"Apa?" Karena saking kagetnya, lengkingan suara Nirmala hampir saja terdengar hingga ruang tamu. Namun, saat itu suara ramah tamah antara keluarga Pak Harsono dan sang tamu yang begitu riuh berhasil mengaburkan suara yang berasal dari kamar si gadis.
"Ya, kamu tidak salah dengar. Bapak berhutang banyak pada keluarga Pak Jaksa. Rasanya tidak mungkin kita bisa menebusnya. Paling tidak dalam waktu dekat ini. Itulah mengapa, suka atau tidak, mau atau tidak, kau jadi tumbalnya." Suara di seberang telepon sana benar-benar sempurna membuat drama kehidupan Nirmala sangat mengenaskan. Seseorang yang seharusnya bisa menyelamatkan hidupnya, justru menghilang beberapa tahun lalu dan tiba-tiba datang membawa berita sangat buruk.
Butuh waktu beberapa detik untuk dirinya bisa berfikir dan menerima kabar mengagetkan itu. Air mata tidak lagi bisa keluar, padahal batinnya terus saja menjerit kesakitan. Masalah satu belum selesai, kini tambah lagi dengan fakta baru yang sangat mengoyakkan jiwanya.
"Aku tau kau kaget mendengar ini. Maaf, baru aku sampaikan sekarang." Nada seseorang yang berada di seberang sana terdengar prihatin. Namun, itu tidak membuat Nirmala luluh.
"Dunia itu nggak adil. Sungguh, tidak adil!" Nirmala kembali memekik.
"Aku tau kalau diriku telah gagal menjadi anak sekaligus kakak buat kamu. Seharusnya aku tau lebih awal dan menyelesaikan semua ini. Tapi..." Suara di seberang sana bungkam. Pun dengan Nirmala yang seperti telah kehilangan segala-galanya.
"Nirmala...adikku...apa kau masih mendengarku?"
Nirmala tidak menyahut. Dirinya sangat kecewa. Suara helaan nafas yang terdengar berat masih bisa terdengar sampai di seberang sana.
"Aku tau kau butuh waktu untuk berfikir dan menerima semua ini. Lain waktu aku akan menceritakan semua dari kenapa aku harus jadi TKI, sampai alasan tidak menghubungi kamu selama ini. Pokoknya pesanku, jaga ibu. Jangan sampai ibu sakit dan terima saja perjodohan itu. Oke?"
Nirmala ingin sekali langsung menanggapi perkataan panjang kakak laki-laki satu-satunya itu dengan kalimat protes yang tak kalah panjang, tapi telepon mendadak dimatikan sang kakak. Hal itu membuat wanita yang masih belum berdandan itu sangat geram.
"Kamu ataupun bapak, sama saja. Egois!" Saking kesalnya, Nirmala melempar throw pillow hingga mengenai pintu. Tak lama kemudian, Bu Harsono masuk sudah dalam balutan kebaya yang sangat cantik.
"Nduk, ada apa?" Wanita ayu itu langsung memeluk anak gadisnya, tapi langsung ditolak.
"Ibu, sejak kapan Ibu tahu kalau bapak punya hutang sama Pak Jaksa?" Dengan masih menyisakan tenaga, Nirmala menatap sang ibu—yang tak menyangka akan diberi pertanyaan tersebut.
"Dari mana kamu tau hal ini, Nduk?"
"Udah. Jawab aja, Bu. Sejak kapan?"
Bu Harsono terdiam.
"Ibu juga sudah tau di mana Bang Hardi sekarang, 'kan? Iya, 'kan?" Nirmala menggoyang-goyang pundak sang ibu yang kebingungan untuk menjawab. "Kenapa semua orang membuat hidupku seperti tak ada guna? Kenapa harus aku? Aku juga mau pergi dari sini, kalau perlu selamanya, Bu. Nggak kuat kalau harus menanggung semua ini seorang diri. Nggak kuat!"
Tak terasa air mata Bu Harsono mulai keluar dan dengan cepat membasahi pipinya yang telah ditaburi dengan bedak. Ia sangat menyesal dan prihatin dengan keadaan keluarganya saat ini. Kehilangan sang putra satu-satunya yang minggat tanpa kabar beberapa tahun yang lalu sempat membuatnya sangat terpukul. Ditambah, beberapa waktu setelah itu, sang suami hampir mendekam di penjara karena bangkrut dan tersandung kasus. Imbas dari itulah, kini putri semata wayangnya harus menanggung semua.
Sudah sejak lama ia ingin mengutarakan ketidaksetujuan saat sang suami memiliki ide untuk menjodohkan putri mereka pada anak teman baik suaminya. Namun, apalah dirinya tiada punya daya. Mengutarakan isi hati pada sosok seperti Pak Harsono, sama saja dengan menyulut perang dunia. Jika sudah begini, tidak ada jalan terbaik selain diam.
"Ibu, kenapa diam? Memang kalian lebih suka aku ini mati saja!" Nirmala baru saja hendak bangkit untuk melakukan aksi banting diri, tapi genggaman tangan sang ibu membuatnya urung.
"Kita mati sama-sama kalau begitu. Aku memang bukan ibu baik yang bisa melindungi anak-anaknya. Sudah cukup kehilangan seorang putra. Tak kuat rasanya jika kehilangan seorang putri juga. Maka, ayo, ayo kita mati sama-sama. Kalau itu bisa membuatmu memaafkan ibu."
Nirmala tercengang dengan ucapan sang ibu. Ia tidak menyangka jika wanita yang selama ini ia kenal lemah lembut, positif dan lurus, memiliki niatan untuk satu tujuan dengan dirinya. Saking tercengangnya, dirinya terpaku dengan kedua netra menatap wanita yang berurai air mata di hadapan. Hingga keduanya sama-sama larut dalam keheningan masing-masing.
Jika saja ponselnya tidak berdering kembali, Nirmala masih saja terdiam. Namun, isi pesan singkat itu seperti secangkir kopi yang mampu membelalakkan kedua netra untuk terbuka lebar.
"Maaf tadi ada bos. Aku tidak bisa sewaktu-waktu menghubungi kamu, Rianti atau pun ibu. Pokoknya kamu ikuti saja permainan bapak. Oke? Jaga ibu baik-baik."
Nirmala mendelik membaca pesan massanger dari kakaknya yang sudah tidak ia lihat selama tiga tahunan itu. Ia hampir saja naik pitam lagi seperti pasca telepon tadi, tapi urung manakala melihat raut wajah sang ibu yang sangat sedih. Wanita yang meski bedaknya telah luntur itu tapi masih terlihat cantik itu juga penasaran siapa yang mengirimi pesan sang putri, sehingga roman wajah yang awalnya kaku perlahan sedikit lentur.
###
Pak Harsono sangat sumringah menerima tamu kehormatannya datang ke rumah. Dengan ditemani sang kakak perempuan dan beberapa anggota keluarga, pria berambut cepak yang nyaris botak itu berkali-kali menengok ke arah indoor doorway yang menghubungkan ruang tamu dan ruang inti rumahnya.
Sang kakak perempuan yang sadar dengan gerak gerik adiknya memberi isyarat untuk menyusul adik iparnya yang belum juga muncul setelah berpamitan untuk membujuk sekaligus menjemput Nirmala ke ruang tamu. Namun, belum juga langkah kakinya melampaui pintu kayu minimalis, dua sosok wanita yang dinanti telah berada di hadapan dan sempat membuat wanita berbadan subur itu kaget.
"Kenapa lama sekali, sih? Tamunya sudah beberapa kali menanyakan kamu, Nirmala," protes sang bude terlihat sewot. "Itu kenapa juga pelipis kamu di-kassain. Jatuh atau gimana?" Raut wajah sewot wanita ber-make up tebal itu semakin terlihat setelah melihat ada kain perban di atas alis tebal sang ponakan.
"Nggak papa, Bude. Hanya lecet saja." Nirmala malas bersuara, sehingga sang ibulah yang menjawab.
"Ada-ada aja. Kenapa juga pas acara istimewa ini. Ada perban gitu, kan, jadi mengurangi estetika wajah kamu, La. Kalau tau begini, harusnya kamu ke salon, atau panggil MUA. Biar nggak malu-maluin."
Jika saja tak ingat kata-kata sang kakak tadi, saat itu juga sudah diladeni omelan sang bude. Lagi pula, tenaganya sudah habis untuk berkata-kata.
"Sudahlah, Mbakyu. Begini saja, Nirmala sudah sangat cantik. Cantik alami itu kan, lebih awet. Ya, to? Ayo, kita ke depan." Bu Harsono berusaha mencairkan suasana, lalu menuntun sang putri ke ruang depan.
"Dana?" Secara spontan Nirmala mengucapkan satu kata cukup keras, sehingga semua orang menoleh ke arahnya. Termasuk, seorang pria yang terlihat paling muda dan paling ganteng di ruangan tersebut.
"Kumalasari?" Pria yang dimaksud Nirmala juga kaget bukan main melihat sosok yang pernah ia kenal dulu berada di hadapannya.
"Loh, kalian sudah saling kenal?" Tidak hanya satu orang saja yang terkejut dengan reaksi calon pasangan itu menyebut nama belakang masing-masing. Hal ini semakin membuat Pak Harsono sumringah gembira ria. Dirinya tidak menyangka jika keduanya sudah saling mengenal. Itu artinya perjodohan ini akan jauh lebih mudah dan rencananya akan berjalan mulus. Namun, tidak bagi Nirmala. Wanita bernama lengkap Nirmala Dwi Kumalasari itu justru ingin lari dari ruang tamu saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikahi Aku atau Aku Mati
RomanceSiapa sih yang mau jadi seperti Nirmala? Terlahir di keluarga toxic dengan kepala rumah tangga yang ringan tangan dan egois, setelah dewasa menemukan tambatan hati spek malaikat yang bisa menjadi sosok orang tua, kakak, sekaligus teman, tapi, sialny...