Di Ujung Tanduk

2 0 0
                                    


Nirmala tertunduk lesu di pojok kamar. Beberapa jam setelah dirinya dikunci sang bapak, wanita yang berada dalam fase dewasa awal itu seperti orang linglung dan putus asa. Digenggamnya ponsel erat-erat sepanjang waktu. Tatapannya kosong. Sesekali dipandanginya benda di tangannya itu penuh harapan, lalu beralih ke arah jendela kamar yang berada di atasnya. Hidupnya benar-benar layaknya telah berada dalam tahanan. Dirinya tidak menyangka jika di tahun 2015 ini masih ada orang yang memenjarakan anaknya sendiri demi sebuah perjodohan.

"Kukira Siti Nurbaya itu cuma ada di dongeng aja." Kalimat yang terdiri dari delapan kata itu meluncur ringan dari hati terdalam. Bibirnya tersenyum getir.

"Agggrrrr!!!" Nirmala mengerang putus asa. Jikalau tidak ingat Blackberry yang ia genggam itu adalah hasil jerih payah kekasihnya, tentu sudah dibanting berkali-kali. "Kamu benar-benar membuatku gila, Gara!!! Bahkan, setelah kukirimi pesan itu pun, kau tidak segera menghubungiku. Oh, kau malah menon-aktifkan ponselmu di saat aku terpojok begini? Sebenarnya kau mencintaiku tidak, sih?!"

Tak lama setelah dirinya mengomel sendiri di depan cermin, terdengar suara benturan kaca dengan benda padat. Suara itu membuat Bu Harsono yang sedang sibuk di dapur tidak jauh dari kamar sang putri pun panik bukan main. Wanita yang kesusahan berlari kencang karena jarik yang dikenakan itu langsung menuju ke sumber suara. Untunglah ia diamanati kunci kamar oleh sang suami, sehingga bisa membuka pintu yang terkunci itu tanpa kesusahan.

"Astaghfirullahaladzim, Nduk!" Bu Harsono panik bukan main ketika melihat pelipis sang putri berdarah. Dengan sigap, wanita berlesung pipit itu lari mencari kotak obat dan langsung mengobati luka sang putri yang masih berdiri dengan tatapan kosong.

"Ibu seharusnya tidak membuka pintu itu dan menolongku. Biar saja aku mati."

"Tidak, Nduk. Kau tidak boleh berucap begitu. Istighfar, ya." Bu Harsono menatap mata bengkak putrinya. Ada pedih yang mendalam di jiwanya. Saking tidak kuasa merasakan, wanita yang masih terlihat cantik di usia mendekati kepala lima itu mengalihkan pandangan. Namun sial, pandangannya justru mengarah pada kaca oversized yang telah retak. Sontak, ia mengelus dada dan menatap putrinya sekali lagi. Kali ini lebih lama dan lebih dalam.

"Buat apa aku hidup jika bahagia tidak pernah aku rasakan, Bu? Bahkan, jauh sebelum kejadian ini, bapak tidak pernah berada di pihak anaknya yang ingin hidup bahagia dan damai." Nirmala berucap masih dengan tatapan kosong. Ia sama sekali tidak melirik pada sang ibu yang terus saja sibuk membersihkan dan memperban luka.

Mendengar curahan hati sang bontot, Bu Harsono sangat prihatin. Di perhatikannya lekat-lekat sang gadis. Ia ingin sekali menangggapi, tapi tau jika saat ini, kata-kata tidak dibutuhkan.

"Sabarlah sebentar, Nak. Doa yang kuat. Semua pasti akan indah pada masanya. Pokoknya sabar, ya? Ibu harus segera ke luar sebelum bapakmu pulang. Ingat pesan ibu, sabar dan doa. Ya?" Tanpa menunggu reaksi sang putri, Bu Harsono langsung buru-buru menuju pintu dan menguncinya kembali.

Kali ini Nirmala mengamati sang ibu hingga pintu itu tertutup rapat. Pikirannya sungguh kalut. Dirinya yang begini saja sudah kewalahan menghadapi sang bapak, bagaimana dengan ibunya yang telah hampir tiga puluh tahun lebih bersama? Wanita yang penampakannya sangat berantakan itu kembali berkaca pada cermin yang retak.

Entah sudah berapa kali dirinya hendak mengakhiri hidup gara-gara sifat sang bapak yang otoriter dan keras. Tapi selalu tidak berhasil. Siapa lagi kalau bukan Anggara yang selalu bisa mencegah tindakan bodohnya itu. Namun, kali ini, pria yang selalu ia repotkan itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Benar-benar hidup Nirmala seperti di ujung tanduk.

###

Pria itu telah duduk di sebuah pojok bangunan dengan tulisan SMOKING AREA cukup lama. Satu dua buah kretek sudah hangus di bibirnya yang berwarna cerah—menandakan bahwa sang empu tidak gemar dengan kegiatan yang ia lakukan saat ini. Kretek ketiga baru saja hendak menempel di bibir, tapi urung oleh tangan seseorang yang menariknya secara tiba-tiba.

"Sejak kapan ponakan tante yang paling ganteng ini jadi maniak rokok?"

Anggara menoleh. Sesosok wanita cantik tengah berada di belakangnya dengan senyum manis. Wajah yang ada kemiripan dengan ibunya, tapi perangai yang bertolak belakang itu seperti sedang menganalisa sesuatu.

"Bagaimana keadaan Ibu, Tante?" Bukannya menanggapi pertanyaan, Anggara berdiri dan bertanya pada tantenya.

"Tadi udah dicek suster. Tensinya naik. Disuruh istirahat dan tunggu. Kalau nanti dicek lagi masih belum membaik, disarankan untuk opname." Wanita yang berprofesi sebagai psikolog itu mencermati sang ponakan yang sekali pun tampak tenang, tapi dari raut wajah terlihat sedang tidak baik-baik saja.

"Tante cariin dari tadi nggak ketemu-ketemu. Ponsel juga mati." Tante Ayu melanjutkan percakapan sambil terus menganalisa. Ia paham betul karakter sang ponakan semata wayang yang pendiam itu.

"Lupa, Tante." Anggara menghisap kreteknya cukup lama dari sebelum-sebelumnya, lalu membuang ke tong sampah setelah memastikan sudah tidak ada bara di sisa kretek tersebut.

Tante Ayu menanggapi dengan anggukan.

Anggara segera melaju ke ruang di mana Bu Diana terbaring. Namun, pikirannya semakin cemas teringat dengan sang kekasih. Ia masih mengingat begitu jelas bagaimana pertemuan terakhir kemarin yang amat memilukan. Perasaannya semakin tidak karuan manakala melihat keadaan sang ibu yang terbaring di ICU dengan wajah pucat.

"Jangan tinggalkan, Ibu." Tangan kanan Bu Diana meraih tangan sang putra yang hendak melangkah ke luar untuk kembali merokok. Jujur, dia tidak kuasa berlama-lama berada di dekat ibunya. Ia harus berfikir bagaimana bisa keluar dari masalah pelik yang menghampiri. Terlebih, ini menyangkut hidup dan mati seseorang yang sangat ia paham betul sifat nekatnya.

Anggara menatap sang ibu dengan tatapan campur aduk. Namun, demi melihat keadaan single mom yang membesarkan ia seorang diri, hati menjadi luluh. Pria yang berada dalam fase dewasa awal itu mengurungkan niat untuk ke luar, memilih duduk di kursi samping ranjang pasien.

###

Nirmala masih saja menggenggam ponsel yang daya baterainya tersisa tidak kurang dari dua puluh persen. Tiba-tiba saja gawai itu bergetar dan mengagetkannya. Dengan semangat menggebu hendak melampiaskan amarah, ia memencet tombol berwarna hijau segera.

"Halow! Ke mana saja kamu dua hari tidak ada kabar. Apa sudah tidak ada cinta di hati kamu lagi untukku? Hah? Kau tidak tau betapa menderitanya aku dikurung di sini tanpa bisa ke mana dan ngapa-ngapain kecuali menunggu kabar darimu."

Sebenarnya Nirmala masih ingin mengeluarkan unek-unek yang membuncah di dada, tapi suara di seberang sana memaksanya untuk berhenti dan membuatnya kaget bukan kepalang.

"Nirmalaku, apa kabar?" Jelas suara itu bukan milik pria yang sedang diharapkannya. Namun, ia masih ingat dengan suara khas yang selalu memanggilnya dengan sebutan 'Nirmalaku'. Sontak, wanita yang keadaannya sudah amburadul itu menggigit bibir dan terbawa dalam memori masa lalu.

"Bicara dengan siapa kamu?" Kekagetannya nyaris sempurna manakala suara sang bapak mendekat. Saking semangatnya mengangkat telepon, ia sampai tak menyadari jika pintu yang terkunci itu telah dibuka.

Nirmala menyembunyikan ponsel di belakang dan mematikan panggilan sesegera mungkin.

"Jangan macam-macam kamu, ya. Bapak tidak mau tau, pokoknya kamu dandan segera dan ke ruang tamu. Jangan bikin kecewa dan malu kalau tidak mau keluarga kita hancur." Dari tatapan bola mata pak Harsono seolah mengancam. Nirmala yang biasanya tak gentar, kali ini karena kaget bukan main, dirinya hampir mati berdiri. Baru setelah pintu itu kembali dikunci dari luar, dicarinya kontak yang semenit lalu menghubunginya. Pokoknya ia harus bicara pada sosok di seberang panggilan tadi.

Nikahi Aku atau Aku MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang