Di Luar Dugaan

3.5K 506 77
                                    


Haluooo. Sehat? Insyaallah sehat semuanya. Semangat buat wanita hebat. Lope lope dah ❤️❤️

****

"Mas, ngapain sih ikutan di sini. Nggak lihat kita cewek-cewek mau rumpik. Sana deh gabung sama yang lain," usir Fifi yang jengah melihat Bagas tak bisa jauh dari Azkia. Bukannya pergi, pria itu tetap di tempatnya sibuk dengan ponselnya dan seolah tak mendengarnya bicara. "Mas denger nggak sih aku ngomong? Ya Allah, itu kuping buat apaan, sih? Centelan katok a ( gantungan celana)? Kalo di rumah juga gitu, Mbak?" Fifi menoleh Azkia, wanita itu mengangguk seraya tersenyum. "Astaghfirullah. Kirain sama bini beda atau gimana gitu, eh sama aja. Berasa ngomong sama tembok nggak, sih, Mbak, ngomong sama dia?"

Ragu-ragu Azkia mengangguk. "Sedikit."

"Kalo di kasur kayak tembok juga nggak, Ki?" timpal Meysha—sepupu Bagas—sambil tertawa keras dibarengi sepupu perempuan Bagas lainnya.

Sontak wajah hingga telinga Azkia panas. Mungkin wajahnya sekarang ini merah. Pertanyaan yang tidak ia sangka-sangka. "Itu ...."

"Ya jelas nggak lah. Laki-laki mah kalo urusan ranjang ganas, Bund. Apalagi type-type tembok kayak Bagas, habis itu Kia dimakan. Dia lebih banyak bekerja, Kia yang banyak bersuara," sambar Sherin langsung disambut tawa keras lainnya.

Fifi mendekat dengan wajah penasaran. "Beneran kayak gitu, Mbak?" tanya Fifi. Azkia tidak tahu harus berkata apa.

"Fi, nggak usah ditanya. Tuh muka Kia udah kayak tomat gitu, udah yakin omonganku bener. Bagas sama Mas Erik itu sama," terang Sherin.

"Emang Erik gitu juga, Sher?" Kali ini Meysha angkat suara.

"Yaaa ... gitu deh." Sherin pun menoleh ke Azkia. "Berapa ronde, Ki, Bagas kalo lagi manjat ?" Alis Sherin naik turun menggoda wanita berhijab itu.

Azkia menunduk malu. Ia tahu yang dimaksud Sherin. Ia tidak terbiasa bercanda soal urusan ranjang. Namun, melihat keakraban mereka, ia suka. Azkia merasa mempunyai saudara perempuan, sebab ia cuma berdua dengan Hafiz.

"Ratusan. Kek wafer tango ituuu," sahut yang lain.

"Huwooo," seru mereka barengan.

"Gendeng." Bagas berdiri menarik Azkia dan membawa wanita itu menjauh dari para sepupu gilanya.

"Woi, Gas, nandi? Sek sore iki mosok kate ngarap sawah (masih sore masa mau ngarap 'sawah')?"

Ia menulikan telinga dari ledekan sepupu-sepupunya, membawa istrinya ke teras belakang. Suasana tenang dan terlebih jauh dari orang-orang gila di dalam.

Mereka duduk dalam diam. Bagas dengan ponselnya sedangkan Azkia mengedarkan pandangan dari taman sampai ke dalam tempat saudara Bagas berkumpul. Saat itulah ia menyadari bahwa Ranti duduk tak jauh darinya tadi. Astaga, kenapa ia tidak tahu ada Ranti?

Ah, pantas saja Bagas tak beranjak darinya, rupanya pria itu ingin berdekatan dengan Ranti. Lagi-lagi Azkia harus menelan kecewa, dipikirnya tadi karena Bagas memang ingin dekat dengan dia nyatanya ....

'Nyatanya kamu bodoh, Ki. Jelas-jelas cinta Bagas untuk Ranti, jadi mana mungkin Bagas melakukan itu untukmu. Dasar bodoh!'

Benar. Azkia bodoh sekali berharap hal yang tak mungkin. Apalagi jika Bagas sudah menerima surat pemanggilan dari pengadilan agama. Ia pun menghela napas agar bongkahan nelangsa di hatinya hancur.

Astaga  Azkia merasa berat. Bahkan hingga detik ini, di lubuk hati terdalam Azkia, ia berharap Allah berbaik hati padanya dan mengirimkan keajaiban untuknya dan Bagas.

Ia pun menarik napas dalam-dalam, memandang langit gelap seraya mengerjap. Azkia tak ingin air matanya menetes dan membuatnya tampak lemah di depan Bagas, meskipun saat ini yang ia butuhkan memang menangis. Dadanya seolah penuh dengan tekanan, untuk bernapas saja sukar. Namun, Azkia tak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak tahu bagaimana mengeluarkan desakan tersebut.

Siapa Aku di Hatimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang