahukan hal itu kepadaku, aku sama sekali tidak keberatan."

"Nasibku memang sedang malang." Kirman pun menghela napas. "Aku tiba-tiba berada di dunia ini sejak beberapa hari yang lalu, aku sendiri sama sekali tidak tahu bagaimana caranya aku sampai di sini. Sudah beberapa kali aku berjalan-jalan tanpa arah, berharap agar dapat bertemu dengan manusia. Memang doaku terkabul, namun aku lupa meminta kepada dewa agar aku bertemu dengan orang baik saja."

Megi pun tertawa kecil mendengar ucapan pria itu. "Sayang sekali, aku turut sedih mendengarnya sebab hal itu juga terjadi kepadaku."

"Apa yang harus aku lakukan kepadamu? Sebagai balas budiku kepadamu, mengingat kau sudah mau membantuku," tanya Kirman yang membuat Megi tertawa.

"Kau dengar perkataan Ubi tadi, kan? Jadi kau cukup melakukan tugasmu dengan benar agar nyawaku tetap berada di dalam tubuhku."

Kirman pun ikut tertawa mendengar jawaban pemuda itu. "Baiklah, aku paham. Jadi apa saja yang harus aku lakukan besok?"

"Melihat kondisimu yang seperti ini, kau lebih baik mengurus pertanian dan peternakan. Tentu saja, kau juga harus menyiapkan makanan setiap harinya untuk ketiga tuan," ujar Megi, ia pun bersidekap dada. "Aku sendiri akan mengumpulkan bahan-bahan lain seperti kayu, batu, ataupun hasil tambang."

Kirman pun mengangguk. "Kebetulan aku cukup mahir dalam memasak. Hidangan apa yang harus aku buat untuk mereka bertiga?"

"Pada pagi hari, cukup berikan roti isi dan segelas susu. Siang hari, daging panggang dan kentang tumbuk. Untuk malam hari, roti dan sup. Kau bebas membuat apapun untuk ketiga menu tersebut, namun pastikan agar mereka masih panas saat dihidangkan."

Kirman pun mengangguk paham. "Baik, itu mudah. Ada hal lain lagi?"

Megi menggeleng. "Selain kau harus memanggil mereka berlima dengan kata tuan, aku rasa tidak ada lagi."

"Berlima? Bukankah hanya ada tiga?"

"Yang berkuasa memang hanya mereka bertiga, namun kita berdua adalah budak jika kau lupa. Masih ada dua anggota biasa di tempat ini, jelas status kita berbeda dengan mereka." Pemuda itu kemudian menghela napas sebelum menyingkap pakaian yang menutupi perutnya.

"Kau lihat bekas luka ini? Ini adalah bekas cambukan yang diberikan oleh Tuan Ubi sebab sup yang aku buat untuknya tidak enak." Dirinya kemudian kembali menutup pakaiannya. "Mau bagaimana lagi? Aku memang tidak bisa memasak, jadi aku sangat bersyukur mendengar kau bisa memasak."

Hal itu membuat Kirman sedikit bergidik ngeri. Meskipun baru bertemu hari ini, ia sudah tahu betapa kejamnya Ubi. Mendengar cerita pemuda itu, tentu saja ini sama sekali bukanlah kabar baik.

"Beristirahatlah. Neraka baru akan dimulai esok hari, manfaatkan waktumu sebaik mungkin. Percayalah, besok akan menjadi hari yang sangat panjang bagi kita berdua."

T.    B.    C.

=======================================

So don't forget to vote, spam comments, follow, and share if you like this story!

Vote lah cokk, aku males nulis klo sepi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KLANDESTINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang