Tetap Berpisah?

1.6K 266 49
                                    

Lama kagak up ya hehehe. Langsung aja wes dibaca ❤️❤️

###

Genap satu minggu Azkia menjadi pengangguran karena bayi di perutnya tidak berkompromi dengannya. Seolah bersekutu dengan Bagas, janin itu membuat Azkia kelimpungan. Bagaimana tidak? Ia selalu mual jika mencium bau masakan. Perutnya seperti diaduk-aduk cepat dan kuat sampai-sampai membuatnya tak bertenaga. Ia berusaha bertahan tapi kondisinya tidak mendukung sama sekali.

Ditambah pusing yang ia rasakan saat melihat keramaian, membuatnya mau tidak mau mengundurkan diri dari pekerjaannya. Beruntung bos-nya mengerti dan memperbolehkan ia kembali bekerja sewaktu-waktu.

Ya Allah, ia bersyukur mempunyai bos seperti Bu Mira yang baik itu, setidaknya ia tidak perlu khawatir masalah finansial ketika berpisah dengan Bagas.

Mengingat pria itu, belakangan ini atau sejak Azkia menganggur, Bagas lebih banyak di rumah. Hal itu membuat ia heran karena tidak biasanya. Sampai suatu kesempatan ia bertanya dan katanya mengambil cuti.

Aneh sekali mengingat bagaimana pria tersebut tak pernah absen ke toko. Bahkan hujan badai sekalipun tak menyurutkan langkahnya keluar dari rumah—mungkin untuk menghindari dirinya—tapi kenapa sekarang cuti ketika dirinya full di rumah? Bukankah dia tak tahan karena keberadaannya? Atau ... entahlah Azkia bingung sebab pria itu benar-benar tak bisa ditebak jalan pikirannya.

Azkia sendiri sedikit mulai terbiasa dengan kediaman Bagas. Sepertinya pria itu memang tipe tidak banyak ngomong tapi langsung bekerja. Itu terbukti saat ia berbicara dengan Diah di telepon ingin kue putu dan Bagas duduk tak jauh darinya, pria itu tiba-tiba pamit keluar dan pulang-pulang membawa kue tersebut.

Tak hanya itu, sebelum tidur Bagas selalu menyediakan air putih di nakas sisinya tanpa ia minta. Sebelum-sebelumnya pria itu tidak begitu. Bukankah itu perubahan yang signifikan dari Bagas? Untuk Azkia sendiri, hal kecil itu cukup membuatnya bahagia, setidaknya saat mereka pisah nanti, ia pernah merasa disayang dan diperhatikan oleh Bagas walaupun sebentar.

"Sudah makan? Aku bawa ikan bakar," ujar Bagas begitu pintu rumah dibuka Azkia. Ia menuju ruang makan sekaligus dapur, di belakangnya Azkia mengikuti dia. Setelah menyalin lauk yang ia beli, Bagas ke kamar untuk bersih-bersih.

Azkia tertegun. Pandangannya tertuju pada pintu kamar yang tertutup itu. Apa Bagas dan bayi ini sudah mempunyai ikatan batin? Kenapa bisa pas seperti keinginan Azkia? Tadinya ia ingin memesan ikan bakar melalui aplikasi—sejak hamil, Bagas melarangnya memakai motor sendiri—pesan antar makanan tapi ini ...

Azkia mengambil piring, menyiapkan nasi, dan air putih. Ia duduk dengan pandangan tertuju pada ikan bakar tersebut. Tanpa sadar tangan Azkia bergerak mengusap perutnya. "Ayah tahu aja ya, Dek, lagi pengin ikan bakar. Kamu yang minta sama Ayah, ya?" gumamnya seraya tersenyum.

Tidak Azkia sadari Bagas mendengar ucapannya. Senyum tipis tercipta dan ia tidak tahu sejak kapan wanita itu berhasil mengikis bayangan Ranti. "Kenapa belum makan? Nggak suka?" Ia bersikap biasa saja agar tidak membuat Azkia malu.

"Nunggu, Mas." Untuk beberapa saat mereka tak saling membuka obrolan hingga Azkia bertanya tentang motor kenangan Bagas. "Mas, itu ... eum, motor yang satunya ke mana?" tanyanya.

"Dijual. Garasinya penuh."

Wanita berbadan dua itu merasa tak enak hati meskipun bukan salahnya. "Kenapa motor yang itu? Mas kan bisa jual motor yang biasa aku pakai. Nanti apa kata Mbak Ranti kalo tahu motornya dijual."

Tatapan Bagas seketika menajam bagai laser pembunuh. Meski tak mengatakan apa-apa tapi Azkia bisa merasakan sengatan amarah Bagas. Astaghfirullah, kenapa ia bertanya soal Mbak Ranti? Jelas-jelas Bagas tak suka ia menyinggung soal wanita spesialnya itu tapi mulutnya begitu lancang menyebut Mbak Ranti.

"Maaf, Mas."

****

"Hubungan kalian gimana? Kamu udah bujuk dia biar nggak pisah?" tanya Wulan begitu duduk di sofa depan TV rumah Bagas—setelah memastikan Azkia istirahat.

Ia terlihat garang seperti seorang interogator. Sejak mengetahui surat dari pengadilan agama untuk Bagas, ia selalu kepikiran. "Bentar lagi sidang, Gas, kok kamu kok kayak santai gitu, sih," omel Wulan yang lebih panik.

"Nanti aku bujuk dia, Bun. Masih ada waktu buat cabut laporan sebelum persidangan," sahutnya menenangkan.

Mata Wulan menyipit. Ia tidak bisa percaya begitu saja tanpa ada bukti. Lagipula hingga detik ini dirinya tidak tahu akar permasalahan mantu dan putranya. "Kamu nggak bohong, kan?" tuduh Wulan terang-terangan.

"Astaghfirullah, Bun. Nggak lah."

Wanita paruh baya itu menggeser tubuhnya dekat Bagas. "Beneran, kan? Lagian masalahnya apa? Kok Kia sampai minta pisah gitu."

Bagas menghela napas dalam-dalam. Bundanya kalau sudah ingin tahu seperti wartawan saja, harus dapat informasi sekecil apa pun. "Iya, Bunnn. Kalo pun harus sidang, seingatku bila salah satunya menolak bisa batal. Lebih-lebih kondisi macem Kia gitu. Nggak gampang putusannya," terangnya. Ia kembali menghirup udara sebanyak-banyaknya agar lebih lega. "Tapi ya ... semua ini emang salahku. Aku yang bikin dia minta pisah," akunya.

"Memangnya kamu ngapain, Gas?" Pak Fariz pun akhirnya membuka suara. Jujur saja ia juga penasaran kenapa Azkia seperti itu.

"Aku yang nggak bisa terima dia sepenuhnya, Yah. Ya ... bisa dibayangkan, tiba-tiba hidup dengan orang yang baru dikenal. Belum ada perasaan apa-apa, ya pastinya sulit. Apalagi aku punya kekasih yang sayangnya dia belum siap nikah. Jadi begitulah ... karena nggak ketemu ujungnya kami pisah. Itu sebelum aku terima perjodohan ini. Jadi sekarang kami berteman, benar-benar teman."

Fariz pun tak bisa berkata-kata apa-apa. Secara tidak langsung ia penyebab masalah dalam rumah tangga Bagas. Andai ia tidak mendesak putranya menikah, mungkin semua ini terjadi. Dirinya benar-benar egois tanpa memikirkan akibatnya. "Maafkan Ayah, Gas. Sedikit banyak Ayah ikut andil dalam masalah kalian."

Pria umur tiga puluhan itu menepuk pundak Fariz pelan untuk menenangkan ayahnya. "Dari awal sudah aku maafkan, Yah."

"Itu artinya sampai sekarang kamu belum bisa terima dia? Kamu masih suka sama mantanmu? Jadi nantinya kalian tetep pisah?" Mendung kesedihan memenuhi wajah ayu Wulan. "Gimana nasib cucu Bunda nantinya?" Wulan mengembuskan napas panjang.

Pasrah. Ia pasrah dengan nasib biduk rumah tangga putranya yang diujung tanduk. Ia tak bisa terus-terusan menekan perasaan Bagas. Pasti sulit untuk anaknya itu harus bertahan dengan Azkia meskipun wanita itu baik.

Ia menepuk-nepuk tangan Bagas yang melingkari dadanya. Menempelkan kepalanya pada kepala putranya. "Rasanya egois banget Bunda minta kamu bertahan, Gas. Walau berat kalo itu yang terbaik Bunda ikhlas. Kami nggak mau maksa kamu lagi."

Bagas memperat pelukannya. Ia begitu menyayangi wanita ini hingga tak ingin melihatnya sedih. "Sudah, Bunda, nggak usah sedih. Doakan yang terbaik buatku dan Kia. Apa pun yang terjadi bayi itu tetep cucu Bunda sama Ayah."

"Yo wes lah, mau gimana lagi kalo itu emang keputusan kalian," jawab Wulan pasrah. Walupun sangat berat tapi jika itu yang terbaik dan sudah garis hidup Bagas dan Azkia, Wulan bisa apa?

TBC.





























Siapa Aku di Hatimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang