"Biarkan Anggara istirahat. Anggara, masuklah!"
Seorang wanita yang terlihat lebih muda dari usia orang yang dipanggil tiba-tiba hadir di tengah-tengah Anggara dan sang ibu. Keduanya kompak menatap sosok yang baru saja datang. Melihat siapa yang kini ada di hadapannya dengan ucapan tersebut, membuat wanita yang selalu tampil dengan lipstik warna merah itu semakin menyala karena naik pitam. Tak disangka jika sosok tersebut tiba-tiba muncul di kondisi seperti ini.
"Nggak usah belain dan ikut campur urusanku, Wahyu!" Sorot mata Bu Diana tajam menatap wanita yang tampak tak gentar itu.
"Jangan terlalu keras dengan anak. Kasihan Anggara jadi tertekan. Belakangan dia sepertinya kurang istirahat."
Wanita yang dipanggil dengan nama Wahyu itu terlihat begitu prihatin dengan tingkah Bu Diana. Kedua matanya yang teduh itu sesekali melihat ke arah keponakan yang tampak tidak nyaman.
"Sewaktu kamu di rumah sakit, anakmu ini hampir tidak bisa tidur dan istirahat dengan baik. Apa kamu tidak kasihan?" imbuhnya lagi.
Anggara yang sudah sangat pusing itu hanya bisa menatap kedua kakak beradik yang lahirnya beda satu jam. Ia sudah sangat paham, sedari dulu sifat mereka sangat jauh berbeda. Prinsip dan argumennya pun sering berseberang.
"Gara, masuk, Nak," ucap sang tante sambil mengawasi kakaknya.
Seperti mendapat perlindungan, Gara langsung melangkah masuk tanpa menunggu suara protes sang ibu. Jika harus jujur, dirinya lebih nyaman dan aman jika adik ibunya itu sudah berada di dekat. Karena, memang wanita sederhana itu sangat tahu bagaimana bersikap, terutama saat menjadi seorang ibu untuk anak-anaknya.
Melihat putranya masuk, Bu Diana hendak membuntuti, tapi dicegah sang adik.
"Mbak, biarkan putramu itu istirahat. Apa kamu tidak memperhatikan, belakangan dia semakin tertekan dan sedih? Lihat puntung rokok itu!" Bu Wahyu mengacungkan jari telunjuk pada beberapa puntung rokok yang tercecer di paving, lalu melanjutkan, "sejak kapan seorang Anggara merokok? Seumur hidup, baru kali aku melihat dia menghabiskan batang rokok dengan jumlah cukup banyak. Kamu tau kenapa seseorang yang anti rokok itu tiba-tiba merokok?"
"Kalau kamu ke sini hanya untuk menceramahiku, pulanglah! Sebagai Ibu, aku lebih tau bagaimana keadaan anakku."
Bu Diana bersedekap sambil membuang muka. Ia sungguh jengkel dengan sang adik yang tiba-tiba datang dengan materi psikologinya. Ini memang bukan kali pertama, tapi entah kenapa terasa menyakitkan. Jika saja tidak ingat bahwa mereka sudah tidak punya orang tua dan saudara lagi, rasanya ingin memutus hubungan.
"Ya, memang. Tapi, aku sungguh tidak tega melihat keponakanku seperti depresi begitu. Tentu kamu tidak ingin kejadian dulu terulang kembali, 'kan?" Dengan penuh kehati-hatian, wanita yang kesehariannya berhadapan dengan orang-orang bermasalah secara psikologis itu mencoba melakukan kontak mata dengan lawan bicara.
Mendengar adiknya mengucapkan kalimat tersebut, membuat ingatan Bu Diana melayang ke beberapa tahun yang lalu, saat dunianya terasa hancur manakala sang suami meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali.
Bola mata Bu Diana mendadak merah menahan amarah. Kali ini adiknya benar-benar keterlaluan karena menyibak luka yang sejatinya masih membekas di jiwa. Dengan penuh amarah dan kekesalan, dibalasnya tatapan sang lawan bicara lebih nyalang.
"Maksud kamu apa, Yu?" berang Bu Diana tiada lagi bisa ditahan.
"Mbak Diana..." Melihat amarah sang kakak, Bu Wahyu mendekat dan memelankan suara, "aku bicara begini karena care sama kamu dan juga putramu. Tak sanggup rasanya aku melihat Anggara seperti sedang menanggung masalah berat seorang diri. Bukan pula hendak mengungkit masa lalu. Tapi, cobalah untuk mengurai akar permasalahan. Introspeksi bisa menjadi salah satu jalan permasalahan dari sebuah masalah. Dan, aku berpikir jika masalah Anggara ini hampir sama dengan masalah kamu yang dulu. Maaf, jika kata-kata ini terlalu jujur."
Bu Wahyu terlihat sedih dan prihatin. Kedua alisnya nyaris bertemu saking takutnya kalimat fakta ini terlalu menyakitkan.
"Sekali lagi aku bilang, Yu! Jangan pernah urusi aku atau pun Anggara lagi. Seorang ibu tau mana yang terbaik untuk anaknya."
Suara Bu Diana terdengar semakin tinggi. Ditatapnya sang adik dengan kedua mata menyala, lalu berseru, "sedari dulu, kamu dan aku jelas beda. Takdir kita pun beda. Kamu beruntung, aku tidak. Kamu bisa meraih impianmu menjadi orang berseragam, aku tidak. Kamu punya keluarga utuh yang bahagia, dan aku tidak. Jelas berbeda, bukan?" sembur Bu Diana dengan napas ngos-ngosan saking kesal dan emosinya yang meledak-ledak.
"Oke, lah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu. Sekali lagi kubilang, apa yang aku ungkapkan pure demi kebaikan kamu dan Anggara. Tidak lain dan bukan faktor apa pun selain itu."
Bu Wahyu tampak sedih. Ia tidak menyangka jika rasa simpatinya justru direspon negatif, hingga melebar ke urusan takdir. Wanita yang lebih sering dipanggil 'Bu Ayu' itu hampir melangkah mundur, tapi urung dan melanjutkan kalimatnya, "dan, Tuhan memang sudah menakdirkan tiap insan-Nya masing-masing, tidak ada yang sama. Bahkan, seorang anak kembar sekali pun. Karena, sejatinya manusia tak punya kuasa apa pun tentang takdir. Kita hanya bisa menjalani dengan versi terbaik."
Baru kali ini suara langkah kaki adiknya itu terdengar seperti petir yang menggelegar. Padahal, biasanya wanita yang sifatnya hampir bertolak belakang dengan dirinya itu meninggalkan kesan yang menyenangkan, hangat dan lembut. Bu Diana seperti tertampar, tapi batinnya masih tetap berusaha menolak ketika hati nuraninya mencerna dengan baik segala ucapan sang adik.
Wanita yang tengah berputus asa itu akhirnya masuk kamar. Jam sudah malam. Namun, seberusaha apa pun ia menutup mata untuk tertidur, tapi kata-kata sang adik masih teringang-ingang. Alhasil, Bu Diana jengkel dan terbangun dari posisi rebahannya.
Sambil duduk di depan kaca meja rias berbahan kayu jati ukir, wanita berwajah judes itu akhirnya mengakui jika ia belum rela jika putra semata wayang yang selama ini menemani, akan segera menikah. Dirinya sungguh belum rela jika waktu, perhatian dan segala bentuk kasih sayang sang anak akan terbagi kepada sosok wanita lain.
Apalagi, jika wanita itu bukanlah sosok yang menurutnya bisa menjadi menantu baik, nurut, dan seperti impian selama ini, seolah pengorbanan dalam membesarkan anak terasa sia-sia. Sejatinya suatu hari, Bu Diana ingin menikahkan putra satu-satunya itu dengan gadis yang sudah dikenal baik dan sesuai dengan kriteria impiannya. Tapi, sekali lagi, belum untuk saat ini. Rasanya dirinya tidak sanggup untuk ditinggal pria untuk kedua kalinya.
Bersambung...
Penasaran sama kelanjutannya?
Lanjut yuk, ke KBM atau Good Novel dengan judul yang sama 'Nikahi Aku atau Aku Mati' penulis Graviolla Coding.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nikahi Aku atau Aku Mati
RomanceBerniat menghalalkan hubungan asmara yang telah terjalin lima tahun lebih aja dramanya luar biasa, dari mulai sang calon mertua yang tidak sudi memberi restu, sang bapak yang sepihak menjodohkan, hingga sang sahabat yang juga bikin resah. Ternyata...