UPDATE LAGI NIH
TYPO MASIH BANYAK BERTEBARAN
TOLONG MAKLUM
HAPPY READING!
***Hari-hari bergulir dengan rutinitas yang hampir tak berubah, tetapi Zara tahu ada sesuatu yang perlahan berubah dalam dirinya. Seperti tanaman kecil yang tumbuh di antara retakan beton, ia merasakan harapan yang mulai mengakar di dalam hatinya, meski masih rapuh.
Pagi itu, setelah menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah, Zara menerima pesan dari Gavin. Mereka telah lebih sering berbicara belakangan ini, berbagi cerita tentang buku-buku favorit mereka, musik yang mengisi hari-hari, dan sesekali tentang kehidupan yang kadang terasa rumit.
"Lo pernah ngerasa kayak hidup lo ada di titik balik, tapi lo belum tahu bakal ke arah mana?" Tulis Gavin dalam pesannya.
Zara tersenyum membaca pesan itu. Ia merenung sejenak sebelum membalas. "Iya, sering. Rasanya kayak lo berdiri di persimpangan, tapi lo belum tahu jalan mana yang bakal lo pilih. Tapi mungkin, gak apa-apa buat gak tau sekarang. Kadang, lo cuma perlu jalan aja, pelan-pelan, dan biarin hidup yang nunjukin jalannya."
Pesan itu terasa seperti sebuah pengakuan bagi Zara, bahwa meskipun dia belum sepenuhnya sembuh dari masa lalu, dia sedang berproses. Gavin membalas dengan kalimat yang singkat namun mendalam. "Iya, gue ngerti. Kita jalan bareng aja, meski pelan, yang penting gak berhenti."
Zara terdiam sejenak, merasakan hangatnya kata-kata itu. Dia merasa bersyukur karena memiliki teman seperti Gavin yang bisa diajak berbagi tanpa tekanan.
Di sekolah, Zara masih harus menghadapi kenyataan bahwa Ashlan dan Aubrey selalu bersama. Setiap kali melihat mereka, ada rasa sakit yang mengintip di sudut hatinya. Namun, dia mulai menerima bahwa perasaan itu adalah bagian dari proses penyembuhan. Bagian dari menjadi lebih kuat.
Suatu hari, ketika mereka sedang belajar di perpustakaan, Seyna tiba-tiba berkata, "Za, gue lihat lo udah mulai berubah. Lo lebih tenang sekarang, dan gue senang lihat lo gak terlalu larut lagi dalam masa lalu."
Zara menoleh ke arah Seyna, tersenyum tipis. "Gue berusaha, Sen. Gue tahu ini semua butuh waktu, tapi gue gak mau terus-terusan terjebak. Gue pengen belajar untuk menerima, meskipun sulit."
Seyna meraih tangan Zara, memberi dukungan. "Lo gak sendirian, Za. Gue selalu ada buat lo. Dan ingat, kita semua berhak bahagia, meskipun jalannya gak selalu mudah."
Zara menatap Seyna dengan rasa terima kasih yang dalam. "Gue ngerti sekarang, Sen. Kebahagiaan bukan tentang melupakan, tapi tentang menerima dan melangkah ke depan."
Hari itu, Zara pulang ke rumah dengan perasaan yang lebih tenang. Malamnya, dia duduk di depan jendela kamarnya, memandangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Di tangannya, sebuah jurnal terbuka, pena siap mencatat apa yang ada di hatinya.
"Mungkin, jalan ini masih panjang. Tapi gue gak lagi sendirian. Gue punya orang-orang yang peduli sama gue, yang siap jalan bareng meskipun pelan-pelan. Dan yang terpenting, gue mulai belajar menerima. Menerima masa lalu, menerima kenyataan, dan menerima bahwa kebahagiaan bisa ditemukan di jalan yang baru."
Hidup masih akan memberikan tantangan, tapi dia juga tahu bahwa dia lebih kuat dari yang dia kira. Dan dengan setiap langkah kecil yang dia ambil, dia semakin dekat menuju kebahagiaannya sendiri.
"Hidup itu seperti buku, ada bab-bab yang sulit, ada juga yang indah. Dan meskipun gue belum tahu ending-nya, gue akan terus menulis ceritanya. Perlahan, tapi pasti."
Setelah menutup jurnalnya, Zara memutuskan untuk berbaring sejenak sambil menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang pada percakapan-percakapan yang dia miliki dengan Gavin. Meski baru mengenalnya, ada sesuatu yang membuat Zara merasa nyaman dan aman ketika berbicara dengannya. Mungkin karena Gavin tidak pernah memaksa atau menuntut lebih dari apa yang Zara siap untuk berikan.
Malam itu, sebelum tidur, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Gavin.
"Za, lo lagi ngapain?"
Zara tersenyum melihat pesan itu dan segera membalas. "Gue baru selesai nulis di jurnal. Lo sendiri?"
"Gue lagi dengerin lagu sambil lihat bintang di luar. Ada sesuatu yang damai tentang malam ini."
Zara merasakan kehangatan dari pesannya. "Iya, kadang malam emang punya caranya sendiri buat bikin kita merasa tenang. Gue suka momen-momen kayak gini."
Gavin membalas dengan cepat. "Gue juga. Kayak di tengah keheningan malam, semua masalah kita jadi kelihatan kecil, dan kita bisa fokus sama apa yang bener-bener penting."
Zara membaca pesan itu dengan hati yang mulai merasa ringan. Ada sesuatu dalam kata-kata Gavin yang membuatnya merasa dilihat dan dipahami.
"Kadang gue ngerasa, di malam kayak gini, kita bisa denger suara hati kita yang paling jujur," balas Zara.
Ada jeda sejenak sebelum Gavin merespon. "Dan suara hati lo bilang apa malam ini?"
Zara terdiam, merenung sejenak sebelum menulis balasan. "Suara hati gue bilang, gue harus pelan-pelan melepaskan apa yang udah berlalu dan mulai buka hati buat hal-hal baru. Tapi gue juga tau itu gak mudah, dan mungkin akan butuh waktu."
Pesan itu terasa seperti pengakuan yang lebih dalam dari yang pernah Zara bagikan sebelumnya. Tapi dia merasa nyaman berbagi hal itu dengan Gavin.
Gavin menjawab dengan bijaksana. "Gak ada yang salah dengan butuh waktu, Za. Yang penting lo udah mulai jalan. Dan di jalan itu, lo gak sendirian."
Zara tersenyum, merasa didukung. "Gue bersyukur punya teman seperti lo, Gav. Terima kasih karna selalu ada."
Pesan berikutnya dari Gavin membuat Zara merasa hangat. "Gue juga bersyukur punya lo sebagai teman. Kita saling dukung aja, ya. Jalanin ini bareng-bareng."
Percakapan mereka malam itu berlanjut dengan topik-topik ringan tentang musik yang sedang didengarkan Gavin dan film-film yang ingin mereka tonton. Zara merasa nyaman, dan ketika akhirnya mereka mengucapkan selamat malam, ada perasaan tenang yang menyelimutinya. Gavin mungkin bukan pengganti Ashlan, tapi dia adalah seseorang yang bisa Zara andalkan untuk membantunya melalui masa-masa sulit ini.
Hari-hari berikutnya, Zara mulai merasakan perubahan yang nyata dalam dirinya. Meskipun masih ada rasa sakit setiap kali melihat Ashlan dan Aubrey bersama, rasa sakit itu perlahan mereda. Bukan karena perasaannya hilang, tetapi karena dia mulai menerima kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan.
Seyna pun menyadari perubahan ini. Suatu hari saat mereka sedang duduk bersama di kantin, Seyna memandang Zara dengan tatapan puas. "Lo udah jauh lebih kuat sekarang, Za. Gue seneng liat lo yang kayak gini."
Zara hanya tersenyum, merasa hangat dengan pujian itu. "Gue juga seneng, Sen. Rasanya kayak beban di hati gue mulai berkurang, meski perlahan."
"Yang penting lo jalan terus," kata Seyna sambil meraih tangan Zara dengan erat. "Gue selalu ada di sini buat lo, dan gue tau lo bakal bisa ngelewatin semua ini."
Malamnya, Zara kembali menulis di jurnalnya. Kali ini, tidak ada kesedihan yang mengalir dari kata-katanya, tetapi lebih kepada refleksi dan harapan.
"Gue mulai lihat masa depan dengan lebih jelas sekarang. Meski perlahan, gue akan terus maju. Ada banyak hal yang harus gue pelajari dan terima, tapi gue gak akan berhenti. Gue akan biarin waktu yang menyembuhkan, dan di setiap langkah, gue akan belajar untuk lebih mencintai diri gue sendiri."
Setelah menulis itu, Zara menutup jurnalnya dengan perasaan puas. Dia tahu perjalanan ini masih panjang, tapi dia juga tahu bahwa dia tidak lagi sendirian. Bersama teman-temannya, terutama Gavin dan Seyna, dia merasa lebih kuat dari sebelumnya.
Zara akhirnya tidur dengan perasaan damai, yakin bahwa hari-hari ke depan akan membawa kebahagiaan yang baru. Meskipun tidak selalu mudah, dia siap menghadapi setiap tantangan yang datang dengan hati yang lebih terbuka dan lebih kuat.
***
Tiba tiba bijak ya? Authornya lagi waras aja :)
Terimakasih bagi yang sudah membaca.
Nantikan update selanjutnya!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Briefly and Eternally (On Going)
Novela Juvenil"Briefly and Eternally" mengisahkan dua orang yang bertemu secara kebetulan pada tanggal 26 November, di sebuah momen yang tampaknya biasa. Dalam pertemuan singkat ini, mereka menemukan sebuah hubungan yang tak terduga dan saling jatuh cinta. Harapa...