Mempertahankan

2.2K 442 80
                                    


Haiii. Lama nggak update ya wkwkwk. Cuz langsung baca aja. Lope-lope sekebon 😘

****
Angin sore di musim penghujan itu sedikit dingin. Bagas melangkah tegas menutup jendela untuk menghalau udara masuk ke kamar. Setelahnya ia duduk di kasur memandangi wajah lelap Azkia. Terlihat gurat lelahnya. Bagas tahu bolak-balik kamar mandi memuntahkan isi perut cukup menguras tenaga wanita itu.

Ia mengamati dengan cermat wanita di depannya itu. Pipinya tirus dan sudah bisa dipastikan bobot tubuh Azkia menyusut. Dia tampak lemah dan rapuh seperti daun siap diterbangkan angin. Bagas iba tapi ia tak bisa berbuat apa-apa jika itu bawaan calon anaknya. Sebab itu, sebisa mungkin ia mendampingi Azkia. Membantunya meskipun hubungan mereka bisa dikatakan tidak baik.

Ya belum baik karena keretakan itu belum rekat kembali. Terlebih pecahan itu terjadi di dalam bukan di luar. Bukankah hal itu jauh lebih menghancurkan daripada yang terlihat? Seperti bom yang sewaktu-waktu meledak bila mencapai batas maksimumnya.

Tangan Bagas terulur menyingkirkan helaian rambut yang melekat di wajah. "Maaf," ucapnya dari hati terdalam.

'Untuk apa? Untuk luka yang kamu gores di hatinya? Apa dengan maaf hatinya langsung sembuh?'

Olok-olok hati nuraninya membuat Bagas resah. Perasaan bersalah itu semakin menggunung. Ia sadar betul bila dirinya bukanlah suami yang baik selama ini. Ia harus akui jika ia memanfaatkan kehadiran Azkia untuk kebutuhan dirinya—menganggap pengganti Ranti—tanpa memikirkan perasaan wanita tersebut. Bukankah itu menyakitkan untuk Azkia? Sangat dan ia menyadari hal itu. Karenanya ia memaklumi tindakan Azkia.

Bagas sadar secara tidak langsung dirinyalah yang merusak rumah tangganya sendiri dengan menghadirkan bayang-bayang masa lalu. Bagas jugalah yang mendorong Azkia mengambil keputusan besar itu. Karenanya harus ia jugalah yang harus melekatkan kembali pecahan tersebut.

Seolah ingin berkomunikasi dengan anaknya, ia meletakkan tangan di perut Azkia. Belum terasa sebab masih rata. Namun, ia berharap, sentuhnya mampu meyakinkan bayi di perut Azkia bahwa Bagas menyayanginya. Bahwa ia menginginkan dia. Dan, bisa membantu meluluhkan hati bundanya.

Hatinya membengkak bahagia kala firasatnya mengatakan bayi itu mengerti keinginan Bagas. Bagaimana ia tahu jika anaknya mengerti? Entahlah, ia hanya yakin bila janin itu membalas semua ucapan yang ia ucapkan dalam hati. Ia percaya bila anak tersebut mendukungnya seratus persen.

Pria itu sedikit memberi jarak dengan Azkia, ketika kelopak mata istrinya berkedip-kedip. Namun, tangannya tak berpindah dari perut wanita itu. Mengamati dari dekat seperti ini membuat perasaan Bagas aneh. Bukan karena benci atau lainnya tetapi ....

"Eh, Mas. Kapan pulang? Maaf aku ketiduran." Wanita itu berusaha bangun dari tidurnya. Dengan dibantu Bagas, ia mencari posisi duduk yang nyaman.

Bagas mengangguk singkat. "Sudah makan?"

"Sudah tapi cuma sedikit yang masuk."

"Obat mualnya sudah diminum?" tanya Bagas lagi.

"Sudah." Mereka terdiam tapi Azkia menebak ada yang ingin Bagas utarakan padanya. Hal itu tampak dari tatapan pria itu. Betapa dekatnya mereka saat ini. Tidak ada hal lain yang bisa ia pikirkan selain itu. "Eum ... Mas, mau ngomong sesuatu?" cicitnya dengan meringis.

Bagas menatap dalam paras Azkia hingga wanita itu jengah. "Ini soal sidang itu. Kamu masih akan meneruskannya?" tanyanya.

Wanita dengan paras sayu itu mengangguk tapi ragu-ragu. Tidak tahu mengapa, ia tidak yakin pengadilan akan meloloskan gugatan yang ia lakukan mengingat kondisinya saat ini. Sebenar bisa saja perceraian terjadi dalam kondisi hamil bila alasannya kuat, sedangkan kasusnya? Ia sendiri tak yakin.

"Kamu yakin? Sudah kamu pikirkan semua?"

Pertanyaan itu terdengar biasa saja tapi bagi Azkia mengintimidasi dirinya. Bagas seolah menyiratkan bahwa ia akan kalah nantinya. Mungkin itu benar adanya tapi ia akan tetap maju sebelum jatuh putusan akhir. Sesungguhnya ia tak ingin begini tapi berada di sisi Bagas, ia tidak bisa. Bukan karena jijik atau semacamnya tetapi lebih karena keinginan Azkia yang tak mungkin terwujud.

"Ya."

"Ya sudah." Bagas mengangguk singkat. Ia bangkit lalu ke kamar mandi.

Azkia menatap nanar pada punggung lebar Bagas. Hanya seperti itu? Apakah firasatnya tadi angan semu? Perasaan Azkia seketika luluh lantak. Bagai pasir pantai diterjang ombak, hilang tanpa sisa. Dada terasa sesak seakan himpitan cinta yang ia rasakan tengah membunuh Azkia. Apakah ia benar-benar tak ada dalam hati ataupun pikiran pria itu? Bahkan demi anak mereka?

'Bukankah ini maumu? Lalu kenapa harus sedih? Lagi pula kamu juga tahu siapa yang dia cinta, lalu kenapa berharap lebih? Lucu.'

Ia meringis. Bibirnya membentuk garis lengkung tapi kecil. Azkia juga menggeleng kecil. Tak bisa dipercaya, harapannya ternyata masih begitu besar pada pria itu. Namun, asa yang ia takutkan harus hancur sebelum sampai pada Bagas. Dan lucunya ia menganggap Bagas tak peduli. Bukankah sejak awal sudah pria itu memperingatkan? Tapi dirinya saja terlalu percaya diri mampu membuat Bagas berpaling padanya.

****

Pukul 9.45 Azkia sudah duduk anteng di kursi tunggu pengadilan agama kelas 1A Malang. Jadwal sidangnya sendiri pukul sepuluh tetapi menurut dia, lebih baik menunggu daripada telat. Ia sendiri, bukan karena Bagas tidak mau menemani tapi pria itu sedang memarkir mobilnya. Tadinya ia akan berangkat sendiri menyewa mobil online tapi Bagas tidak memperbolehkan. Mau tidak mau Azkia menurut.

Bagas datang dengan seorang pria yang usia tak jauh beda dengannya. Dilihat dari penampilannya seperti seorang pengacara. Mungkin dia yang akan membantu suaminya. Ya wajar saja, Bagas bukanlah orang dengan ekonomi pas-pasan seperti dirinya yang maju tanpa pendamping. Bagas dan keluarganya cukup berada dengan beberapa usaha yang mereka miliki.

Seolah hafal dengan kebiasaan baru Azkia, Bagas menyerahkan bungkusan plastik kecil berisi permen empuk. Rasa mint-nya cukup membantu mengurangi mual yang ia rasakan. Tak lupa air mineral yang mungkin Bagas beli di kantin pengadilan.

"Ki, ini Reza. Za, ini istriku, Kia." Keduanya berjabat tangan. Mengangguk kecil dan melempar senyum. "Dia yang akan mendampingiku. Kamu keberatan?"

Kepala Azkia bergoyang ke kanan kiri. Keberatan pun percuma tidak ada pengaruhnya untuk Bagas. "Nggak apa-apa, Mas." Apalagi yang bisa katakan selain itu.

Sembari menunggu persidang, Bagas dan Reza duduk sedikit jauh dari Azkia. Ia tak tahu yang mereka bicarakan tapi sepertinya serius sekali. Sampai mereka masuk ke ruang sidang, keduanya tidak bicara.

Seperti dugaan Azkia, hakim tidak meluluskan gugatannya sebab alasannya tidak kuat. Terlebih dengan kondisinya saat ini yang mau tidak mau perlu bantuan Bagas. Pria itu sendiri membantah setiap kata yang ia ucapkan. Ia tersudut karena memang benar adanya. Seolah sia-sia saja kehadirannya di pengadilan ini padahal ia tahu hasil akhirnya.

Selama perjalanan pulang, mereka sama-sama diam. Bagas menoleh ke arah Azkia. Matanya terpejam. Embusan napasnya halus dan teratur. Wanita itu terlihat lelah luar biasa. Tenaga Azkia seolah tersedot seluruhnya untuk melawannya yang dimenangkan Bagas.

Bagas mengembuskan napas kuat-kuat mengurai gelisah di dada. Sementara hanya ini yang mampu ia lakukan. Menahan Azkia tetap di sisinya sampai ia berhasil meyakinkan dirinya. Ia ingin benar-benar yakin bahwa perasaan yang ia rasakan nyata bukan semu.

Tbc.

Hilih 🙄 cewek itu butuh kepastian, Juki. Jangan digantung terus. Auh ah. Esmoni jadinya.

Seperti biasa 😁 yang mau baca sampai end ada di Karyakarsa (judulnya sama kayak di sini) dan KBM (Judul: Pengganti Dirinya). Link KK ada di bio ya. Babayyy😚
 

























Siapa Aku di Hatimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang