12. Keputusan Finnal

9 1 0
                                    

UPDATE LAGI NIH
TYPO MASIH BANYAK BERTEBARAN
TOLONG MAKLUM
HAPPY READING!
***

Setelah mendengar cerita dari Natania, Zara merasa hatinya semakin tidak tenang. Seyna masih dalam pemulihan dan Zara tidak ingin membebaninya dengan pikiran-pikiran ini. Dia memutuskan untuk merenung sendiri, mencoba menemukan jawabannya sebelum berbicara dengan orang lain.

Selama beberapa hari, Zara menyimpan semua keraguannya sendiri. Setiap kali dia bersama Gavin, dia berusaha untuk bersikap seperti biasa, tapi di dalam hatinya, ada konflik yang tak kunjung reda.

Di malam hari, Zara sering berjalan-jalan sendirian di sekitar rumahnya, mencoba mencari ketenangan. Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam, Zara memutuskan untuk duduk di bangku taman dekat rumahnya. Tempat itu selalu menjadi tempat favoritnya untuk merenung, dan kali ini dia berharap bisa menemukan sedikit pencerahan.

Saat duduk di sana, bayangan masa-masa lalu bersama Gavin melintas di benaknya. Dia ingat pertama kali Gavin menemaninya di bangku ini, saat mereka masih baru saling mengenal. Tempat ini punya arti penting buat mereka, tempat di mana banyak percakapan penting terjadi.

Sambil tenggelam dalam pikirannya, Zara merasakan seseorang duduk di sampingnya. Ketika dia menoleh, dia melihat Liana, sahabat lamanya yang kebetulan tinggal tidak jauh dari sana. Mereka sudah lama tidak bertemu, tapi tetap saling menyapa jika bertemu di sekitaran.

"Lagi mikirin apa?" tanya Liana, dengan senyum tipis yang mengisyaratkan kepeduliannya.

Zara menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan apa yang terjadi. Dia menceritakan tentang Gavin, tentang peringatan Natania, dan tentang semua kebimbangan yang dia rasakan.

Liana mendengarkan dengan tenang, membiarkan Zara mengeluarkan semua yang dia pendam. Setelah Zara selesai, Liana menyandarkan punggungnya ke bangku dan menatap langit yang mulai gelap.

"Lo tahu, Zara, tempat ini kayaknya emang tempat yang pas buat lo buat mikirin hal-hal penting," Liana berkata. "Gue inget lo sering ke sini waktu kita masih di SMP, setiap kali lo lagi ada masalah."

Zara tersenyum kecil. "Iya, tempat ini selalu bikin gue merasa tenang. Tapi kali ini, rasanya susah buat nemuin jawabannya."

Liana menoleh dan menatap Zara dengan serius. "Gue ngerti apa yang lo rasain. Tapi dari apa yang lo ceritain, kelihatan kalau Gavin udah banyak berubah. Cuma, lo nggak akan bisa lanjut kalau masih menyimpan keraguan. Gue rasa, lo perlu bicara langsung sama Gavin."

Zara mengangguk pelan. "Iya, gue tahu. Gue cuma nggak tahu gimana caranya mulai."

"Mulai aja dari yang paling sederhana," saran Liana. "Lo bisa ajak dia ke sini. Tempat ini punya arti buat kalian berdua, kan? Bicaralah di sini, dengan tenang, dan jujur. Gavin mungkin lebih paham daripada yang lo kira."

Malam itu, setelah percakapan dengan Liana, Zara merasa sedikit lebih tenang. Dia sadar bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi keraguannya adalah dengan menghadapi Gavin dan membicarakan semuanya secara terbuka.

Keesokan harinya, Zara mengirim pesan singkat ke Gavin, mengajaknya untuk bertemu di taman dekat rumahnya. Dia tidak menyebutkan alasan spesifik, hanya bilang bahwa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Gavin, seperti biasa, dengan cepat merespons dan setuju untuk datang.

Menjelang senja, Gavin tiba di taman. Zara sudah menunggu di bangku yang biasa mereka duduki, tempat di mana begitu banyak kenangan indah telah terukir. Saat Gavin datang, Zara menyambutnya dengan senyum yang sedikit gugup.

"Gue nggak biasa lo ajak ke sini buat ngomong serius," Gavin memulai percakapan dengan nada ringan, mencoba mencairkan suasana.

Zara tersenyum lemah. "Iya, gue tahu. Tapi kali ini gue beneran perlu ngomong sesuatu."

Mereka duduk berdampingan, suasana senja yang tenang di taman memberikan latar yang sempurna untuk percakapan yang akan datang. Zara mengumpulkan keberaniannya, mengingat kata-kata Liana, lalu mulai berbicara.

"Gavin, gue... Gue mau ngomongin sesuatu yang mungkin agak berat," Zara memulai, suaranya sedikit gemetar. "Beberapa waktu lalu, Natania ngontak gue. Dia cerita tentang masa lalu lo, dan gue... gue jadi bingung. Gue tahu ini nggak adil buat lo, tapi gue nggak bisa ngabaikan apa yang dia bilang."

Gavin terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Gue ngerti, Rara. Gue bisa tebak ini bakal terjadi. Gue tahu Natania pasti masih punya sesuatu yang ingin dia sampein ke lo."

Zara menatap Gavin, berusaha membaca ekspresi di wajahnya. "Lo nggak marah?"

Gavin menggeleng. "Enggak, gue nggak marah. Gue cuma sedih karena masa lalu gue masih ngikutin gue, dan sekarang ngebebanin lo. Tapi gue juga tahu bahwa lo berhak tahu semuanya."

Zara mengangguk pelan, merasa sedikit lega mendengar respons Gavin. "Gue cuma... Gue cuma mau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gue nggak pengen ngejudge lo, tapi gue juga nggak mau jalan terus tanpa tahu apa yang sebenarnya gue hadapi."

Gavin menunduk, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat. "Natania nggak salah, gue emang punya masa lalu yang nggak mudah. Waktu gue masih pacaran sama dia, gue emang sempet ngalamin masa-masa yang sulit. Gue pernah merasa kehilangan arah, jadi impulsif, dan sering nggak mikirin perasaan orang lain. Itu bukan masa terbaik dalam hidup gue, dan gue nggak bangga sama hal-hal yang gue lakuin waktu itu."

Zara mendengarkan dengan seksama, perasaannya campur aduk. Gavin melanjutkan, "Tapi, Rara, gue juga udah berubah. Gue udah belajar dari kesalahan gue, dan gue nggak pengen jadi orang yang sama lagi. Waktu gue sama lo, gue beneran mau jadi versi terbaik dari diri gue. Gue tahu mungkin nggak sempurna, tapi gue serius."

Ada keheningan sesaat di antara mereka, hanya terdengar suara angin yang berhembus pelan di sekitar mereka. Zara merenung, memikirkan semua yang baru saja dia dengar.

"Gue bisa lihat lo udah banyak berubah, Gav," akhirnya Zara berkata, suaranya lembut tapi tegas. "Dan gue tahu nggak ada orang yang sempurna, semua orang punya masa lalu. Yang penting buat gue sekarang adalah gimana lo di masa depan, gimana kita bisa jalan bareng dengan semua yang kita tahu."

Gavin menatap Zara dengan penuh harapan. "Jadi... lo masih mau coba jalan bareng gue?"

Zara tersenyum, kali ini lebih tulus. "Iya, gue mau. Tapi kita harus jujur satu sama lain. Kalau ada masalah, gue pengen kita bisa hadapin bareng-bareng, nggak ada yang disembunyiin."

Gavin mengangguk, tersenyum lega. "Gue janji, Rara. Gue bakal selalu jujur sama lo."

Mereka duduk di sana dalam keheningan yang nyaman, merasakan beban yang perlahan terangkat dari hati mereka. Malam itu, di taman kecil yang penuh kenangan, Zara dan Gavin memulai babak baru dalam hubungan mereka, dengan keyakinan yang lebih kuat dan hati yang lebih terbuka.

***
Namanya juga sayang, mau seluruh dunia bilang dia jahat gabakal di denger karena mereka ngga tau baiknya dia waktu sama kita, kan? begitupun yang di rasain Zara yang akhirnya ngasih kesempatan buat Gavin.

TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH MEMBACA!
TUNGGU UPDATE SELANJUTNYA YA!

Briefly and Eternally (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang