⁷ Rasa yang palsu

25 13 1
                                    

****

         Sementara itu, di rumahnya, Anin masih terjaga. Bayangan pernikahan Daniel dan Natasya terus menghantuinya, membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Dia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dengan perasaan hampa.

Rasa sakit yang dia rasakan tidak hanya berasal dari kehilangan Daniel, tetapi juga dari kenyataan bahwa Daniel kini bersama dengan wanita lain wanita yang dia tahu tidak akan pernah bisa mencintai Daniel dengan tulus seperti dirinya.

Dalam benaknya, Anin terus bertanya-tanya apa yang salah dalam hubungan mereka. Mengapa semuanya harus berakhir seperti ini? Mengapa cinta mereka tidak cukup untuk membuat mereka tetap bersama? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, tanpa ada jawaban yang memuaskan.

Ketika akhirnya Anin terlelap, mimpinya dipenuhi dengan kenangan-kenangan bersama Daniel kenangan yang indah sekaligus menyakitkan. Dalam mimpi itu, dia dan Daniel kembali bersama, tertawa, berbagi kebahagiaan yang dulu pernah mereka miliki. Namun, seperti semua mimpi, itu tidak bertahan lama. Ketika dia terbangun, kenyataan kembali menyergapnya dengan kekuatan penuh, meninggalkannya dengan perasaan kehilangan yang mendalam.

2 Hari berlalu, dan baik Daniel, Natasya, maupun Anin, masing-masing mencoba untuk melanjutkan hidup mereka.
Suatu hari, saat Daniel sedang bekerja di kantornya, dia menerima pesan dari Arlan. Pesan itu singkat, tetapi cukup untuk mengguncang dunianya.

"Gue rasa kita perlu bicara."

Daniel terdiam sejenak, merenungkan makna di balik pesan tersebut. Dia tahu bahwa Arlan adalah sahabat terbaik Anin, dan jika Arlan ingin bicara dengannya, itu pasti tentang Anin. Daniel merasa gelisah, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa terus menghindari masalah ini.

Sore itu, mereka bertemu di sebuah kafe yang cukup sepi. Arlan sudah menunggu di sana, dengan ekspresi serius di wajahnya. Begitu Daniel tiba, mereka langsung memesan minuman dan duduk di salah satu sudut yang tenang.

"Lo tahu kenapa gue minta ketemu salam lo?" Arlan memulai percakapan tanpa basa-basi.

Daniel mengangguk pelan. "Ini tentang Anin, kan?"

Arlan menatap Daniel dengan tajam, mencoba membaca ekspresi sahabatnya itu. "Anin menderita, Dan. Gue tahu lo juga menderita, tapi apa yang lo lakukan sekarang hanya memperburuk semuanya."

Daniel menundukkan kepalanya, merasa bersalah. "Gue ga tau harus bagaimana lagi, Lan. Gue terjebak dalam situasi ini, dan Gue bingung gimana cara keluarnya."

Arlan menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. "Gue tau lo merasa bertanggung jawab atas Natasya dan anak yang dia kandung, tapi lo juga harus bertanggung jawab sama persamaan lo sendiri. kalau lo terus seperti ini, lo cuman akan menyakiti semua orang, termasuk diri lo sendiri."

Daniel merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya semakin menekan. Dia tahu bahwa Arlan benar, tetapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Dia terikat oleh tanggung jawab yang tidak bisa dia abaikan, tetapi pada saat yang sama, dia tahu bahwa hatinya tidak pernah bisa benar-benar meninggalkan Anin.

"Gue ga bisa meninggalkan Natasya sekarang, Lan. Dia hamil, dan Gue ga bisa menghancurkan hidupnya seperti itu," ucap Daniel dengan suara pelan.

Arlan menatapnya dengan serius. "Gue ga meminta lo meninggalkan Natasya. Gue cuman pengen lo jujur sama lo sendiri dan sama orang-orang sekitar lo. Lo gabisa terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik aja disaat kenyataannya ga seperti itu."

Love is a wound [On going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang