Love

148 36 10
                                    


Suasana rumah terasa tenang, hanya terdengar suara gemerisik daun dari luar jendela yang terbuka. Sinar matahari mulai menembus tirai tipis, menciptakan pola bayang-bayang di lantai dapur. Di meja makan, Lisa sedang menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan keponakannya, Pharita.

Pharita duduk di salah satu kursi, mengenakan piyama dengan rambut terurai. Ia menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Sesekali, gadis itu melirik ke arah Lisa yang sibuk mengoleskan mentega pada roti panggang.

"Ada apa?" tanya Lisa lembut, menyadari kegelisahan di wajah adiknya "Kenapa wajahmu seperti itu?"

Pharita mengangkat pandangannya. Matanya yang besar dan berkilat sedikit menyipit, seakan mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. "Kak," katanya pelan, "Apa kau dengar cerita tentang pemilik toko baru di ujung komplek?"

Dibanding Bibi, Pharita lebih suka menyebut Lisa sebagai Kakak. Bagaimanapun juga, setelah kedua orang tuanya meninggal, Pharita selalu bergantung pada Lisa, dia melihat bagaimana sulitnya Lisa harus membiayai dirinya padahal usia Lisa juga masih muda pada saat itu.

Lisa mengerutkan kening. "Pemilik toko baru? Toko yang mana?"

"Toko yang dekat pasar, kakak tidak tau?"

Lisa menggeleng "Aku sudah lama tidak pulang melewati pasar. Ada apa?" tanyanya "Mengapa hanya karena toko baru, wajahmu menjadi seperti itu?"

"Katanya dia seorang kriminal." Jawab Pharita cepat.

Lisa tertawa kecil, sedikit terkejut dengan pilihan kata adiknya. "Dari siapa kau mendengar hal itu? tidak masuk akal"

Pharita menundukkan kepalanya, sedikit ragu sebelum menjawab, "Dari gossip ibu-ibu komplek. Kau tau kan ketika aku bosan menunggumu pulang, aku akan pergi ke taman melihat anak kecil bermain."

"Disana aku mendengar cerita itu. Mereka bilang, dia membunuh seseorang dan dipenjara selama sepuluh tahun."

Sejenak, suasana meja makan menjadi hening. Lisa menatap keponakannya dengan penuh perhatian, berusaha memahami apakah Pharita benar-benar serius atau hanya terpengaruh rumor yang tidak jelas asal-usulnya.

"Dengar," kata Lisa lembut namun tegas, "Kita tidak bisa langsung percaya pada rumor seperti itu. Siapa yang tahu apakah itu benar atau tidak?"

Pharita menggigit bibirnya, menatap Lisa dengan mata yang penuh rasa penasaran dan sedikit ketakutan. "Tapi, Kak... kalau itu benar? Bagaimana jika dia berbahaya?"

Lisa tersenyum, mencoba menenangkan Pharita. "Bukankah orang bisa berubah? Lagipula, kalaupun dia pernah melakukan hal yang buruk, dia sudah menjalani hukuman, bukan? Kita tidak bisa terus menerus menilai seseorang dari masa lalunya."

Bibir Pharita mengerucut "Jika bukan dari masalalunya, bagaimana kita harus menilainya? Setiap orang tentu saja dinilai dari masa lalunya"

Lisa meletakkan pisau mentega dengan pelan, menatap Pharita dengan lebih serius. "Iya, aku mengerti maksudmu. Tapi, bayangkan jika kau adalah orang yang ingin memperbaiki kesalahan. Apakah kau ingin selalu dihakimi dari apa yang sudah kau lakukan, dan bukan dari apa yang ingin kau lakukan sekarang?"

Pharita terdiam, memikirkan kata-kata Lisa. Lisa melanjutkan, "Lagipula, kita belum pernah bertemu dengan orang itu, bukan? Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gosip sering kali dilebih-lebihkan."

Pharita menghela napas, lalu meletakkan sendoknya ke samping mangkuk. "Mungkin Kakak benar," gumamnya pelan. "Tapi, aku masih merasa aneh. Maksudku, kenapa orang dengan masa lalu seperti itu membuka toko di lingkungan kita?"

BLACK HEARTS: Tale of the Girl Who Makes the TalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang