Chapter 192

126 15 0
                                    

LUO YAN memandangi aneka hidangan di atas meja panjang. Semuanya tampak lezat dan menggiurkan. Namun, entah mengapa ia tidak dapat menunjukkan rasa antusias sedikit pun. Bahkan saat ia makan, makanan itu hanya menjadi hambar. Sungguh sangat disayangkan. Karena jelas bibinya menghabiskan banyak waktu untuk membuat hidangan ini.

Dia tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui alasannya. Itu semua karena pertemuan di taman dengan kakeknya. Pertemuan itu benar-benar membuatnya merasa sedih dan tertekan. Sesuatu yang sudah lama tidak dirasakannya.

Dia bahkan tidak merasakan hal itu saat dia meninggal dan terlahir kembali. Satu-satunya emosi yang dia rasakan saat itu adalah kemarahan dan frustrasi. Yah, memang benar bahwa keluarga barunya sangat hebat, itulah sebabnya dia mampu melanjutkan hidup dengan cukup cepat. Tapi tetap saja, tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa pertemuan dengan kakeknya akan membuatnya merasa seperti ini.

Sebelumnya, ketika ia memegang bahunya yang kurus dan gemetar itu dan bajunya yang basah karena air mata kakeknya, ia merasakan kesedihan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hampir mirip dengan saat ia mengetahui orang tuanya meninggal. Namun masih belum sepenuhnya.

Kesedihannya ketika menyadari orang tuanya takkan pernah kembali bagai jurang yang dalam. Namun kesedihannya kini bagai bola hitam yang di kelilingi duri-duri, yang terus menerus menusuk hatinya.

Tangisan kakeknya masih tak terkendali bahkan setelah Luo Yan berusaha sekuat tenaga menenangkannya. Jadi, perawat akhirnya harus menenangkannya. Dia dibawa ke kamarnya setelah itu.

Lalu Luo Yan mulai merasa sedih setelahnya.

Bukan hanya karena dia merasa kasihan padanya.Itu karena dia mengerti kesedihannya.Perasaan menunggu orang yang tidak akan pernah kembali.Dia sangat memahami perasaan itu.

Ketika orang tuanya meninggal dan dia dikirim ke panti asuhan oleh kerabatnya, dia berdiri di depan pintu panti asuhan siang dan malam. Menunggu. Menunggu orang tuanya. Menunggu mereka kembali untuk menjemputnya. Dia akan berdiri di sana di tengah matahari, hujan, atau angin. Namun, tidak peduli berapa lama dia menunggu, mereka tidak pernah kembali.

Penantian yang terus menerus itu menyebabkan dia pingsan dan terserang demam. Dia bahkan harus dikirim ke rumah sakit karena suhu tubuhnya yang tinggi. Setelah mengigau selama dua hari berturut-turut, pikiran mudanya akhirnya menyadari bahwa orang tuanya telah tiada.

Kesadaran itu mendatangkan rasa sakit yang tak terbayangkan, yang hampir membuatnya merasa seperti sebagian hatinya ikut mati hari itu. Rasa sakit itu adalah sesuatu yang tidak ingin ia alami lagi.

Mungkin itulah sebabnya dia secara tidak sadar menutup diri terhadap orang lain. Betapapun ramah dan lembutnya dia tampil di hadapan orang lain, dia tidak pernah bisa membuka diri terhadap orang lain. Di kehidupan sebelumnya, dia tidak pernah membiarkan dirinya dekat dengan orang lain. Karena dia takut merasakan sakit yang sama lagi.

Baru pada kehidupan kedua yang diberikan kepadanya ini dia bisa bersikap lebih santai dan membiarkan orang-orang masuk ke dalam hatinya. Namun melihat keadaan kakeknya, dia diingatkan sekali lagi bahwa tidak ada yang permanen. Dia bisa kehilangan orang-orang yang dia sayangi begitu saja. Tanpa peringatan apa pun.

Luo Yan tidak yakin apakah dia bisa bertahan hidup jika dia mengalami rasa sakit seperti itu lagi. Jika ayahnya atau saudara-saudaranya tiba-tiba menghilang suatu hari, dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Dia mungkin akan kehilangan akal sehatnya.

Dia menggenggam erat sumpit yang dipegangnya. Dia bahkan tidak menyadari tangannya gemetar hingga sebuah tangan yang jauh lebih besar menutupi tangannya. Dia mengangkat kepalanya dan melihat Luo Ren yang duduk di sebelah kirinya sambil tersenyum lembut padanya.

"Ini, Yan Yan, aku tahu kamu akan suka yang ini," katanya sambil meletakkan sepotong pangsit udang di mangkuk nasi Luo Yan.

Luo Jin yang duduk di depannya mendorong semangkuk sup ke arahnya. "Sup ini lezat. Jadi mulailah makan sebelum semuanya menjadi dingin," katanya dengan nada mengomel, tetapi kekhawatiran dalam suaranya tidak dapat ditutupi.

Luo Wei Tian yang duduk di sebelah kanan Luo Yan meletakkan sayur tumis di piring putranya. Ia membelai kepala Luo Yan dengan lembut. "Jangan lupa makan sayurmu."

"Ya, Yan Yan, walaupun makan sayur itu menyebalkan, sayur buatan Ibu selalu enak, jadi tidak merepotkan," kata Bai Ye dengan nada kekanak-kanakan namun manis.

"Xiao Ye, apa maksudmu?" Bai Ze terkekeh. Lalu dia menoleh ke Luo Yan. "Tapi anak itu ada benarnya. Semua hidangan di meja ini lezat. Aku bisa menjaminnya."

"Anak-anakku benar. Tapi kalau ada makanan tertentu yang tidak ada di sini dan ingin kamu makan, katakan saja padaku. Aku akan pergi ke dapur sebentar dan membuatkannya untukmu," kata Sun Xiulan dengan senyum penuh pengertian di wajahnya.

"Aku dengar dari Wei Tian kalau Xiao Yan suka yang manis-manis. Kami menyiapkan banyak sekali, jadi kamu bisa makan sebanyak yang kamu mau setelah selesai makan," kata Bai Chen.

“Tetapi jangan terlalu banyak, Paman,” Luo Jin segera mengingatkan.

Bai Chen hanya terkekeh. "Ya, tidak terlalu banyak."

Luo Yan menunduk. Ia dapat merasakan perhatian dan kasih sayang yang tulus dari semua orang. Mereka pasti khawatir padanya. Ia merasa dadanya tiba-tiba sesak. Seperti ada yang mengganjal. Semua emosi yang bergejolak dalam dirinya bagaikan air dalam wadah penuh yang menunggu untuk tumpah.

Orang-orang ini, mereka adalah keluarga barunya. Membiarkan dirinya dipenuhi dengan hal-hal negatif, terus-menerus berpikir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada mereka, sungguh merugikan orang-orang hebat ini. Seolah-olah dia mengejek cinta mereka padanya dengan memiliki pikiran-pikiran negatif ini.

Kalau dia terus seperti ini, cepat atau lambat dia akan menutup diri lagi. Dan itu sungguh tidak adil bagi keluarga barunya. Tidak, dia tidak bisa melakukan itu. Jadi, dia harus menghentikan semua kenegatifan ini selagi dia masih bisa. Bukan hanya demi mereka, tapi juga demi dirinya sendiri.

Dia menggigit bibir bawahnya untuk mencegah air matanya jatuh. Ketika dia akhirnya berhasil menenangkan emosinya, dia mengangkat kepalanya.

Luo Yan tersenyum cerah pada mereka dan berkata dengan suara bersemangat, "Aku akan mencoba setiap hidangan dan menghabiskannya."

Dan dia melakukan hal itu. Sambil berpikir betapa bersyukurnya dia bertemu semua orang.

[BL][1] The Return of the God Level Assassin [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang