Fault

191 34 13
                                    


Malam mulai merangkak turun di depan mulut Gua Hera. Mereka baru saja tiba dan memutuskan untuk berkemah sebelum memasuki gua berbahaya itu keesokan paginya. Udara dingin dan angin malam menggigit kulit, namun suasana di sekitar api unggun terasa hangat. Para anggota kelompok duduk berkeliling, berbincang dengan canggung, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka. Suara tawa pelan terdengar dari beberapa anggota yang berusaha santai, meski ketakutan akan gua itu membayangi mereka semua.

Lisa, yang duduk agak terpisah, memperhatikan Johnny. Dia adalah sosok yang selalu berdiri sendiri, seringkali menatap ke dalam api dengan wajah tanpa ekspresi. Bahkan di sini, ketika yang lain berbicara dan tertawa, Johnny memilih menjauh dari kerumunan. Ia duduk di sudut, sedikit lebih jauh dari lingkaran api unggun, dengan pandangan yang terfokus pada kegelapan hutan di depan mereka.

Lisa merasa ada sesuatu yang menarik dalam sikapnya. Mungkin, pikirnya, ada alasan mengapa Johnny selalu dijauhi oleh yang lain. Dengan hati-hati, Lisa berdiri dan melangkah mendekati Johnny. Ketika ia mendekat, Johnny mengangkat kepala dan menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak.

"Ada apa?" Johnny bertanya, suaranya rendah dan datar.

Lisa tersenyum kecil, mencoba terlihat ramah. "Tidak ada. Aku hanya berpikir, kau mungkin ingin ditemani," jawabnya sambil duduk di sampingnya, membiarkan jarak yang cukup untuk tidak membuat Johnny merasa terpojok.

Johnny mengangkat bahu, kembali menatap ke depan. "Aku lebih suka sendirian," katanya singkat.

Lisa menggigit bibirnya, tapi tak menyerah. "Aku paham... Gua Hera ini... semua orang kelihatan tegang. Apakah kau juga takut pada apa yang mungkin kita hadapi di dalam sana?"

Johnny terdiam sejenak sebelum menjawab. "Ketakutan itu... bukan sesuatu yang bisa kau hindari. Tidak di dalam gua itu." Suara Johnny terdengar lebih berat, seolah-olah menyimpan beban yang dalam. "Gua Hera membuatmu menghadapi dirimu sendiri... dan itu jauh lebih menakutkan daripada monster apa pun."

Lisa tertegun mendengar kata-katanya. "Apa yang akan kau hadapi di dalam sana?" tanyanya lembut, meskipun ia tahu itu pertanyaan yang mungkin tidak diinginkan Johnny untuk dijawab.

Johnny menatapnya tajam, mata cokelatnya yang gelap berkilat dalam cahaya api. "Kenangan... sesuatu yang selalu ingin kulupakan," jawabnya singkat. "Kau akan tahu nanti... ketika saatnya tiba."

Lisa merasakan ada dinding yang tinggi di antara mereka, tapi juga ada sesuatu yang rapuh di baliknya. "Kalau begitu, mungkin kita bisa saling membantu... menghadapi apa pun yang ada di sana," tawarnya, mencoba memberikan senyum tulus.

Johnny terdiam lagi, tetapi kali ini, ada sedikit kelembutan di matanya yang sebelumnya tidak terlihat. "Mungkin," katanya pelan, sebelum kembali menatap ke dalam api.

Mereka duduk dalam keheningan, mendengarkan suara retak kayu terbakar dan angin yang berhembus di antara pepohonan. Dan meski Johnny tetap memilih diam, Lisa merasa dia telah sedikit mendekati sisi gelap yang selama ini Johnny sembunyikan. Sebuah awal kecil... namun penting.

Api unggun di depan mereka meliuk-liuk, menciptakan bayangan yang bergerak gelisah di wajah mereka. Suara tawa dari yang lain terdengar samar di kejauhan, namun di sini, di tempat Johnny berada, keheningan terasa pekat.

Lisa mengamati Johnny yang tetap menatap lurus ke depan, seolah tidak peduli pada dunia di sekitarnya. Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya. "Yang lain terlihat menjauhimu," katanya dengan hati-hati, "atau itu hanya perasaanku saja?"

Johnny terdiam sejenak. Ekspresinya tetap datar, namun matanya menyiratkan sesuatu yang dalam, sesuatu yang sulit ditafsirkan. "Bukan cuma perasaanmu," jawabnya datar, tanpa ekspresi. "Mereka punya alasan."

BLACK HEARTS: Tale of the Girl Who Makes the TalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang