IV

53 9 3
                                    

Siang hari di Valhalla, di pertanian yang berada tidak jauh dari gudang tempat di mana para budak tinggal, nampaklah dia orang yang tengah duduk di bawah pohon apel dengan damainya.

Megi tengah bermain dengan ilalang di tangannya, dirinya baru saja selesai mengurus pertanian yang hampir seluas dua hektar tersebut. Mulai dari gandum hingga labu, semuanya ada di Valhalla. Di sebelahnya terdapat Kirman, pria itu sedang mengawasi hewan-hewan ternak yang sedang sengaja dibebaskan di padang rumput yang berada tidak jauh dari tanah pertanian agar mereka menjadi lebih sehat.

Pria itu kemudian menghela napas, menatap kedua kakinya yang terikat dengan dua buah pemberat besi yang masing-masingnya sekitar 15 kilogram. Pemberat besi itu memang selalu dipasang saat mereka tidak diberikan izin untuk berpergian ke luar Valhalla. Beberapa kali dirinya sampai terseok sebab kedua benda yang mengikat kakinya itu.

"Kakimu masih sakit, Man?" tanya Megi tiba-tiba, menyadari arah pandangan pria manis itu. Kirman sendiri mengangguk sebagai jawaban.

"Begitulah ... namun aku rasa itu hanya karena aku belum terbiasa."

Megi pun tersenyum tipis sebelum menatap ke arah sapi yang tengah makan rumput dengan damainya tidak jauh dari mereka. "Tenang saja, aku sendiri masih tidak terbiasa seperti ini."

"Aku iri pada Edib, sangat iri." Kirman kemudian memposisikan kepalanya di bahu pemuda itu sambil menghela napas. "Izinkan aku seperti ini sebentar, badanku terasa sakit."

Megi pun tertawa sebelum menggeleng. "Tentu, aku sama sekali tidak keberatan dengan hal itu."

Keheningan terjadi di antara mereka cukup lama, kedua insan itu tengah asyik bergelut dengan pikiran mereka sendiri.

"Omong-omong, menurutmu ... apa itu kebebasan?" tanya Kirman memecah keheningan, membuat pemuda itu menoleh sebelum mulai berpikir.

"Kebebasan, ya?" Megi kemudian menyilangkan kedua lengannya di depan dada. "Kalau dipikir-pikir, sebelum menjadi budak, aku sendiri tidak tahu apa makna kebebasan. Namun, aku rasa kini aku punya jawabannya."

Kirman kemudian menatap pemuda itu. "Baiklah, apakah kau berkenan untuk memberitahu pendapatmu itu kepadaku?

Pemuda itu mengangguk. "Kebebasan adalah di mana kau tidak dihantui oleh bayang-bayang kematian, hidup dengan layak, dan diperlakukan sebagai manusia."

Mendengar jawaban pemuda itu, Kirman menjadi tertegun. Megi pun terkekeh kecil saat menyadari reaksi pria itu. "Kalau kau sendiri bagaimana, Man?"

"Aku?" Kirman kemudian membenarkan posisi duduknya dan menatap ke arah langit.  "Tidak jauh berbeda dengan dirimu, namun bedanya bagiku bisa bersama siapapun yang diinginkan juga termasuk suatu kebebasan."

"Ah ... kau ada benarnya." Megi kemudian tertawa. "Kau membuatku teringat saat aku belum berpindah ke dunia ini. Entah sudah berapa banyak pernyataan cinta ataupun penawaran pernikahan yang datang kepadaku, padahal aku hanyalah warga desa biasa seperti mereka."

"Kau memang tampan, aku sendiri tidak heran kalau sampai banyak yang sampai jatuh hati kepadamu."

Semburat merah pun muncul di pipi pemuda itu. "Kau hanya melebih-lebihkan, Kirman."

"Aku berbicara fakta," balas pria itu acuh sambil menaikkan kedua bahunya, dirinya kemudian kembali bersandar di bahu pemuda itu. "Jadi, di antara para wanita itu, apakah ada yang menarik perhatianmu?"

Megi menggeleng. "Tidak, sama sekali tidak. Aku akui mereka memiliki paras yang lumayan, namun tidak ada satupun dari mereka yang menarik perhatianku."

"Oh, jadi kau tertarik kepada pria, ya?"

Mendengar pernyataan Kirman, tentu saja membuat pemuda itu terbatuk. "Dari mana kau bisa menyimpulkan hal sebodoh itu, Man? Tentu saja tidak."

Kirman pun mendengus. "Kau sendiri yang jelas-jelas mengatakan bahwa aku menarik beberapa minggu yang lalu."

"Itu ... berbeda."

Tentu saja pria itu tidak semudah itu percaya dengan ucapan Megi, pemuda itu tidak bisa berbohong kepadanya. Reaksi pemuda itu selalu terlalu jelas baginya.

"Pembohong." Kirman kemudian menatap pemuda itu. "Silahkan saja kalau kau memang mencoba, aku tidak keberatan. Namun kau harus ingat, dunia ini penuh dengan konsekuensi dan ancaman."

Megi terdiam, ucapan pria itu benar. Mulai dari saat dirinya dapat menebak orientasi seksualnya dengan mudah sampai mengenai dunia tempat mereka berada tersebut.

Oh astaga, nampaknya hatinya memang tidak salah memilih.

"Baiklah, kalau begitu izinkan aku untuk menaruh perasaan kepadamu," ujar pemuda itu, Kirman pun terkekeh.

"Izin diberikan. Namun harus kau ingat, aku tidak akan membalas perasaanmu itu jika kau sendiri tidak dapat meyakinkan diriku. Bagaimanapun, kita hanyalah orang asing yang bertemu di sebuah tempat antah berantah."

Megi tertawa. "Tentu saja aku paham, Man. Tenang saja, aku tidak akan memaksakan dirimu untuk menerima diriku."

Senyuman indah secerah mentari itu membuat hatinya menghangat, seakan dirinya bertemu dengan seorang malaikat di tengah badai abadi yang senantiasa berkecamuk dengan dahsyatnya.

Benang merah tipis mulai terikat di antara keduanya, sebagai tanda dukungan dari semesta atas masa depan keduanya. Dedaunan juga saling berbisik, meminta satu sama lain untuk saling membantu dalam menyembunyikan kedua insan tersebut dari kejamnya takdir.

Tiba-tiba Kirman menegakkan badannya dan berdiri, membuat pemuda itu kebingungan. "Kau mau kemana?"

"Rahasiakan ini dari semesta, terlalu banyak bahaya dan ancaman yang ada di dunia ini. Aku tidak mau karena itu aku menjadi kelemahanmu, begitupun sebaliknya." Kirman pun berkacak pinggang sebelum menatap pemuda itu. "Aku harap kau paham maksud perkataanku dan tidak keberatan akan hal itu."

Megi terkekeh sebelum mengangguk. "Baiklah, aku setuju. Kau benar, akan terlalu berbahaya jika kita nampak seakan memiliki suatu hubungan."

Sebuah dunia yang seakan membenci kata cinta dan rasa kasih sayang, di mana semua itu hanya akan menjadi kelemahan terbesar. Hukum alam menguasai seluruh sendi kehidupan, sebuah hukum yang menyatakan bahwa hanya yang terkuat saja yang akan terus bertahan.

Menjadi yang terkuat, tentu saja itulah yang diinginkan oleh semua orang yang berada di dunia yang keras itu. Hampir semuanya akan mereka korbankan demi kekuatan dan kekuasaan.

Perseteruan di antara Valhalla dan Asgard contohnya, dua tempat yang berisikan para petarung hebat. Entahlah hal apa yang bisa benar-benar membuat kedua fraksi tersebut hingga berselisih hebat seperti itu, hanya ketiga pemimpin yang paham benar masalah yang sebenarnya.

Mereka tentu saja juga ikut bertarung, namun hanya demi terus bertahan hidup. Tidak ada yang abadi di dunia itu, di mana kutukan juga membayangi semua orang.

Kutukan sepuluh darah, itulah yang dikatakan oleh orang-orang yang berada di dunia itu.

"Bagus. Ayo kembali bekerja dan anggap saja tidak ada yang telah terjadi di antara kita."

Dengan itu, keduanya pun berpisah dan kembali mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing. Mengabaikan debaran jantung yang berpacu kencang sebab kejadian tersebut.

T.    B.    C.

So don't forget to vote, spam comments, follow, and share if you like this story!

KLANDESTINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang