"Itu pacar kamu kenapa ke sini, sih, Ga?" tanya Bu Diana pada putranya dengan suara setengah berbisik. Setelah berjabat tangan dan mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu, wanita berkaca mata itu langsung masuk ke ruang belakang. Tangannya menarik lengan sang putra—yang awalnya hendak menemani sang pacar di ruang tamu.
"Ya memang, kenapa, Bu? Ya, silaturohmi, mungkin." Dengan dipenuhi rasa takut dan was-was, Anggara menjawab. Beberapa detik melihat roman wajah sang ibu yang tampak kurang senang, ia pun melanjutkan perkataannya."Atau mungkin ada yang ingin dia sampaikan, Bu. Penting. Hehehe." Anggara nyengir. Padahal dalam hati, pria berkumis tipis itu tidak bisa mengontrol rasa dag-dig-dug yang menjajah jiwanya.
"Penting apa, sih? Alasan! Mau ketemu kamu aja kali. Cewek kok, main ke tempat cowok begini. Tandanya cewek genit," ucap Bu Diana sembari berjalan ke arah ruang tamu.
Di sana sudah ada Nirmala yang deg-degan menunggu moment dirinya memberanikan diri meminta restu pada ibu sang pacar. Melihat orang yang sedari tadi ditunggu telah datang, jantungnya semakin berdenyut lebih kencang dan kedua lutut bergetar hebat. Seumur hidup, dirinya tidak pernah merasa se-nerveous ini.
"Tante..." Nirmala berusaha mencairkan suasana.
Dengan malas, Bu Diana membalas sapaan pacar putra semata wayangnya dengan anggukan dan senyum segaris.
Ini memang bukan kali pertama Bu Diana bertemu sosok gadis yang baru kemarin dibahas putranya itu. Dirinya ingat betul bahwa wanita berkulit cokelat itu pernah datang ke rumah ini, dulu sekali. Waktu itu diperkenalkan sebagai teman saja. Meski pada akhirnya, sang putra mengakuinya sebagai pacar.
Sejak berpacaran dengan Anggara, Nirmala memang sudah kerap mendengar cerita tentang sosok ibu sang pacar. Meskipun ia sering merutuk bahwa calon mertuanya itu orang yang egois, keras kepala dan tidak punya perasaan, tapi tetap saja, begitu melihat sosok itu di hadapan, dirinya tak berkutik. Mungkin, aura tegas dan kuat di guratan wajah berkelas itu yang membuatn pacarnya juga sangat takut pada sang ibu, pikir Nirmala.
"Apa kabar, Bu?" Karena tidak ada respon suara dari sapaannya, Nirmala menanyakan kabar, yang sudah ia tanyakan saat di teras depan tadi.
"Ya. Seperti yang kamu lihat. Baik-baik saja, 'kan?" Kedua tangan Bu Diana diangkat sejajar dengan wajah lonjongnya, seolah untuk menunjukkan bahwa dia sangat percaya diri. Tak lama kemudian, kedua tangan yang dipenuhi dengan gelang emas itu bersedekap, diikuti kaki bersilang.
"Oh, Alhamdulillah. Syukurlah," jawab Nirmala dengan hati mulai merasa tidak nyaman. "Pantes aja si Anggara selama ini takut banget sama wanita ini. Modelnya aja kayak persis preman. Sombong pula," katanya dalam hati.
Beberapa saat terjadi kekosongan. Nirmala menatap Anggara sambil menggerakkan bola mata. Ia berharap telepatinya berhasil membuat sang kekasih memecah keheningan. Sayang, pria itu tak peka.
"Ada apa ke mari, Mbak? Tumben?" Tak dinyana Bu Diana tiba-tiba bersuara. Kedua netranya yang dilengkapi dengan kaca mata itu terlihat naik turun, seolah sedang membaca gerak gerik sang tamu.
Mendengar pertanyaan tersebut, Nirmala tersadar bahwa kehadirannya belum diketahui sang calon mertua. Ia mendadak sangat gregetan pada pacarnya yang hanya duduk tanpa sepatah kata.
"Apa Anggara tidak bilang sama Ibu?" Saat melontarkan pertanyaan ini, dada Nirmala terasa sesak. Ia tidak menyangka jika sang kekasih sebegitu pengecutnya--tidak mengatakan pada ibunya bahwa ia akan ke mari untuk membahas tentang pernikahan. Mendadak ia ingin menjerit sekeras-kerasnya.
"Bilang apa?" Bu Diana justru kaget dan bertanya balik. Di tatapnya wanita bergaun semi formal itu tajam, kemudian beralih pada sang putra yang terlihat sangat kaku dan muram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikahi Aku atau Aku Mati
RomanceSiapa sih yang mau jadi seperti Nirmala? Terlahir di keluarga toxic dengan kepala rumah tangga yang ringan tangan dan egois, setelah dewasa menemukan tambatan hati spek malaikat yang bisa menjadi sosok orang tua, kakak, sekaligus teman, tapi, sialny...