Tak Sesuai Harapan

2.7K 466 66
                                    


Hai hai haiii. Apa kabar wanita kuat semuanya? Baik pasti ya. Cuaca lagi nggak bersahabat, jangan lupa jaga kesehatan 🤗

*****

"Jadi?" tanya Diah waktu Azkia bersiap di meja kasir.

Azkia tak mengerti maksud Diah. "Jadi apa?"

"Kalian baikan? Udah dua hari kamu nggak di kosan. Pilihannya cuma tiga. Rumah kalian, ibumu, atau bundanya Bagas. Kamu juga diantar jemput. Apa dong kalo bukan baikan?

Tarikan di bibir Azkia melebar. Wajahnya berseri dan merona. "Doain aja ya, Di. Ora wani ngarep sing lebih, pokok tak lakoni ae (nggak berani berharap lebih, pokoknya aku jalani aja). Yang pasti kemajuan itu ada. Untuk baikan atau nggak biar Allah aja yang ngatur."

Diah mengangguk. "Selalu aku doa'kan. Kalo gitu nggak jadi ngurus surat cerai? Aku ngarepnya sih kalian nggak pisah, tapi kembali keputusan di tangan kalian."

Azkia mengaminkan ucapan Diah dalam hatinya. Ia pun berharap demikian. "Gimana, ya, Di. Aku jadi bingung, hubungan kami sekarang baik. Aku pikir mau kasih kesempatan buat kami, siapa tahu kali ini berhasil. Kemarin aku emang nyerah dan nethink sama dia, tapi ngeliat sikap dia belakangan ini, kayak gimana gitu," cerita Azkia. Ia menopang dagu dan menoleh ke arah Diah. "Salah nggak, Di, aku punya pikiran gitu?" tanya Azkia mengenai pemikirannya.

Wanita lebih tua dari Azkia itu menggeleng. "Wajar aja. Mungkin kemarin kamu lagi kerasukan setan jadi asal aja. Sekarang yang masuk malaikat, jadinya waras." Diah terkekeh melihat Azkia mencebik. "Dih, kayak bocil ngambek. Btw, Ki, kamu sakit, ya? Pucet gitu."

Wanita itu mengambil kaca kecil yang biasa dia bawa lalu mengamati wajahnya. Riasan tipis yang ia sapukan tak mampu menyembunyikan pucat itu. "Masa, sih, Di?" Memang parasnya tak seperti biasanya. "Kelihatan banget, ya? Nggak sakit sebenarnya tapi belakangan ini nafsu makanku hilang. Eneg gitu, lho."

"Udah periksa belum?" Azkia menggeleng. "Coba periksa, Ki, kali kenapa gitu. Jangan sampai oleng," saran Diah yang diangguki Azkia. "Ojok Iyo tok, ndang budal ben ruh loroe opo (jangan iya aja, buruan berangkat biar tahu sakitnya apa)," perintah Diah tegas, sebab ia tahu bagaimana kawannya itu. Wanita itu tidak akan periksa jika belum tumbang.

"Iyaaa. Paling juga cuma capek soalnya ke sana-sini."

"Pokok budal o, nok dokter opo puskesmas kono. Ojok polang-paling nggak jelas ngono(pokok berangkat aja, ke dokter atau puskesmas sana. Jangan mungkin-mungkin nggak jelas gitu)," perintah Diah lagi. Susah sekali Azkia itu diminta memeriksa diri untuk mengetahui kesehatannya.

"Iya. Iya," sahutnya cepat. "Makasih, lho, udah perhatian. Aku kayak punya saudara cewek gitu, hehehe."

****

Hal inilah yang Azkia takutkan bila memupuk harapan terlalu besar adanya kecewa teramat dalam bila tak sesuai ekspektasi. Bahagia yang ia rasa harus kandas saat mendengar Bagas sedang berbicara dengan Ranti melalui handphone. Ia tidak bermaksud menguping sebab Azkia tak tahu kalau Bagas ada di dapur sedang menerima panggilan telepon.

Ia tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi suara Bagas yang begitu lembut pada wanita itu membuat hatinya tersayat dan iri. Meskipun perlakuan Bagas padanya lebih baik, tapi Bagas tak pernah selembut itu. Ah, Azkia iri sekali pada Ranti yang begitu dicintai oleh suaminya. Andai mereka bertemu lebih dulu, mungkin ia bisa merasakan bahagia dicintai begitu besar oleh seorang pria.

Azkia yang tak ingin perasaan nelangsanya semakin dalam, karena itu ia memutuskan kembali ke kamar Bagas—di rumah Wulan. Tangannya bergerak menyapu air mata yang tiba-tiba turun. Dadanya begitu sesak, bahkan hanya untuk memberi jalan udara ke paru-paru saja sakit, seolah ditimpa berton-ton batu hingga retak dan hancur.

Untuk beberapa lama Azkia menumpahkan air mata. Ia tak ingin menahan tangisnya kali ini sebab terlalu sakit untuk mengabaikannya. Tubuh dibalut baju tidur itu bergetar. Bibirnya berulang kali mengucapkan istighfar untuk menenangkan hatinya. Namun, sebanyak apa pun ia ber-istighfar hati tetap bergemuruh.

Azkia cepat-cepat menghapus air matanya di pipi dan pura-pura tidur kala mendengar pintu dibuka dari luar. Ia berusaha mengatur deru napasnya agar tak menarik curiga Bagas. Tubuh Azkia kaku ketika kasur di belakangnya bergerak karena pria itu. Ya Allah, sakitnya saat hanya bisa memiliki raganya tapi tidak dengan hatinya.

****

Bagas:
Pulang jam berapa? Aku jemput.

Sudah lebih dari sepuluh menit Azkia membaca pesan dari pria itu, tapi ia tak berniat membalas. Bukannya malas, hanya saja sekarang ini ia berusaha membatasi interaksi dengan Bagas. Ia juga berupaya sedikit demi sedikit mengikis cintanya untuk Bagas, agar kelak saat mereka berpisah Azkia mampu bertahan dan melanjutkan hidup.

Ia mengulas senyum mendapati pandangan dari bapak ojek online. "Saya ulangi sekali lagi, ya, Pak. Sup iga tiga bungkus dengan nasi, dan ayam bakar tanpa nasi dua, dibungkus," ulang Azkia dengan jari-jarinya lincah menekan tombol cash register kemudian mengulurkan uang kembalian. "Silakan ditunggu, Pak." Setelahnya ia berjalan ke belakang memberitahukan pesanan bapak tadi.

Mata Azkia melirik jam dinding yang kini menunjukkan pukul empat sore, tanpa disadarinya mendesah lega sebab sebentar lagi jam kerjanya selesai. Entah mengapa hari ini cukup melelahkan bagi Azkia dan yang ia inginkan saat ini bergelung nyaman di kasur tanpa ada gangguan. Pasti nyaman sekali, pikirnya.

Ia segera menghampiri jendela besar yang berfungsi untuk meletakkan makanan saat bunyi bel terdengar. Diraihnya kantung kresek putih sedang dan memanggil Bapak ojek yang memesan. "Maaf membuat, Bapak, menunggu. Terima kasih," ucapnya sambil menyerahkan kantung plastik bening.

"Ki."

Ia menoleh, mendapati Dina sudah siap menggantikan dirinya. "Bentar, Din, nyatat ini dulu." Usai mencatat di buku panjang Azkia ke belakang menuju ruang karyawan.

Setelah ganti baju, ia keluar lewat pintu samping. Tiba di luar ia memesan ojek online. Sebenarnya Azkia lebih suka naik angkutan umum, sayangnya hari ini Azkia ingin segera istirahat. Sepanjang perjalanan Azkia tak berhenti memperhatikan keadaan sekitar sampai ia hafal setiap detail bangunan yang dilewatinya.

"Maaf, Bu, sudah sampai." Ucapan tukang ojek di depannya menyadarkan Azkia dari lamunan. Ia turun, menyerahkan helm, dan mengucapkan terima kasih kemudian berlalu.

Langkah Azkia terhenti—saat ia berbalik setelah menutup pagar—ketika melihat Bagas di teras kamar kos-nya dengan tatapan yang tak mampu Azkia urai. Kakinya terus mendekat dan ia baru menyadari, jika Bagas membiarkan rahang dan dagunya dipenuhi dengan cambang hingga membentuk bayangan gelap di sana.

"Udah lama, Mas." Azkia melewati Bagas dan mengambil duduk di kursi dekat tembok.

"Lumayan." Bagas mengikuti Azkia duduk di kursi dekat pintu kamar istrinya itu. "Bunda sama Ayah nanyain kamu," lanjutnya tanpa basa-basi.

Perempuan berusia 25 tahun itu menarik napas agar paru-parunya terisi dan menyapu bersih rasa bersalah untuk orang tua Bagas. "Nanti kalo ada libur aku ke sana lagi dan aku harap saat itu, Mas, ngomong yang sebenarnya sama Ibu dan Bapak."

Bagas menatap lekat Azkia yang terus menunduk ketika berbicara dengannya. Kenapa tiba-tiba wanita ini membahas hal itu lagi? Bukankah hubungan mereka sudah lebih baik akhir-akhir ini?

"Kenapa?" Bagas bertanya dengan menahan geraman. Kemarahan menyelimuti pria itu. Kemeja maroon yang dikenakan seolah pendukung amarah Bagas yang siap berkobar.

Kepala Azkia seketika terangkat, menatap tajam ke arah Bagas. Ada kemarahan terlukis di mata Azkia, tetapi sebisa mungkin ia redam. "Kita tahu alasannya kenapa aku minta pisah," tandas Azkia geram. "Bukannya ini yang, Mas, ingin? Dengan begitu, Mas, bisa kembali sama Mbak Ranti. Mas, juga nggak perlu pura-pura baik, sayang, dan mencintaiku di depan orang-orang," imbuh Azkia lagi dengan nada mulai tinggi. Sedangkan Bagas menjawab dengan tatapan tajam seperti samurai.

Tbc.

Bisa lanjut ke Karyakarsa yang mau cepet atau KBM Mbak_tika. Btw, untuk cerita When I meet you (Riga dan Tya) bisa di KBM dengan judul Aku yang tak diinginkan. Mamarikaaa😘










Siapa Aku di Hatimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang