¹² kekhawatirannya

8 4 0
                                    


---

           Saat Arlan mendapat kabar bahwa Anin masuk rumah sakit, perasaannya langsung campur aduk antara khawatir dan panik. Anin, yang selama ini selalu terlihat kuat dan ceria, tiba-tiba jatuh sakit. Dia segera mencari tahu lebih lanjut dari Diva, temannya yang paling dekat dengan Anin.

"Diva, Anin masuk rumah sakit? Kenapa nggak bilang dari tadi?" Suara Arlan terdengar cemas, napasnya sedikit tersengal karena baru saja selesai latihan basket di sekolah.

"Iya. Anin kelelahan. Stres juga mungkin," jawab Diva. "Aku baru tahu juga. Sekarang dia di rumah sakit sama ibunya."

Tanpa pikir panjang, Arlan langsung melompat ke motornya dan melaju menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, bayangan Anin yang selalu ceria kini berubah menjadi sosok yang rapuh dan lemah di pikirannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa di balik senyum hangat Anin, ada beban yang begitu berat hingga membuatnya jatuh sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Arlan mencari kamar Anin. Nafasnya masih tersengal-sengal saat ia melihat Fina, ibu Anin, di luar kamar rawat.

"Tante, gimana Anin?" tanyanya sambil berusaha menenangkan dirinya.

Fina tersenyum lemah, terlihat sangat lelah dan khawatir. "Anin sudah lebih baik, tapi dokter bilang dia perlu istirahat total. Kelelahan fisik dan emosinya cukup parah."

Arlan mengangguk, merasa lega mendengar Anin sudah sedikit membaik, tapi perasaannya tetap dipenuhi kekhawatiran. "Boleh aku lihat dia, Tante?"

"Tentu, tapi jangan lama-lama, ya. Dia masih butuh banyak istirahat."

Arlan berjalan pelan ke kamar Anin. Ketika dia melihat Anin terbaring di sana, dengan wajah pucat dan tubuhnya yang terlihat lemah, hatinya terasa berat. Anin yang biasanya begitu energik, kini tampak begitu rapuh.

"Anin..." bisiknya pelan, walaupun dia tahu Anin mungkin tidak akan mendengarnya. Dia berdiri di samping ranjang, hanya menatapnya dengan perasaan campur aduk.

Setelah beberapa menit, Anin mulai membuka matanya perlahan. Saat pandangan mereka bertemu, Arlan bisa melihat kelelahan di mata Anin, tapi dia tetap tersenyum tipis.

"Arlan... kamu di sini?" suara Anin terdengar lemah, tapi ada kehangatan yang membuat Arlan merasa sedikit lega.

"Ya, aku di sini. Kamu bikin aku khawatir banget, Nin," jawab Arlan, berusaha tersenyum meskipun hatinya gelisah.

Anin tersenyum kecil. "Maaf... aku cuma terlalu capek."

"Jangan minta maaf. Kamu cuma butuh istirahat sekarang. Ga usah pikirin yang lain dulu, oke?" Arlan menatapnya dengan penuh perhatian, berharap kata-katanya bisa sedikit membuat Anin merasa lebih baik.

Anin hanya mengangguk pelan sebelum matanya terpejam lagi. "Makasih udah datang, Arlan."

Arlan duduk di sebelah ranjangnya, mengamati Anin yang kembali tertidur. Di dalam hati, dia merasa lega bisa berada di sana untuknya, tapi juga merasa tak berdaya karena tak bisa mencegah Anin jatuh sakit. Saat itu, Arlan berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu ada untuk Anin, memastikan dia tidak perlu melewati semua ini sendirian.

Setelah keluar dari kamar, Arlan menghampiri Fina lagi. "Tante, kalau tante ga keberatan besok aku jaga Anin ya, biar Tante ngurus rumah dulu, tante gausah khawatir. Aku siap jaga Anin."

Fina tersenyum lembut. "Terima kasih, Arlan. Kalau begitu setelah pulang sekolah Tante dan kamu gantian jaga Anin ya."

Arlan mengangguk, tapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa perasaannya pada Anin sudah lebih dari sekadar teman.

Love is a wound [On going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang