Harus Bagaimana?

2.8K 403 35
                                    


Lohaaa. Gimana kabar? Sehat ya. ❤️❤️

******

Aminah, wanita paruh baya itu tengah sibuk di dapur. Masakan bali telur dan sayur asem sudah matang dan siap dibawa ke rumah Azkia. Senyumnya terus berkembang mengingat sebentar lagi ia akan mempunyai anggota baru. Ia sudah tidak sabar menunggu beberapa bulan lagi untuk menimang sang cucu.

Sebenarnya Aminah sedikit heran—waktu Azkia menelepon— tumben sekali Azkia minta dibuatkan masakan yang ia sudah kuasai, ternyata itu keinginan si jabang bayi. Tanpa pikir panjang ia menyanggupi dan selepas subuh makanan itu sudah siap. Ia pun mulai mengisi rantang makanan saat hidangan tersebut mulai dingin.

"Fiz, Ibu bisa ndak bareng kamu ke rumah mbakmu pas berangkat kuliah nanti?" tanya Aminah ketika putra bungsunya mau ke kamar mandi untuk sembahyang.

"Sanget (bisa), Bu. Tumben pagi-pagi ke sana? Mbak Kia sakit?" sahut Hafiz sebelum masuk kamar mandi.

Refleks Aminah menggeleng meskipun Hafiz tak mungkin melihatnya. "Ndak. Mbakmu lagi isi minta dibuatno sayur asem sama bali telur."

"Isi? Maksudnya gimana, Bu?" Hafiz menempelkan sisi badannya di pintu sambil melipat tangan di dada.

Wanita berhijab itu menoleh mendapat pertanyaan dari Hafiz. "Itu lho lagi hamil," jawabnya lalu kembali melanjutkan mengisi wadah plastik kecil untuk sambal tomat.

Laki-laki muda itu mengangguk sebelum meninggal Aminah sendiri. Apa itu artinya kakaknya sudah kembali bersama Bagas? Apa kekhawatiran yang ia rasakan tidak terbukti? Tapi sungguh aneh jika di pikir-pikir lagi, mengapa Azkia tinggal di kosan jika tak ada apa-apa dalam hubungan mereka?

Awalnya Hafiz tidak yakin waktu melihat Azkia masuk ke salah satu rumah kosan khusus perempuan di sana. Ia pikir kakaknya mengunjungi temannya, tapi setelah ia perhatikan—ia sengaja membuntuti Azkia beberapa hari—rupanya memang tinggal di sana. Ada apa dengan kakaknya? Pertanyaan lama yang ingin ia tanyakan tapi belum ada kesempatan. Hafiz tidak bermaksud ikut campur tapi sebagai seorang adik, ia tak suka jika Azkia kenapa-kenapa. Ia sebagai satu-satunya laki-laki di keluarganya harus bisa melindungi kakak serta ibunya.

*****

Azkia tak habis pikir kenapa mual dan muntah yang ia alami meningkat hebat setelah ketahuan dirinya hamil. Biasanya hanya mual saja tapi sekarang ini sampai membuat badannya lemas. "Maaf, Mas, bikin kamu telat kerjanya."

Bagas tak mengatakan apa-apa tapi matanya berbicara. Tatapannya cukup menusuk hingga membuat Azkia diam. Setelah membantu wanita itu berbaring, ia keluar dan kembali membawa minuman hangat untuk meredakan mual Azkia. "Kamu resign saja, Ki."

Pinggiran gelas yang hampir menyentuh bibir Azkia terhenti. Ia kaget dan tak melanjutkan niatnya untuk minum teh lemon hangat itu. "Kenapa? Aku masih bisa kerja. Lemesnya pagi saja. Siang sudah nggak apa-apa."

"Sekarang termasuk pagi?"

Pertanyaan telak bagi Azkia. Ini hampir pukul sebelas siang dan ia masih mengalami mual muntah. "Itu ... tapi aku masih bisa kerja. Aku bisa minta ganti sore." Ia tidak boleh berhenti kerja. Tidak saat kondisi rumah tangganya di ujung tanduk sebab ia butuh sokongan ekonomi saat berpisah nanti.

"Ya sudah kalo memang itu maumu." Bagas beranjak dari depan Azkia. "Kalo kamu lupa, minggu ini sudah dua hari kamu izin nggak masuk," kata Bagas sebelum keluar kamar. "Bisa kamu tebak sendiri akhirnya gimana." Pria itu pun meninggalkan Azkia sendiri.

Ia tak mampu berkata. Bibirnya seperti dilem kapal yang kuat itu. Ia tahu jawaban dari ucapan Bagas. Kalah sudah. Argumennya berhasil dipatahkan dan memang benar kata-kata pria itu, bahwa dalam minggu ini dia sudah absen dua hari. Kalau seperti ini, bosnya bisa-bisa memintanya berhenti.

"Nduk."

"Masuk, Bu," jawab Azkia dari kamar. Ia menyambut ibunya—datang tadi pagi—dengan senyuman. "Bawa apa itu?" tanya Azkia ingin tahu.

Aminah memberikan mangkuk berisi es dawet beras yang ia beli pas penjualnya lewat depan rumah Azkia. "Es dawet beras tapi es-nya batunya Ibu ambil dan sisain dikit biar agak seger," jelasnya setelah duduk di kursi sisi ranjang.

Segera saja ia menyeruput kuah santan manis itu hingga setengah mangkuk. Nikmat sekali rasanya saat santan itu melewati tenggorokannya. Meski tidak terlalu dingin tetap saja enak. "Enak, Bu, padahal biasa beli tapi kok beda hehehe ...."

"Wajar kayak gitu. Kamu muntah-muntah e terus-terusan?" Azkia mengangguk. "Dulu pas hamil Hafiz kan gitu, maem dikit keluar, lemes dan itu sampai tujuh bulan," cerita Aminah.

Apa Azkia akan seperti itu? Semoga saja tidak karena itu akan membuat semuanya berantakan. "Apa semua orang hamil gitu, Bu?"

"Ndak. Jatuhnya beda-beda. Ada yang ngebo, biasa aja gitu. Nggak ngalamin mual muntah, makan apa aja enak, nggak lemes. Ada yang kayak kamu. Lemes, gampang pusing, males. Macam-macam nggak bisa disamaratakan."

"Tapi wajar?"

"Wajar. Bawaan bayi itu diluar kuasa kita, Ki, ya biarpun ada yang bilang jangan dituruti. Manja nanti atau lebay kalo bahasa trend-nya. Ya gimana, soalnya nggak semua kondisi sama. Mungkin kalo ngidam masih bisa dialihkan, lah kalo lemes muntah? Mau nggak mau ya gitu. Masih untung bisa aktivitas biarpun lambat, kadang ada yang harus di tempat tidur terus sampai melahirkan."

"Oh gitu," gumam Azkia.

"Kata Bagas kamu dua hari ini nggak kerja."

Dahi Azkia sontak berlipat. "Mas Bagas cerita sama Ibu?" tanyanya.

"Iya pas Ibu tanya tadi. Itu bener?"

Ia mengangguk. "Lemes, Bu. Terus kalo lihat orang banyak pusing. Minggu ini di tempat kerja lagi rame sampai meh pingsan aku. Padahal biasa nggak apa-apa. Sebelum tahu hamil ya biasa aja cuma perut nggak enak."

"Kamu nggak mau berhenti aja kerjanya?" Tatapan Azkia terlihat bingung membuat Aminah tersenyum. "Tadi pas ngobrol sama suamimu, dia minta kamu berhenti tapi kamu nggak mau." Aminah menjeda sebelum melanjutkan omongannya. "Ibu, sih, ngerti maksud Bagas. Dia pasti khawatir kalo kamunya ada apa-apa. Ndak kamu aja yang dikhawatirkan tapi juga calon anak kalian  Namanya juga suami bentar lagi jadi bapak, ya maklum dia gitu."

Benarkah Bagas khawatir padanya? Rasanya tidak mungkin. Memang setelah tahu dia hamil, pria itu selalu membantunya. Bahkan Bagas rutin membuatkan lemon hangat untuk meredakan mualnya dan lain sebagainya, tapi ... entahlah ia tidak yakin. Mungkin Bagas khawatir pada bayi dalam kandungannya saja.

"Kia bukan nggak mau, Bu. Cuma bingung aja. Sudah biasa kerja terus nggak kerja itu kayak gimana gitu," kilahnya padahal bukan itu alasan yang sebenarnya.

Wanita paruh baya itu bisa menerima alasan Azkia tapi dengan keadaan seperti itu justru membuat mereka ketar-ketir. "Ibu ngerti, Nduk. Tapi pikirkan juga bayimu. Kondisimu. Bisa nggak diajak kerja. Kamu sendiri yang bilang mesti lemes. Pusing kalo lihat orang banyak. Atau mungkin kamu bisa minta cuti sementara, kalo sudah kuat kerja lagi. Gimana?" usul Aminah.

Tidak mungkin bos-nya memberi cuti selama itu. Pilihan cuma dua, berhenti atau tetap bekerja dengan kondisi kacau. Lalu Azkia harus memilih yang mana? Ia tidak berani mengambil risiko saat keruwetan ini belum menemui titik terangnya. "Nanti coba Kia ngomong sama bos. Bisa nggaknya. Kalo nggak bisa ya ... nantilah Kia pikirin, Bu," pungkasnya akhir. Ia menyandarkan kepalanya ke bantal saat merasakan pening.

'Kalau seperti ini terus gimana aku bisa kerja?'

Wanita berumur itu pun menghela napas. Ia tak ingin mendebat putrinya, mungkin jika Azkia merasakan sendiri bagaimana tidak nyamannya bekerja dengan kondisi tubuh kurang fit, dia mau berhenti. "Ya wes kalo maumu gitu. Ibu cuma pesen, kamu sekarang ndak sendiri jadi apa-apa di pikir yang benar-benar."

"Inggih, Bu."

Tbc.

Angel wes angel. 😤
Khawatir nok bayi e ya otomatis nok kamu juga, Ki. 😑😑 Wes mbuhlah sak merdekamu 😤 bikin emosi ae.

Versi lengkap di Karyakarsa. Link ada di bio ku ya. Makasih












Siapa Aku di Hatimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang