"Kayak orang susah aja cari kerja. Kerja sama ibu di rumah. Toko diurus. Kontrakan diurus. Siapa lagi yang bakal urus kalau bukan kamu. Dari pada bayar pegawai, toh lebih baik buat tabungan kamu, 'kan?" kenang Anggara pada ucapan ibunya beberapa tahun silam.
Rentetan kata yang seperti kalimat putus cinta tersebut sempat teringang-ingang di telinga hingga beberapa waktu selepas dirinya menyandang gelar sarjana. Tak disangka, di saat pelik begini, kalimat tersebut kembali memenuhi kepala. Apalah dia yang telah dipatri untuk hidup selalu menuruti apa kata sang ibu pun tak kuasa menolak. Cita-cita sirna seketika.
"Jika dulu nekat berkarir di luar, mungkin saat ini punya tabungan banyak." Begitu pikiran liarnya berkecamuk, membuatnya semakin kalang kabut.
Kretek satu lagi sudah hangus bercampur dengan udara. Dirinya tetap bersikeras di tempat yang sudah sejam lebih ia tempati tanpa bergeser sedikit pun. Batinnya sebenarnya resah, karena sama sekali belum menemui titik terang. Tapi, jika ia masuk dan bertemu dengan sang ibu dalam keadaan pikiran kusut begini, yakin seyakin-yakinnya justru akan bertambah masalah.
Pikiran untuk pergi untuk sekedar refreshing pun menghampiri. Namun, jika ingin pergi, kemana? Dia bukanlah tipikal pemuda yang senang nongkrong. Bahkan, untuk sekedar minum kopi atau nonton bioskop pun tidak. Teman-temannya sudah memaklumi dan menyebutnya 'anak mami'.
Awalnya risih dengan sebutan tersebut. Namun, lama kelamaan pasrah saja. Memang begitu adanya. Ia tidak ingin melihat wanita yang telah susah payah melahirkan dan membesarkannya seorang diri itu kecewa karena tidak bisa menjadi putra yang baik. Entah kenapa, suasana menyedihkan ini menyeretnya pada memori masa kecil.
Semburan asap dari kretek sengaja ia hembuskan sekencang mungkin. Kumpulan karbondioksida, hydrogen sianida dan benzena yang jumlahnya ribuan itu sebenarnya telah menyebabkan batuk berkali-kali. Namun, telinganya pura-pura tuli. Hati dan pikiran si empu sedang tidak di tempat. Ia mengelana ke tempat sang pujaan berada.
"Di sini kamu rupanya?"
Suara yang sangat familiar di telinga itu tiba-tiba mengagetkan. Anggara menoleh ke belakang. Bu Diana berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan bersedekap. Melihat pemuda yang diajak bicara tidak merespon, wanita berpiyama satin itu mendekat dengan langkah penuh tenaga.
"Toko tidak kamu urus. Kemana saja?" Suara wanita bernada khas tinggi itu kembali bertanya.
Anggara masih saja terdiam. Dia kehilangan kata-kata dan selera untuk menjawab. Bahkan, batinnya sempat berucap, "kalau saja Ibu bisa lebih lentur sedikit saja, semua ini tidak akan terjadi."
"Jangan dikira Ibu nggak tau, ya? CCTV selalu on setiap saat. Pacarmu yang kegatelan itu ke sini dan bawa kamu pergi, 'kan? Kemana aja jam segini baru pulang? Toko tidak keurus, beberapa fasilitas kontrakan yang perlu diberesi juga belum kamu beresi. Makin ke sini kamu kenapa makin bandel, sih?" Bagai sedang mengomeli bocah bau ompol, Bu Diana semakin bernada tinggi tak terkendali.
"Bu, bisa tidak buat nggak tereak-tereak? Gara pusing!" seru Anggara protes. Pemuda itu terlihat sangat tertekan. Baru kali ini nada bicara ke ibunya setinggi itu. Ia baru saja hendak bangkit dan melangkah masuk ke rumah saat sebuah telepon memanggil.
Begitu membaca tulisan nama yang tertera di layar panggilan, dirinya dilanda kebingungan. Jika mengangkat telepon, sudah pasti wanita di hadapannya itu semakin tersulut emosi. Sebaliknya, jika mengabaikan telepon, wanita yang berada di seberang sana akan mencak-mencak dan bertambah depresi.
" Matikan teleponnya, Gara. Ibu sedang bicara sama kamu!" Pekik Bu Diana dengan bola mata mendelik. Kedua tangannya berkacak pinggang seperti sedang menakut-nakuti anak kecil.
Posisinya sangat sulit saat ini. Jika bisa, ia ingin langsung masuk dan tidur tanpa membuat ibunya lebih marah lagi, dan bangun jika mood sang ibu sudah baik.
"Biarkan Anggara istirahat. Anggara, masuklah!"
Sebuah suara mengagetkan ibu dan anak tersebut. Keduanya kompak menatap sosok yang baru saja datang. Melihat siapa yang kini ada di hadapannya dengan ucapan tersebut, membuat wanita yang selalu tampil dengan lipstik warna merah itu semakin menyala karena naik pitam. Tak disangka jika sosok tersebut tiba-tiba muncul di kondisi begini.
Bersambung...
Penasaran sama kelanjutannya?
Lanjut yuk, ke KBM atau Good Novel dengan judul yang sama 'Nikahi Aku atau Aku Mati' penulis Graviolla Coding.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nikahi Aku atau Aku Mati
RomanceBerniat menghalalkan hubungan asmara yang telah terjalin lima tahun lebih aja dramanya luar biasa, dari mulai sang calon mertua yang tidak sudi memberi restu, sang bapak yang sepihak menjodohkan, hingga sang sahabat yang juga bikin resah. Ternyata...