Sedikit Tak Nyaman

3K 443 38
                                    


Halooo 😁 masih ikutin Gas-Ki? Harus ya.

Cuzlah dibaca. Jangan Lupita vote dan komennya ya sista♥️

*****

Menjalani rumah tangga tanpa cinta dalam kasus Azkia cukup menyita pikirannya, sebab ia mulai serakah ingin memiliki hati, jiwa, perhatian, juga pikiran Bagas hanya untuknya. Ia ingin prioritas Bagas hanya padanya, bukankah itu salah? Bukankah ia sudah menyepakati aturan Bagas jika Azkia tak boleh menuntut balasan dari suaminya itu?

Lalu kenapa sekarang mengingkarinya? Kenapa menginginkan lebih? Padahal Azkia tahu siapa pemilik pria itu sesungguhnya.

Ah, sungguh menyiksa. Andai wanita berkerudung itu mampu menghalau rontaan hatinya, mungkin ia akan memilih tak mempunyai perasaan lebih pada Bagas. Namun, lagi-lagi itu di luar kuasanya terlebih bila Yang Maha Esa yang menggoreskan tinta cinta itu.

"Kamu mau ke mana, Mas?" Azkia melihat Bagas siap pergi padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan cukup larut untuk ukuran kota Malang. Terbesit di pikiran Azkia, mungkin Bagas bertemu mantannya, sebab beberapa kali tak sengaja mendengar percakapan mereka dan tak lama pria itu pergi. Astaga. Hatinya terasa cekit-cekit seperti ada yang menusuknya dengan jarum.

Bagas menatap Azkia lalu kembali membetulkan tali jam tangannya. "Aku keluar. Jangan lupa cabut kunci depan."

"Iya." Ia mengikuti Bagas ke depan, menunggu di sisi pagar untuk menutupnya kembali setelah mobil pria itu berlalu. "Sabar, Ki, sabar." Meskipun begitu denyutan nyeri di hati tetap ia rasakan. Ia sudah berusaha menekan kuat-kuat rasa untuk suaminya, tapi layaknya gelombang pasang sulit untuk dihadang, seperti itulah yang Azkia rasakan. Semakin ia tekan semakin kuat dan besar cinta untuk Bagas. Lalu apakah itu salah? Bukankah wajar perasaan itu muncul untuk Bagas?

Ia kembali ke rumah, mematikan lampu ruang tamu setelah mencabut kunci di pintu. Sesaat sebelum merebahkan tubuh di kasur, ia meraih gawainya di nakas samping tempat tidur. Tangannya bergerak membuka sebuah aplikasi untuk membaca dan menulis, senyumnya tercipta kala membaca notifikasi dari pembaca.

Rasanya begitu lama tidak menyapa mereka lewat cerita yang ia publikasikan dan Azkia baru sadar jika cerita yang ia kerjakan mirip dengan dirinya saat ini. Bedanya, si tokoh pria mencintai wanitanya, sedangkan dirinya ... ia tak berani berharap banyak, biarlah waktu yang akan menjawabnya nanti.

****

Azkia kembali memasuki ruangan luas dengan kumpulan meja dan kursi sandaran hitam juga beberapa gazebo untuk pelanggan yang memilih lesehan.Tak hanya itu, beberapa spot foto dengan latar belakang air mancur dan bunga-bunga yang ditata cantik, ketika tak sengaja matanya menangkap sepasang manusia berbeda jenis terlihat di meja yang sama.

Jarak yang tidak terlalu jauh cukup meyakinkan bahwa itu suaminya dan ... tak perlu orang pintar untuk mengatakan jika itu Ranti. Sengajakah atau ... melihat Ranti secara langsung—sebab wanita itu tak datang di hari pernikahan Azkia dan Bagas—seketika membuatnya tak percaya diri. Ranti begitu cantik dengan postur tubuh yang sangat diidam-idamkan wanita mana pun.

Ya, kini Azkia sepertinya harus mengubur dalam-dalam optimisme yang ia miliki, jika suatu saat ia mampu membuat Bagas berpaling padanya. Perbandingan antara mereka yaitu satu lawan sembilan, dan Ranti berhasil memukulnya mundur Azkia dari arena pertandingan walaupun ia mempunyai kedudukan kuat di mata hukum dan agama.

Wanita ber-make up tipis tersebut menghela napas dalam-dalam agar lega. Mungkin sudah bisa ditebak ending dari pernikahan mereka, tetapi ia akan berusaha sampai titik akhir, hingga hatinya memintanya pergi. Ya, itu yang akan Azkia lakukan nantinya.

"Ki, itu bukannya suami kamu, ya?" tanya salah satu teman kerjanya yang datang ke acara pernikahan mereka.

Wanita berhijab hitam itu mengangguk. "Iya." Azkia kemudian membuka laci kasir dan mulai menghitung uang yang ia dapat selama bertugas, sebab jam empat nanti jam kerjanya selesai.

"Kok, sama cewek? Mereka ...."

"Nggak," potongnya cepat. Ia tahu apa yang akan temannya katakan, tapi ia harus menghentikan pertanyaan heran yang akan dia dapatkan. "Itu sepupunya, Mbak Ranti namanya. Lagi ngomongin kerjaan kali," elaknya agar Diah—temannya itu—tak bertanya lagi.

"Oh, kirain hehehe. Tahu sendiri zaman sekarang. Pelakor lebih nyeremin timbang Mbak Kunti hehehe."

Senyum simpul Azkia tampak, terkadang Diah itu suka asal ngomong tapi menghibur. "Buatku sama aja, serem."

"Dih, sereman pelakor, Ki. Kalo Mbak Kunti dibacain ayat kursi, pergi. Lah kalo pelakor, yang ada kita dipanggilin satpam. Dikira kita gila."

Tak urung ia terkikik mendengar celetukan Diah. "Ada-ada aja kamu."

"Lah bener. Sekarang itu nggak yang buka-bukaan aja, yang tertutup pun berpeluang gitu itu. Makanya hati-hati, Ki. Orang mah kalo udah cinta nggak peduli temen atau sodara, hajar aja bleh, penting dia dapet."

Ucapan Diah nyatanya mampu mempengaruhi Azkia. Kalau boleh jujur, ia takut dan tak ingin merasakan hal itu. Azkia tak mau kehilangan Bagas, tapi ... ia menghela napas sembari istighfar dan meminta bantuan dari Tuhannya agar mampu dan ikhlas melewati ujian yang disiapkan untuknya. Semoga.

TBC.



Siapa Aku di Hatimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang